Meta berlari keluar dari kantin, dadanya terasa sesak. Nafasnya tersengal-sengal, bukan hanya karena lelah, tetapi karena beban berat yang menekan jiwanya. Rasa trauma itu masih membekas di setiap sudut pikirannya, memenjarakannya dalam kenangan kelam dua bulan lalu. Pesta, alkohol, dan wajah Shaka yang tak lagi ia kenali dalam mabuknya—semua terbayang kembali seolah-olah kejadian itu baru terjadi kemarin. Air mata yang telah lama tertahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Kata-kata Ralin terus terngiang di telinganya. *“Dia tidak akan bertanggung jawab, Meta. Kau harus melepaskannya. Tidak ada lagi yang bisa kau harapkan dari Shaka.”* Namun, melepaskan tidak semudah itu. Luka yang tertanam terlalu dalam, menyakitkan, membuat setiap kali ia mengingatnya, hatinya terasa remuk.