Pengakuan

1337 Kata
Rene rasanya hampir tidak bisa bernapas saat dia dan Julian bisa saling merasakan panas tubuh lelaki itu yang menembus pakaian mereka. “Apa yang kaulakukan?” desis Rene. “Diam sebentar,” sekali lagi Julian meminta. Lelaki itu melingkarkan satu tangannya di pinggang Rene dan satu tangannya terbenam di rambut gadis itu, menarik paksa wajah si cantik agar terbenam di pangkal lehernya. Tidak berhenti di sana, Julian memutuskan mereka perlu pose yang lebih provokatif. Ia lalu meraih sebelah kaki Rene dan melingkarkannya agar membelit kaki jenjangnya. “Percayalah padaku, ini yang terbaik,” lelaki itu meyakinkan. Julian lalu memposisikan kepalanya sedemikian rupa seakan-akan mereka tengah berciuman. Lelaki itu bahkan mulai membuat suara-suara gumaman yang bisa membuat siapa saja salah paham. Termasuk Harris. Saat sepupu Julian itu muncul dan melihat pemandangan di dapur yang tidak ia kira akan dilihatnya sepagi ini, Harris langsung terperanjat. “HA!? Julian!?” serunya spontan, ia lalu memutar tubuh dan wajahnya. “Sorry! Sorry! Sorry! Aku tidak tahu kau sedang ada tamu!” Julian tak berkata apa-apa, lelaki itu terus saja bertingkah seakan-akan dia dan Rene sedang b******u. “Ok, aku kembali lagi nanti,” Harris lalu menyerah setelah tegurannya tidak mendapatkan jawaban berarti. Saat pintu apartemen Julian kembali terdengar ditutup, akhirnya lelaki itu menghentikan tingkahnya. “Fiuh… hampir saja!” ujarnya lega, mulai melepaskan tangannya dari kaki Rene yang kemudia jatuh ke lantai tanpa tenaga. Ukh, Rene enggan sekali mengakuinya, tetapi tubuhnya mendadak lemas dan pikirannya benar-benar kosong. Dirktur Jehan yang terbiasa tegas itu kini tidak tahu harus berbuat apa. Jantungnya berdebar terlalu kuat, dan wajahnya panas sekali. Paru-parunya juga seperti lupa berfungsi dengan semestinya. Dia bahkan tidak berani menatap Julian. Terlalu canggung rasanya. Rene sama sekali tidak pernah berada dalam situasi yang begini membuatnya jengah. Julian mengamati Rene dengan heran, kenapa gadis itu diam saja tak berreaksi apa pun? “Rene, seharusnya kau tadi jangan diam saja, agar adegannya semakin seru,” canda Julian,  saat melihat gadis itu diam saja seperti mendadak terkena mantra menjadi patung. Mendengar ucapan Julian, Rene mendorong d**a lelaki itu agar memberinya jarak lebih banyak. “Aku ingin mandi!” terangnya, Ia lalu meninggalkan Julian untuk beranjak ke kamar mandi. Julian mengekor dengan matanya. Apa itu yang membuat Rene tampak sangat kaku? Dia tidak percaya diri karena belum mandi? Padahal, aroma tubuhnya wangi sekali dari parfum chanel yang dikenakannya. Julian menelan ludahnya. Ia mengendus lengan bajunya, mencium aroma Rene di sana. Ah… dia baru paham sekarang, adegan mereka tadi memang terlalu intim. Tadi gadis itu ada dalam dekapannya, Julian bahkan masih bisa mengingat aroma segar rambut Rene di hidungnya. Tanpa sadar Julian mendengus dan tersenyum tipis. Rasa heran Julian juga menular pada Rene. Dia benar-benar bingung dengan reaksi tubuhnya sendiri. Kenapa harus secanggung itu? Harus sekaku itu? Rene benar-benar mati kutu. Padahal dia biasanya sangat percaya diri dan terbiasa menggoda pria mana saja. Hanya sekadar menggoda, berdansa, atau sekadar menyandarkan tubuh bukan hal yang aneh untuknya. Tetapi merasakan Julian sedekat itu… Rene kembali menelan ludah dan merasakan jantungnya berdebar keras lagi. Ada sesuatu yang salah dengannya.   *** Saat Rene di kamar mandi, Julian tadi sempat berkata bahwa dia hendak mencari sarapan untuk mereka. Mungkin Julian sengaja meninggalkan Rene sendirian untuk sedikit mengurangi rasa canggung di antara mereka. Rene lantas mendapati ada sebuah kaos di atas ranjang yang semalam ditempatinya serta sebuah celana training dengan tali di pinggangnya. Mungkin Julian sengaja memberinya celana itu agar bisa disesuaikan ukurannya. Gadis itu mengamatinya sejenak. Dia tidak punya pilihan lain, karena tentu saja dia tidak membawa pakaian gantinya. Rene mematut diri, celananya sedikit kepanjangan, ia lalu melipatnya. “Rene!” panggilan itu terdengar, “Sarapan dulu.” Gadis itu menghela napas dalam sebelum ia menguatkan hatinya dan keluar dari kamar itu. Julian menghidangkan dua porsi nasi goreng yang dia beli dari salah satu minimarket yang berada di gedung apartemennya. “Katanya ini best seller,” ungkap Julian, meletakkan sendok di piring Rene. “tapi kalau bukan