Evan masih merasakan bibir dan wajahnya yang sakit akibat tindakan Julian kepadanya. Bahkan, hantaman lelaki itu membuatnya kehilangan salah satu giginya. Untunglah gigi yang tanggal bukanlah gigi serinya yang berada di depan. Setelah ijin cuti selama dua hari untuk memasang gigi palsu dan juga menghilangkan bengkak-bengkak di wajahnya, akhirnya hari ini Evan bisa kembali bekerja.
“Pak Evan, Pak Robert memanggilmu ke kantornya,” ungkap sekretarisnya.
Lelaki itu menelan ludahnya. Pak Robert, pemilik perusahaan, memanggilnya? Apakah karena dia terpaksa tidak menghandle proyek iklan penting yang ditanganinya karena masalah pribadinya?
Evan mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan Pak Robert setelah diperintah.
“Selamat pagi, Pak…”
“Apa yang kaulakukan pada Rene Pradipta?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling.
Mendengar nama gadis yang gagal dijadikan korbannya, Evan spontan menelan ludahnya panik.
“Sa-saya… saya….”
“Dia menghubungiku, mengatakan bahwa kamu sudah berbuat kurang ajar dan menyinggungnya. Dia bilang, jika kamu tidak menyelesaikan urusan dengannya, dia akan membuat laporan kepolisian dan menghentikan kerjasamanya dengan perusahaan kita,” terang Pak Robert dengan geram. Ia lantas menunjuk Evan. “Jika hal itu sampai terjadi, kamu bisa angkat kaki dari sini dan tidak usah datang lagi besok!!” putusnya.
Evan merasa sangat shock. Dia hanya sanggup mengangguk-angguk untuk beberapa saat.
“Akan saya selesaikan! Akan saya selesaikan!!” tukasnya. Evan lantas permisi keluar dari ruang pimpinannya tersebut.
Bahkan saat kembali ke mejanya, kepala manajer proyek itu masih tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
“Aarrghh!!!” Ia merusak rambutnya kacau, menyamai pikirannya.
Seharusnya dia memang tidak melakukan perbuatan itu. Rene sudah membuatnya tergila-gila, mengidamkan dan memimpikannya siang malam. Tetapi gadis itu hanya memberinya harapan palsu, sementara Evan mendambakannya setinggi langit.
Saat gadis itu kembali menghubunginya, Evan piker, dia mungkin punya kesempatan. Mengikuti nafsu, Evan menyusun rencana busuknya. Bahkan, saat Rene memutuskan tidak memesan alcohol, lelaki itu masih nekad memasukkan obat saat gadis itu beranjak sejenak ke toilet.
Evan pikir, jika mereka pernah tidur bersama, mungkin saja Rene akan lebih mudah menerimanya, atau mungkin terpaksa menerimanya. Evan benar-benar tidak peduli saat itu. Ia bahkan sengaja memarkir mobilnya di area yang cukup gelap. Tetapi rencananya malah berantakan gara-gara pria itu.
Evan lantas meraih ponselnya, menatap nomor ponsel Rene lama dan ibu jarinya bergerak meragu. Tekan? Jangan? Tekan? Jangan?
Tetapi apa pun yang Rene syaratkan, mungkin lebih baik daripada gadis itu menuntutnya untuk kasus percobaan pemerkosaan. Memikirkan apa yang mungkin terjadi kepadanya di balik jeruji, membuat Evan mendadak mulas dan mual.
Akhirnya, dengan mata dipaksa terpejam Evan menekan nomor gadis itu.
“Hei, b******n, kemana saja?” sapaan tajam dan kejam langsung menusuk telinga Evan pagi itu. “Kau pikir setelah apa yang kau lakukan, kau bisa bebas berkeliaran begitu saja?”
“Rene, Rene, kumohon maafkan aku. Saat itu, pikiranku memang buntu, aku benar-benar—“
“Diam! Jangan banyak omong!” Rene memotong tajam. “Aku tidak peduli apa alasanmu, atau omong kosong lainnya yang akan kaukatakan. Di sana aku yang akan bicara, dan kau tidak akan bicara sampai aku mengijinkan, mengerti!?”
“Baik, baik, Rene! Aku akan—“
“Masih saja bicara!!??” bentak gadis itu.
“Ah, ma…. Um! Um!”
“Dengarkan aku. Aku sudah melihat CCTV kejadian saat itu. Aku juga punya saksi dan cukup bukti bahwa saat itu kau bertindak kriminal memberiku obat. Tentu aku juga tidak perlu mengatakan bahwa aku punya relasi di kepolisian, bukan?”
Rene bisa mendengar lelaki itu menelan ludahnya.
“Maka, agar aku tidak melaporkanmu, sebaiknya kau turuti apa yang aku inginkan. Pertama, aku tidak mau tahu bagaimana caranya, tetapi kau harus membuat Platinum Insurance menjadi sponsor Jehan di acara hari ibu.”
Bisa terdengar Evan terperanjat. Tetapi dengan menurut lelaki itu tak berkata apa pun.
“Kedua, aku tidak akan menarik kerjasama yang sudah terjalin di antara perusahaan kita, malah, aku akan menambah beberapa proyek kerjasama. Tetapi, kau harus memberikannya gratis untuk perusahaanku.”
“Kau gila!!” sentak Evan, tak lagi bisa menahan diri.
“Mm? apa-kau-bilang?”
“Mmm-mmak, maksudku, bagaimana bisa aku memberimu diskon hingga 100%? Perusahaan akan—”
“Apa aku bertanya pendapatmu?” ujar gadis itu dingin dan tak acuh. “Aku tidak peduli bagaimana caranya, itu urusanmu. Kau mau jual diri untuk menutupi biaya anggarannya juga aku tidak peduli.”
“T-tapi Rene…”
“Yang pasti, kau yang putuskan. Apakah akan mengikuti persyaratan yang aku ajukan, atau bersiaplah masuk bui dan mendapatkan perlakuan ‘me-nye-nang-kan’ di dalam sana.”
Sekali lagi ancaman itu membuat nyali Evan benar-benar ciut. Bukan hanya takut. Dia ngeri.
“Ada lagi yang mau kau katakan sebelum aku sudahi?”
“Rene, aku-aku… tidak tahu bagaimana bisa memengaruhi internal perusahaan platinum insurance. Walaupun pamanku memiliki posisi penting di perusahaan itu, aku sama sekali tidak berhak mengintervensi ataupun—“
“Aku-tidak-peduli,” potong Rene tegas. “Sebaiknya kau simpan napasmu, karena sekarang kau harus bekerja keras. Seharusnya kau tahu konsekuensi apa yang harus kau tanggung
“Aku hanya akan memberimu waktu 5 menit, setelah itu aku akan membuat surat. Apakah itu surat laporan kepolisian, atau surat perjanjian? Kau yang tentukan. Tidak ada jawaban, tunggulah panggilan dari pihak berwajib besok. Hitungannya mulai sejak panggilan ini terputus. Paham?”
Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak ditunggu jawabannya. Direktur Jehan itu langsung menutup telepon saat Evan baru saja menarik napas hendak bicara.
Seiring nada putus di telinganya, Evan bisa merasakan tusukan menyakitkan di kepalanya yang semakin dalam.
Lelaki itu benar-benar kalut. Bagaimana bisa dia memengaruhi pamannya untuk mensponsori Jehan? Tetapi yang lebih membingungkan, membuat project iklan gratis untuk Jehan? Bisa-bisa hasil kerja kerasnya selama ini harus terbuang sia-sia hanya untuk menggantikan biaya iklan Jehan.
Evan terperanjat, saat menyadari hanya 30 detik lagi waktunya memberikan jawaban. Dia cepat-cepat menekan nomor ponsel Rene kembali.
Gadis itu mengangkatnya. “Ya?”
“Baik, baiklah Rene! Aku akan lakukan apa yang kau minta! Tetapi, bisakah untuk masalah iklan, setidaknya aku memberikan diskon, 50% bagaimana?”
“Tidak ada negosiasi! Ya? Atau tidak!?”
“Ya! Ya! Baiklah! Baiklah!” Evan menyahut panik.
“Baiklah. Dalam 5 menit sekretarisku akan mengirimkan surat perjanjian ke emailmu. Beri materai dan tandatangani, lalu kirim hasil scannya dalam 15 menit. Setelah itu, minta kurir antarkan surat asli yang sudah kau tandatangani ke kantorku, dan harus sudah sampai tidak lebih dari jam 9.30. Paham?”
“Ya, Rene, aku paham, paham…”
“Jangan lagi memanggilku Rene. Panggil aku IBU RENESTY.”
Evan menelan ludahnya. “Ba-baik, baik, Ibu Renesty.”
Rene selalu menepati ucapannya. Tidak sampai 5 menit surat perjanjian meluncur ke email Evan. Lelaki itu terburu-buru mencetaknya. Evan tidak ada waktu lagi untuk membacanya. Dia segera mencari materai, tetapi tidak ada.
Cepat-cepat lelaki itu keluar kantornya, menuju ke meja sekretarisnya.
“Apa kau punya materai?” desak Evan.
“Ada, sebentar, Pak,” Mila, sekretarisnya itu tampak mencari-cari di dalam laci.
“Cepat!! Kenapa kau lambat sekali!?” hardiknya gelisah, seraya melirik jam dinding.
“I, iya, Pak, iya!! Ini Pak…” Mila segera menyerahkan materai tersebut kepada Evan.
Lelaki itu segera menjilatinya, menempelkan, dan meraih ballpoint di meja sekretarisnya untuk menandatangani surat perjanjiannya.
“Siapkan kurir atau siapa saja untuk mengirimkan dokumen ke Jehan Enterprise,” perintahnya.
“Sekarang Pak?”
“BESOK!!” sentak Evan.
“Besok jam berapa Pak?”
Evan menatap sekretarisnya tak percaya, sementara Mila tampak bingung dengan ekspresi atasannya itu.
“Kamu itu… ya sekarang lah!! Masa besok!!” bentaknya. “Dasar bodoh…!!” tukas Evan, seraya beranjak kembali ke ruangannya.
Mila hanya cemberut dibentak seperti itu. Tetapi, walaupun bersungut-sungut, gadis itu kemudian mencarikan karyawan yang bisa ditugasi menjadi kurir ke Jehan.
***