Tertangkap Basah

1134 Kata
Rene membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sangat berat, ia sama sekali tidak ingat apa-apa, bahkan dalam lelap tidurnya, ia bahkan tidak ingat apakah ia bermimpi atau tidak. Saat pandangan matanya kian jelas, perlahan raut wajahnya menunjukkan kebingungan, yang tak lama berubah kekalutan. Ini dimana? Dengan cepat mata Rene terbuka, mengamati sekelilingnya. Tempat tidur ini… kamar ini… Rene sama sekali tidak mengenalinya. Tanpa dikehendaki jantungnya berderap cepat. Panic. Gadis itu lantas mengamati dirinya. Blusnya yang koyak. Ya ampun!! Apa yang sebenarnya terjadi!? Cepat-cepat Rene menyingkapkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. gadis itu bernapas cukup lega saat mendapati semua pakaiannya masih lengkap, selain beberapa kancing blusnya yang terlepas. Rene lantas memijat pelipisnya yang masih agak pusing, mengingat lagi kejadian terakhir yang diingatnya. Dia bertemu Evan, mereka lalu makan malam bersama. Di tengah obrolan mereka tiba-tiba Rene merasakan kepalanya sangat berat dan tidak bisa ditoleransinya. Samar-samar ia mengingat Evan berkata biar aku antar keluar. Dan Rene benar-benar tidak ingat lagi. Rene yakin sekali pria itu menaruh sesuatu ke dalam minumannya. Apa laki-laki itu? Apakah Evan yang membawanya semalam ke tempat ini? Gadis itu turun perlahan dari tempat tidur dan berusaha membuka pintu dengan suara seminimal mungkin. Ia tetap harus waspada, jangan sampai pria itu tahu dia sudah bangun sebelum ia tahu siapa pemilik tempat ini. Mengendap-endap Rene berjalan keluar kamar. Mata dan telinganya terpasang tajam waspada. Tidak ada petunjuk apa pun dari sekeliling ruangan. Tidak ada foto atau hal lainnya. Seperti apartemen yang baru saja ditempati. Samar-samar, gadis itu bisa mendengar suara shower yang mengalir dari arah kamar mandi. Rene beranjak perlahan menuju cabinet dapur, mencari perkakas apa saja yang bisa ia gunakan untuk melindungi diri.  Agak gemetar Rene meraih sebuah pisau dengan tangannya yang agak gemetar. Aku harus siap dengan situasi apa pun, batinnya. Rene lantas mengenggam pegangan pisau dengan kedua tangannya yang gemetar. Sangat erat karena dia khawatir akan menjatuhkannya. Gadis itu bahkan berlatih cara mengayunkannya, kalau-kalau dia harus menggunakannya saat terdesak nanti. Setidaknya, dia harus bisa terlihat meyakinkan jika harus menggertak penculiknya ini. Gadis itu menelan ludah, saat mendengar suara shower sudah dimatikan dan suara langkah kaki kian dekat ke arah pintu kamar mandi. Dengan tegang Rene mengamati kenop pintu itu berputar. Rene kembali menelan ludahnya takut-takut. Kejut memberkas cepat di matanya, saat Rene melihat siapa yang keluar dari kamar mandi itu. Kejut yang sama juga tampak di mata Julian, yang benar-benar tak mengira Rene sudah berdiri menunggunya dengan mengacungkan pisau ke arahnya. “Ju-Julian!?” terbata gadis itu kebingungan, dengan tangan yang belum diturunkan. Julian bernapas lega. “Kau sudah bangun,” sapanya lebih tenang. Dengan hanya mengenakan mantel mandinya Julian melangkah, sementara pisau Rene masih mengikutinya. “Apa kau yang membawaku ke sini!? Kau menculikku!?” Mata coklat lelaki itu kembali melebar. Ia tidak segera menjawab. Julian meraih gelas dan mengambilkan air putih untuk Rene. “Minumlah, kau pasti haus,” pria itu tersenyum perhatian, mengarahkan segelas air bening ke arah Rene yang masih menatapnya curiga. Julian akhirnya meletakkan gelas berisi air itu di atas meja makan. “Akan kuceritakan apa yang terjadi semalam. Kau jangan khawatir, tidak ada yang perlu kau risaukan.” Setelah berkata demikian, Julian berbalik hendak meninggalkan Rene. “Kau mau kemana!?” tegur gadis itu. “Jelaskan sekarang juga!” perintahnya. Julian kembali berbalik. “Biarkan aku berganti pakaian dulu, oke?” alis