"Regan..." Sela mengucapkan nama itu dengan getir, seolah berat di lidahnya, seperti rasa pahit yang tersisa setelah menelan pil yang terlalu besar. Laki-laki itu datang pagi sekali, bahkan sebelum matahari sepenuhnya bangkit dari peraduannya, menembus embun yang masih enggan lenyap dari jendela-jendela kaca kedai kopi kecil itu. Sela, yang sedang menyiapkan kursi dan meja, dikejutkan oleh ketukan ringan di pintu. Ketukan yang sudah lama tak ia dengar namun tetap menggetarkan dadanya, ketukan yang pernah berarti harapan dan kini hanya mengingatkan luka lama. Regan, dengan senyum yang begitu khas, duduk di kursi yang baru saja diseka oleh Sela. Kursi itu, yang tadinya tampak biasa saja, kini seolah menjadi panggung bagi pertunjukan yang tak pernah ingin Sela saksikan lagi. "Aku mau ketemu