seleramu, jangan salahkan aku.” Rene tersenyum tipis, “Thanks,” katanya. “Sebenarnya aku tidak biasa sarapan. Kurasa kali ini juga aku…” “Renesty,” potong Julian. “Tidak ada yang kelaparan selama berada di tempat tinggalku, oke?” “Tapi—“ “Kalau kau tidak mau makan nasi goreng, aku sudah beli roti tawar, mau kubuatkan roti bakar? Ada selai kacang, cokelat dan hazelnut. Atau mau onigiri? Tinggal dimicrowave sebentar. Sandwich mayo? Telur omlet? Orak-orik? Hot dog?” Lelaki itu memberondongi Rene dengan pertanyaan dan tidak memberikan gadis itu kesempatan. “Sudah! Sudah! Sudah! Aku makan! Aku makan!” sahut Rene. Gadis itu lalu meraih sendoknya dan mulai makan. Menyuapnya sesendok, Rene mangangguk-angguk mengakui kelezatannya. Julian tersenyum lega melihatnya. Aksinya itu tertangkap mata Rene. Julian mengamatinya begitu sambil tersenyum, Rene merasa canggung lagi. Lelaki itu membuat Rene merasa gelisah lagi. Julian bahkan sama sekali tidak membuang mukanya saat pandangan mereka beradu, dan terpaksa membuat Rene yang menundukkan wajah. “Aku tadi sudah carikan jarum dan benang, kalau-kalau kau mau membetulkan kancing blusmu.” “Thanks.” “Nanti bongkar saja salah satu kancing kemejaku.” “Thanks,” jawab Rene lagi. “Hei, kenapa kau pendiam sekali?” tanya Julian. “Padahal aku tidak memasukkan  obat penenang ke dalam makananmu.” Rene berdecak, “Lalu aku harus bagaimana? Naik ke atas meja dan menginjak-injaknya?” Sejenak Julian tertegun dengan reaksi itu, lantas tertawa. Rene bisa melihat mata cokelat pria itu sedikit menghilang saat tertawa. “Aku hanya khawatir, tahu,” tukas Julian. “Apa kau masih memikirkan kejadian semalam?” “Tidak mungkin aku tidak memikirkannya, bukan? Bagaimana pun, Evan sudah kurang ajar, dia bahkan berniat melalukan tindakan kriminal terhadapku,” rahang Rene mengerat. “Aku tidak akan memaafkannya.” “Dia itu… siapamu?” tanya Julian, menatap lekat lawan jenisnya di seberang meja. “Kau bertemu dengannya di aplikasi online atau bagaimana?” “Kenapa menurutmu aku harus mencari pasangan dari aplikasi online?” gadis itu tersinggung. “Kasus memberikan obat biasanya diberikan oleh pria yang tidak cukup percaya diri bahwa teman kencannya menginginkan hal yang sama dengan yang diinginkannya,” terang Julian. “Jadi kupikir kau mungkin baru mengenalnya.” Rene diam sejenak, berpikir. Dia tidak bisa mengatakan bahwa dia sudah cukup lama mengenal Evan. Bisa dibilang, lelaki itu cukup gigih memberikan sinyal tertarik dan mengejarnya. Tetapi Rene hanya sempat sekali makan malam dengannya, dan beberapa kali menghabiskan waktu bersama. Itu pun bukan terbilang kencan, tetapi karena Evan bekerja di perusahaan advertising rekanannya. Evan tidak pernah menjadi pilihannya. Kalau saja bukan karena dia keponakan Pak Teguh, enggan sekali Rene menghubunginya lagi. Dan tentu saja dia tidak bisa memberitahu Julian kaitan Evan dengan Pak Teguh, atau laki-laki itu akan mengetahui niatnya. “Dia hanya salah satu temanku,” ungkap Rene. “Pokoknya, aku tidak akan memaafkannya.” “Aku juga,” imbuh Julian. “Kalau dia sampai berani macam-macam lagi, lihat saja, aku bisa memberinya lebih banyak pelajaran.” “Kau tidak perlu ikut campur urusanku!” Alis Julian terangkat. “Kalau aku tidak ikut campur, pagi ini kau mungkin bangun di atas ranjangnya kau tahu!” Rene bisa merasakan bulu kuduknya berdiri. Membayangkannya saja dia sudah cukup muak. Gadis itu menatap Julian yang masih menatapnya lekat. “Terima kasih,” ucap Rene akhirnya, lebih lunak. “Aku belum mengucapkan terima kasih untuk pertolonganmu.” “Wah! Bisa juga berterima kasih?” Kepala gadis itu miring dengan wajah tersinggung sekaligus tidak percaya. “Just kidding!” Julian akhirnya tertawa. “Hari ini kita gencatan senjata dulu, oke?” Lelaki itu berdiri, meraih piringnya dan berjalan mendekat kepada Rene untuk meraih piring gadis itu. “Hari ini moodku sedang bagus karena kau ada di sini.” Sekali lagi senyuman tulus yang lembut tergurat di bibir pria itu, sebelum dia beranjak menuju mesin pencuci piring. Rene sampai tak bisa berkata apa-apa. Benar-benar. Keterlaluan. Ada apa dengan dirinya hari ini? Kenapa Rene sampai dibuat mati kutu berkali-kali. Padahal kalau mimik muka Julian dia lihat di film, Rene mungkin sudah mencebiknya habis-habisan. Tetapi kenapa sekarang dia malah tidak berkutik diberi tatapan penuh cinta begitu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN