Martin membuka kedua matanya perlahan, seolah kembali dari kegelapan yang pekat. Pandangannya kabur pada awalnya, hanya bayangan samar dari lampu-lampu rumah sakit yang dingin dan steril di atasnya. Rasa sepi dan dingin mengelilinginya seperti selimut yang menekan. Ia berbaring sendirian, hanya ditemani oleh bunyi detak samar alat-alat medis yang terasa asing di telinganya. "Sela..." bisiknya, nama itu keluar dengan lemah dari bibirnya yang kering. Kesadarannya perlahan kembali, dan bersama dengan itu, datanglah rasa sakit. Bukan sakit fisik, tapi sakit di dalam hatinya, menusuk begitu dalam, meninggalkan perih yang seolah tidak pernah bisa sembuh. Martin bangkit perlahan, tubuhnya terasa berat, seolah semua beban dunia menumpuk di pundaknya. Dia melihat sekeliling, mencoba menemukan jej