Penyelamatan

1275 Kata
Rene geram bukan main, di internet, di tabloid, hanya sensasi tentang Julian dan Diana saja yang menjadi berita. Bahkan, banyak sekali bumbunya. Mulai dari mereka bertiga sedang mabuk-mabukan, hingga Julian yang dikatakan sudah lama mabuk kepayang dengan pasangan adiknya itu. Gadis itu mengamati foto ketiganya dan membanting tabloid itu. Entah kenapa hatinya kesal sekali. Sejujurnya Rene memang bertanya-tanya, apa Julian memang sebrengsek itu hingga pacar adiknya sendiri akan dia terkam? Entah kenapa Rene merasa itu tidak masuk akal. Julian jenis laki-laki yang bisa menjadi magnet buat siapa saja, kenapa harus Diana? Lalu, berselingkuh di café milik adiknya sendiri? Bukankah mereka bisa saja mencari hotel atau apartemen. Bisa jadi konspirasi ini hanya settingan untuk menaikkan nama Diana. Toh dengan berbisnis di Event Organzer, Rene juga memiliki banyak kenalan di dunia entertainmen, tidak sekali dua kali juga ia sempat berkencan dengan artis. Dia cukup tahu membuat sensasi bisa menjadi salah satu bagian dari profesi mereka. “AH!! Kenapa aku harus memikirkannya!? Aku tidak peduli si Nararya itu mau melakukan apa!!” Rene berusaha menampik isi hatinya keras, dengan membanting tabloid di tangannya. Ketrin sang sekretaris masuk dengan membawa beberapa berkas. Ia melihat tabloid yang dilempar Rene ke lantai. “Kabar Direktur CU itu memang banyak dimana-mana,” ungkapnya, seperti paham apa yang mengisi pikiran Rene. “Sepertinya mereka sengaja untuk menaikkan nama Diana Callista dan juga CU.” Ketrin meletakkan kopi yang biasa diminum Rene di pagi hari. Tetapi, apa perlu CU membuat sensasi begini? Sementara saat ini saja mereka sudah menjadi perusahaan EO terbesar dan terdepan. “Ah, sudahlah,” Rene menangkis pikirannya yang kembali pada persoalan Julian. “Itu masalah mereka, aku ingin focus pada masalah kita saja. Bagaimana, kau sudah mendapatkan orang yang bisa kudekati untuk meminta tolong Pak Teguh?” Sejak kejadian di Platinum Insurance, Pak Teguh memang sulit sekali didekati. Dia selalu sibuk melakukan persiapan launching produk baru mereka tersebut. “Sebenarnya, salah satu keponakannya mungkin Anda kenal,” kata Ketrin, membuat penasaran sebelum menjelaskan siapa. “Evan Fernando, dulu Anda dekat dengannya?” Ah… Evan yang aroma parfumnya menyengat itu? Selepas Ketrin meninggalkan ruangan, Rene membuka ponselnya. Ia mencari nama Evan dan mendapati pesan terakhir yang diterima dan diabaikannya adalah beberapa bulan yang lalu. Gadis itu berpikir sejenak, sebelum kemudian mengetik. [Hai Evan, apa kabar?] Tidak perlu waktu lama hingga pria itu membalas pesan Rene. [Halo Rene, tumben menghubungiku, ada apa?] [Tidak ada apa-apa, kebetulan saja nanti malam aku ada acara di dekat kantormu. Aku jadi teringat kepadamu. Kupikir, mungkin kita bisa bertemu? Kangen juga dengan rekomendasi restoran enak darimu.] [Baiklah, kabari saja, nanti aku carikan tempat makan yang enak.] Rene tersenyum dengan balasan tersebut. Bagaimana pun juga, dia harus mencari cara bisa menemui Pak Teguh di luar jam kantornya. *** Julian mengakhiri meetingnya malam itu di ruangan VIP sebuah restoran. “Dengan promosi yang kami rencanakan, kami rasa acara ini akan sangat sukses. Kebetulan motivator pengisi acara walaupun sudah memiliki banyak komunitas pendukung yang bisa kita manfaatkan.” “Baiklah. Aku harap kabar miring baru-baru ini tentangmu tidak akan menjadi hambatan berarti?” tanya klien barunya itu. “Tentu saja tidak,” ungkap Julian. “Itu masalah pribadi dan sama sekali tidak benar. Tidak lama juga akan menghilang sendiri.” “Baiklah Julian, aku permisi dulu, semoga kerjasama perusahaan kita akan berakhir baik,” Bu Fatma menyalami Julian dan beranjak dengan ketiga anak buahnya. “Ryan, project kali ini kuserahkan kepadamu. Lusa aku ingin kau sudah memastikan semua rencananya matang dan bisa mulai menjalankan perencanaannya, oke?” “Baik, Pak.” “Ya sudah, kalian boleh pulang, aku masih mau di sini dulu sebentar,” ungkap Julian. Para anak buahnya itu pun pulang saat waktu sudah menunjukkan jam 9 malam. Sejenak Julian memeriksa isi ponselnya saat pegawai restoran tengah mengurus pembayaran dari kartu kredit black card miliknya. Keberadaan Diana Callista Belum Diketahui, Apakah Keselamatannya Terancam? Alis Julian berkerut. Apalagi ini? Apakah ada asumsi dia atau Augusta mengancam Diana? Rahang Julian mengerat. Ayahnya sudah membombardirnya beberapa kali di telepon