Martin sadar! Dua kata itu bagai palu godam yang menghantam dinding pertahanan terakhir dalam hati Regan. Tak disangka, kesadaran Martin bukanlah berita gembira yang ia nanti. Sebaliknya, itu adalah vonis yang menghentikan denyut semua mimpi dan harapannya. Ia ingin bahagia, tapi bagaimana mungkin jika setiap detak jantung Martin adalah palu pengingat akan semua kebohongan yang telah ia jalani selama ini? Di hadapan ibunya, Regan tersenyum tipis. "Benarkah, Bu?" suaranya sedikit bergetar, namun ia berusaha tegar. Seakan, di dalam hatinya, ada badai yang bergulung, mengancam meluluhlantakkan dirinya kapan saja. "Iya, Nak," jawab ibunya lembut, tak menyadari apa yang tersembunyi di balik wajah tenang Regan. "Ayah dan Ibu akan ke rumah sakit sekarang. Kamu bisa jemput Sela, ya? Bawa dia ke

