“Terima kasih, Regan. Tapi, aku sungguh enggak mau kamu terlibat dalam masalahku.” Suara Sela terdengar lirih, seolah berat hati untuk mengatakan hal itu. Tatapannya menunduk, seakan-akan beban rasa malu yang membelenggu dirinya terlalu berat untuk dihadapi. Tubuhnya sedikit gemetar, bukan karena kedinginan, melainkan karena rasa bersalah yang mendalam. Dan lagi, Sela sangat malu bertemu dengan Regan. Mereka berdua sudah terjerat dalam kekeliruan yang tak termaafkan. Ia dan Martin sudah lebih dari sekadar membuat kesalahan; mereka telah merusak sesuatu yang tidak bisa diperbaiki. Seolah tidak ada lagi yang tersisa di dalam diri Sela—semuanya sudah hancur, serpihan dirinya tersebar di mana-mana, tak dapat disatukan kembali. Hatinya berkeping-keping, seperti cermin retak yang tidak bisa mem