Setelah selesai sarapan, Sela bergegas menuju ruangan Martin. Langkah-langkahnya terasa berat, seperti terbebani oleh kekhawatiran yang terus membayangi benaknya. Di depan pintu, tangannya terangkat ragu, siap untuk membuka gagang pintu dan melihat keadaan suaminya. Namun, seketika itu juga, suara tajam mertuanya memecah keheningan. “Kamu seorang istri durhaka, dan juga tidak tahu malu. Kamu enggak perlu masuk ke sini!” Suara sang ibu terdengar penuh dengan kebencian yang membara, matanya menatap Sela seperti pisau yang menusuk tanpa ampun. Sela terdiam, kata-kata itu menghujam seperti badai yang tiba-tiba datang. Dia menunduk, tak ingin memulai pertengkaran. Semua hal yang ingin ia katakan tertahan di tenggorokannya, tenggelam bersama air matanya yang nyaris pecah. Dia tidak ingin mempe