meminta Julian segera mengurus masalah ini. Pemegang saham mulai resah karena nama baik perusahaan dipertaruhkan. Tidak sedikit yang memuja Julian, tetapi tidak sedikit juga yang mencela perbuatannya. Belum lagi beberapa mengaku membatalkan menggunakan CU untuk menyelenggarakan event mereka, walaupun entah mereka benar-benar kliennya atau bukan. Sepertinya, mulai ada banyak pihak yang memancing di air keruh. “Jangan sampai masalah ini juga dimanfaatkan oleh Jehan!!” ultimatum Anton, yang belakangan mulai bersikap keras kepada Julian yang sempat menjadi anak kesayangannya. Julian menghabiskan gelas kopi terakhirnya dan mematahkan lehernya sejenak sebelum beranjak dari sana. Mungkin dia bisa menghabiskan waktu sejenak di bar restoran yang buka hingga dini hari ini. Restoran tidak begitu ramai, karena malam mulai larut dan masih di awal pekan. Dia sedikit membutuhkan ketenangan setelah begitu banyak kericuhan mengisi hari-harinya belakangan. Awalnya Julian tidak begitu mengamati sekelilingnya. Namun, belum lama Julian duduk di bar, bahkan minuman yang dipesannya belumlah datang, saat tatapannya terpaku pada pemandangan di sebuah meja. Julian tidak perlu melihat wajah gadis itu untuk mengetahui siapa dia. Ada Rene di sana, dengan seorang pria. Rene tampaknya mabuk parah, atau bahkan tidak sadar? Mata Julian memicing seketika. Apalagi, saat pasangan Rene melingkarkan lengan gadis itu di pundaknya untuk menyeretnya pergi. Julian segera menutup tagihannya dan beranjak tanpa meneguk minumannya. Lelaki itu menghampiri meja Rene, dimana seorang pelayan baru saja hendak membersihkannya. “Sebentar,” tegur Julian, menginterupsi pekerjaan pelayan itu. “Ini minuman apa?” tanyanya. “Oh, ini hot chocolate with vanilla creamy,” terang pelayan tersebut. Julian segera beranjak pergi, mencari Rene dan pasangannya itu tadi. “Ukhhh kepalaku….” Keluh Rene, saat dengan pasrah kakinya terseret mengikuti Evan yang membawa gadis itu ke mobilnya di parkiran. Perlahan-lahan kesadaran Rene semakin menipis. Evan lantas membuka pintu belakang mobil dan memaksa Rene masuk ke dalam. Gadis itu terhempas ke jok belakang, hampir tidak dapat menegakkan tubuhnya. Evan menyusulnya, dengan nafsu sudah memenuhi ubun-ubunnya, pria itu mengamati Rene yang tampak tidak berdaya di hadapannya. Dengan tidak sabar, tangan pria itu mencengkeram blus Rene dan menyobeknya, menyebabkan beberapa kancing pakaian Rene terlepas. Kilatan nafsu kian membara di mata lelaki itu sementara Rene yang tak berdaya, tidak menyadari apa yang terjadi. Evan baru saja hendak membenamkan bibirnya pada bibir gadis itu, saat tiba-tiba sesuatu menghantam kaca jendela mobilnya dan mengeluarkan suara keras. Evan terperanjat dan menoleh ke belakang, mendapati seseorang berusaha memukuli kaca mobilnya dengan kapak perlengkapan pemadam api. Julian memukuli kaca mobil dengan membabi buta, sebelum kemudian membuka pintu mobil itu dan mendapati Evan yang pucat pasi dan shock, tampak panik. “Apa yang kau lakukan!!??” hardiknya, berusaha menantang dengan tangan gemetar dan wajah ketakutan. Julian membanting palu itu ke samping, menarik kerah Evan dan menyeretnya keluar. Lelaki itu tidak memberinya kesempatan bicara saat menyarangkan tinjunya di wajah Evan yang langsung mengerang kesakitan. Namun Julian belum selesai, ia melingkarkan telapak tangannya di leher Evan. Ketat. Perlahan tapi Pasti Evan kehilangan kemampuannya bernapas. Julian mendekatkan wajah dinginnya yang tampak lebih kelam dari biasanya. Memasung tatapan tajamnya ke mata Evan dan berbisik. “Sekali lagi, kau menyentuh dia… jangan harap kau akan melihat matahari lagi.” Dengan ketakutan Evan menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap sedikit udara mampu memasuki rongga parunya. Julian menghempaskan pria itu ke lantai. Segera Evan menarik udara sebanyak-banyaknya, megap-megap. Julian meraih Rene dari dalam mobil. Gadis itu sudah benar-benar kehilangan kesadarannya. Direktur muda itu menggendong Rene dan membawanya menuju mobilnya. *** Julian membawa Rene memasuki kamar apartemennya, lantas membaringkan gadis itu di tempat tidurnya. Gadis itu bergeming, sangat nyenyak. Blus yang dikenakannya tampak porak poranda. Julian memaksa dirinya menjadi manusia beradab dan meraih selimut untuk menutupi tubuh gadis itu. Segera ia beranjak keluar menuju ke kamarnya sendiri, sebelum pikiran lain mengusik kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN