Sore itu matahari sudah mulai bersembunyi di balik bukit, menyisakan sinar keemasan yang menerpa warung kecil tempat Sela berdiri. Udara sejuk menyelimuti suasana, namun ada yang berbeda dalam perasaan Sela saat Martin tiba-tiba muncul di depannya. Wajah Martin, yang biasanya terlihat tenang, kini memar—bekas jelas dari sebuah perkelahian yang belum lama terjadi. “Martin…,” panggil Sela pelan, terkejut melihat kondisi lelaki itu. Ada kekhawatiran yang tiba-tiba menjalari hatinya, meskipun Martin berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Tatapan Martin mengarah padanya, namun pandangan itu tampak berat, seolah ada beban yang menggantung di balik sorot matanya. “Aku mau teh,” ujarnya singkat, suaranya datar, namun penuh sesuatu yang tidak biasa. Tanpa banyak bicara, Sela mengangguk. Ia seg

