Udara di dalam ruangan semakin dingin, seakan kehadiran mertuanya tadi membawa aura dingin yang mencekam. Suara pintu yang ditutup keras oleh mertuanya bergema di seluruh ruangan, memantul ke dinding putih, lalu lenyap dalam keheningan yang menekan. Sela tetap berdiri di tempatnya, kakinya terasa seperti terikat rantai tak kasat mata, tidak mampu bergerak, tidak tahu harus melakukan apa. Kata-kata yang barusan dilontarkan mertuanya masih mengambang di udara, menggantung di antara rasa bersalah dan kebingungan yang menguasai dirinya. "Saya enggak suka berada dengan perempuan yang enggak bisa menjaga martabatnya," kata-kata itu menusuknya seperti pisau tajam yang menghujam langsung ke jantungnya. Mertuanya tak sekadar pergi, dia meninggalkan luka yang dalam di hati Sela, luka yang disebabka

