Tanda Tanya Hati

1141 Kata
Rene sedang menjahit kancing bajunya di kamar, saat Harris sudah berkunjung lagi ke apartemen Julian dan keduanya membicarakan beberapa hal. Sepertinya tidak ada yang benar-benar rahasia, karena Julian sudah mengatakan “teman wanitanya” masih ada di kamar. Setelah blusnya selesai dijahit dan dirapikan, Rene kembali mengenakannya dan berkaca sembari mengamati dirinya. Sejujurnya dia merasa tak nyaman mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin. Tetapi dia tidak mungkin pulang dengan mengenakan pakaian Julian. “Hhh… aku harus bilang apa kepada Papa?” rasa resah terbit di wajah cantik gadis itu. Rene meraih tasnya, mengeluarkan make up seadanya, dan meraih ponselnya yang lupa dia ingat selama ini. Ponselnya benar-benar mati. Gadis itu lantas meraih powerbank dan memasangnya. Dia berniat segera pulang. Tiba-tiba dia mendengar alunan musik piano dari luar pintu kamarnya. Terheran, gadis itu sejenak membuka pintu kamarnya dan berjalan perlahan, masih berhati-hati seraya melakukan pengamatan kalau-kalau Harris masih ada. Sepertinya sepupu Julian itu sudah pulang, meninggalkan CEO Romeo Kreasi itu dengan pianonya, memainkan lagu “What is a Youth” yang dimainkan dengan indah oleh putra pertama Nararya itu. Sejenak Rene mengamati punggung tegap Julian, bagaimana jemarinya menari dengan lincah di setiap tuts untuk menghasilkan nada-nada yang indah. Sebuah senyum damai tercipta di bibir Rene tanpa disadarinya. Gadis itu menelan ludahnya, melangkah perlahan ke arah Julian. Lelaki yang sudah dua kali menyelamatkannya. Rene duduk lantas duduk di samping Julian. Lelaki itu menoleh tanpa menghentikan permainan pianonya. Gadis itu tahu lagu ini. Rene lantas mulai bernyanyi mengiringi kelihaian jemari Julian. Alis lelaki itu terangkat dengan binar di matanya. Tak mengira Rene menghapal lagu itu. Rene juga tampak senang menyanyikannya, hingga akhirnya Julian menyelesaikan nada terakhirnya. “Wow! Tidak kukira kau menghapal lagu itu,” nada Julian penuh pujian. “Mama sering menyanyikannya untukku saat aku kecil, lagu itu jadi berkesan untukku,” jujur Rene. “Ah, ibuku juga…” Julian tersenyum, agak sendu. Lantas menunduk, telunjuknya menekan-nekan tuts piano itu. “Saat aku SMA, aku juga memainkan lagu ini di sebuah pertunjukan teater,” imbuhnya, dengan suara lebih tegar. Rene tersenyum simpul, hingga Julian mengangkat wajahnya dan mereka kembali bertatapan dalam diam beberapa saat. “Aku harus pergi!” tukas Rene kemudian, mengusir suasana aneh yang sering hadir di antara mereka belakangan ini. Gadis itu segera berdiri hendak beranjak, jika saja tangan lebar Julian tidak dengan cepat melingkar di pergelangan tangan Rene. “Kau mau kemana?” lelaki itu menyergah. “Tidak bisakah tinggal sebentar lagi?” “Kita ini manusia sibuk Julian, bukankah kau juga banyak urusan?” Rene berusaha menegaskan suaranya. “Masih bisa menunggu 1 jam lagi,” tidak sedikitpun genggaman Julian berkurang ketatnya. “Aku sudah memintamu datang berkali-kali, bukankah sudah kubilang ada yang harus kita bicarakan?” “Julian, aku punya banyak urusan yang lebih penting dari apa pun yang ingin kaubicarakan,” tegas Rene, kali ini dibarengi dengan bersikukuh melepaskan pergelangannya sekuat tenaga, dan berhasil. Rene bergegas mengambil langkah, tetapi Julian masih mengejarnya. “Hei, Rene, tunggu sebentar!” Lelaki itu meraih lengan Rene, memaksa gadis itu berhenti dan berbalik. “Jangan pergi begitu saja!” Julian bergerak maju, raganya bergerak agresif, hingga mendesak Rene ke tembok sekali lagi. “A-apa yang kau inginkan?” tanya Rene, terkejut dan terbata. “Jangan kurang ajar!” “Kurang ajar? Bukankah sudah jelas apa yang aku inginkan?” “Kau ingin aku berterima kasih kepadamu? Iya! Baik! Aku berterima kasih atas semua pertolonganmu selama ini, oke? Nanti aku pasti akan membalasnya. Sekarang lepaskan aku!” Gadis itu kembali berusaha membebaskan diri dari kungkungan Julian yang terasa seperti tembok tahanan. “Rene, lihat aku!” perintah Julian, pada gadis yang terus menghindari pandangan matanya itu. “Tatap aku!” Rene mengetatkan giginya, menggerakkan manik hitam itu setajam mungkin untuk beradu dengan mata cokelat Julian yang kerap membuatnya merasa terintimidasi. “Katakan kau tidak merasakan apa pun terhadapku.” “Aku tidak merasakan, apapun, terhadapmu,” kenapa suaranya terdengar meragu? Rene lantas membuang wajahnya ke samping. Padahal tidak sulit untuk berbohong, tetapi kenapa kali ini dia tidak bisa? “Kali ini bilang sekali lagi,” Julian mendekatkan wajahnya, membuat Rene merasa seperti mereka berebut napas. Sesak sekali. “Sambil menatapku,” tantangnya. Julian bisa melihat gadis itu mengeratkan rahangnya semakin keras, ingin segera kabur dari situasi di antara mereka. “Jangan memaksaku, Julian!” geramnya. “Aku tidak berminat mengikuti permainannmu!” mata gadis itu memicing. “Aku tidak memaksamu, aku hanya ingin kau jujur dengan perasaanmu!” “Dan kau tahu bagaimana perasaanku!?” “Tentu saja! Kau terlalu serupa denganku untuk bisa mengelabuiku,” lelaki itu berujar tegas penuh percaya diri. “Jangan berkhayal!! Kau—“ ucapan Rene terputus, saat terdengar ponselnya berdering. Gadis itu segera merogoh tasnya sementara Julian menunggu kelanjutan adegannya. Raut gadis itu menegang saat melihat papanya menelepon. Ayahnya itu pasti sedang marah besar. “Aku harus menerima telepon ini,” ujar Rene resah. Melihat raut gadis itu Julian member jarak darinya, dan beranjak. “Halo.” “Kemana saja kau!? Apa kau pergi dengan laki-laki!!?” “Pa! Rene… ada urusan! Terpaksa menyusul Pak Teguh keluar kota, a-agar bisa mendapatkan sponsornya. Rene lupa charge handphone karena terlalu lelah.” “Omong kosong! Apa kau macam-macam dengan si Teguh itu!?” “PAPA!!” gadis itu geram. “Sebentar lagi aku pulang, papa marahi aku di rumah saja!” tukasnya. “Sebaiknya kau berikan penjelasan yang masuk akal, Renesty!” setelah itu Johan memutus sambungan di antara mereka. Rene menghempaskan napasnya berat dan berdecak tipis. Julian tak memberikan komentar apa pun dengan urusan keluarga gadis itu. Walaupun hal tersebut membuatnya merasa pahit karena teringat lagi dengan tembok besar yang menghalangi mereka. “Aku harus pulang. Terima kasih untuk semua bantuanmu, Julian,” pamit Rene, dengan raut masam. “Lain waktu kita bertemu lagi, kita sudah kembali menjadi saingan, oke?” CEO Jehan itu menegaskan. Lelaki itu tidak berkata apa-apa dan menemani Rene beranjak hingga ke pintu depan untuk memasang sepatunya. “Rene,” panggil Julian lembut, membuat gadis itu menoleh kepadanya saat kedua sepatunya telah terpasang. “Apa yang harus kulakukan agar kau tahu bahwa aku serius kepadamu?” Perlahan tapi pasti jantung Rene berdebar merasakan tatapan tidak main-main dari lelaki itu kepadanya. “Kau tahu kita ini tidak mungkin, Julian. Kalau kau memang serius ingin mencari pasangan, sebaiknya cari wanita lain yang lebih mungkin kau miliki dan cintai.” “Tapi aku menginginkanmu,” Julian memutuskan. “Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkanmu? Katakan, Rene.” Rene menghela napas dalam, mengamati Julian yang keseriusannya tidak terbantah. “Bisakah kau datang ke rumahku?” Rene terdengar lelah. “Tidak, bukan? Tetaplah realistis, Julian. Bagaimana mungkin kita menjalin kasih, sementara namamu pun terlarang kusebutkan?” Gadis itu berusaha membungkam logika Julian, menyadarkan batasan di antara mereka. “Aku harus pergi, Julian. Selamat tinggal.” Gadis itu pun berlalu, meninggalkan kekosongan yang membekas dalam di hati Julian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN