Luna berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya yang panjang dengan gerakan lambat. Pikirannya jauh dari apa yang ada di hadapannya. Seragam sekolahnya yang rapi seakan menjadi satu-satunya perisai yang bisa ia andalkan untuk menghadapi dunia luar. Tapi di dalam rumah ini, perisai itu tak berarti. Kata-kata ibunya selalu menembusnya, menyusup masuk ke dalam pikirannya, menghantam pertahanannya yang paling rapuh. Ibunya berdiri di ambang pintu kamar, memandangnya dengan tatapan tajam yang sudah begitu familiar. “Awas saja kalau kamu pulang malam lagi dan menginap di rumah teman seperti waktu itu,” suara ibunya terdengar seperti peringatan yang diucapkan berulang-ulang, menggantung di udara, mengganggu ketenangan yang ingin Luna pertahankan. Luna hanya mengangguk pelan, tak ingin memicu p