pria itu terangkat membujuk. “Atau…” Lelaki itu menarik ikat pinggang mantel mandinya. “Aku ganti baju di sini?” tanyanya. “Humph!” Rene membuang tatapannya dari Julian jengah. Sudut bibir Julian membentuk senyum tipis dan ia berbalik masuk ke kamarnya. Rene mengamati gelas di atas meja. Akhirnya ia meletakkan pisau di tangannya dan menggantikannya dengan gelas tersebut. Rene lalu duduk di kursi meja makan dan mulai meneguk air tersebut. Rasanya sangat menyegarkan, ia baru menyadari tenggorokannya yang teras sangat kering bahkan seperti terbakar. Apa sebetulnya yang telah terjadi semalam? Rene benar-benar kehilangan waktu begitu saja. Tetapi sepertinya Julian tidak berbahaya. Tetapi kenapa dia  tiba-tiba muncul pada kondisi seperti ini? Tidak lama kemudian Julian muncul. Rene buru-buru merapatkan belahan kemeja dengan tangannya. Walaupun kerap berpakaian seksi, tetapi kali ini rasanya Rene benar-benar tampak tidak layak. “Kau baik-baik saja?” itu pertanyaan yang kali pertama dilontarkan Julian, saat pria berkemeja polo putih itu duduk di kursi makan di hadapan Rene. “Aku baik,” tukas Rene tegas. “Aku hanya butuh penjelasan mengenai apa yang sebenarnya terjadi semalam. Apa kau dan Evan…” “Jadi namanya Evan?” potong Julian. “Aku semalam ada meeting di restoran yang sama, di ruang VIP. Selesai meeting, aku turun ke bar, saat itu aku tidak sengaja melihatmu di sudut meja, sempoyongan hampir tidak sadar.” Julian bisa melihat tatapan ngeri itu muncul lagi di mata Rene. “Karena aku curiga kau sepertinya dikerjai oleh pasanganmu itu—“ “Dia bukan pasanganku!” tampik Rene. “Oh, informasi yang menarik,” Julian tersenyum senang, membuat Rene tiba-tiba agak kikuk dengan reaksinya. “Lalu aku mengambil kapak pemadam api dari mobilku, dan memecahkan kaca jendela mobilnya. Aku memberinya sedikit pelajaran dan membawamu pergi. Karena aku tidak tahu kemana sebaiknya aku mengantarkanmu dalam kondisi seperti itu, jadi kuputuskan membawamu ke apartemenku ini,” Julian menutup ceritanya. Manik mata Rene tampak bergerak ke kiri dan ke kanan, berusaha membayangkan dan memahami semua cerita Julian. Ia mengamati lelaki dengan rambut yang tampak agak basah setelah keramas itu. Rene merasa ucapannya bisa dipercaya. Gadis itu mengehela napas berat, campur geram. “Berani-beraninya dia melakukan hal itu... Evan…” Rene mengetatkan rahangnya. “Dia harus mendapatkan balasannya!” Julian beranjak bangun menuju cabinet dan meraih coffee maker. “Kau bisa membalasnya nanti. Tetapi sekarang sebaiknya tenangkan saja dulu dirimu.” Lelaki itu berbalik menatap Rene. “Kopi?” Rene mengangguk menerima tawarannya. “s**u?” Gadis itu berdiri mendekati Julian. “Biar aku saja, kau tidak tahu seleraku, bukan?” “Baiklah,” sekali lagi Julian tersenyum, menyerahkan cangkir di tangannya kepada Rene. Tiba-tiba terdengar pintu depan dibuka dan suara Harris berseru. “Julian!! Aku datang!!” panggilnya. Rene dan Julian terkejut, saling memandang. “Sepupuku, Harris! Aku lupa dia mau ke sini!” ujar Julian agak panik. “Bagaimana pun, Harris tidak boleh melihatmu!!” Jika tidak, Julian bisa mendapat masalah. “Lalu aku harus kemana? Ah! Ke sana?” tunjuk Rene, ke bawah meja makan dan hendak bergegas menyembunyikan diri di bawah meja makan tersebut. “Jangan!” sergah Julian. Mana sempat, sementara langkah kaki Harris sudah semakin dekat menuju ke arah mereka. Akhirnya Julian menarik Rene lalu memepetnya ke tembok. Sebelum gadis itu sempat protes, lelaki itu segera memberikan intruksi. “Jangan bersuara!” desisnya memerintah. Bibir gadis itu terkatup, tetapi ia bisa merasakan jantung dan kepalanya berdentum keras, saat Julian menihilkan jarak di antara mereka. Lelaki itu menekan Rene merapat ke dinding, dengan fisik gagahnya menempel ketat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN