"Aku mau ke rumahmu!" suara Regan terdengar tegas di telepon, seperti angin yang datang tiba-tiba, mengacaukan ketenangan yang rapuh di dalam hati Luna. Kata-kata itu menusuk keheningan malam, membuat jantungnya berdegup kencang, sementara ingatan tentang pertengkaran semalam dengan orang tuanya masih membekas seperti luka yang baru saja digoreskan. Luna terdiam, bibirnya bergerak tanpa suara, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu, jika Regan datang ke rumahnya, semuanya akan terbongkar—kekacauan, amarah, dan ketegangan yang membelit keluarganya seperti tali yang siap mencekik. Orang tuanya pasti tidak akan segan meminta uang langsung pada Regan, tanpa malu, tanpa peduli pada harga dirinya. Hal itu adalah mimpi buruk yang tidak ingin ia hadapi. "Jangan ke sini!" bisiknya dengan

