Sela duduk di hadapan ibunya di warung kecil mereka, suasana sederhana yang begitu kontras dengan kehidupan penuh intrik yang ia jalani bersama Martin. Ibunya, dengan tangan keriput yang lincah memotong sayuran, tampak tenggelam dalam pikirannya yang berat. Kegelisahan menguar di udara, tak terselubung oleh suara pisau yang beradu dengan talenan. Mata ibunya yang tua dan lelah, yang telah melihat banyak hal selama hidupnya, menatap dalam, seolah ingin menyampaikan lebih dari sekadar kata-kata. “Ibu lihat lelaki yang bernama Martin itu memang kelihatan cinta sama kamu...” Suara ibunya terdengar pelan namun tegas, mencerminkan pengalaman dan kebijaksanaan seorang wanita yang telah banyak melihat lika-liku kehidupan. Namun, ada jeda panjang setelah kalimat itu, seolah ada sesuatu yang lebih