Augusta bersama ketiga rekannya sedang melakukan seleksi pemain drum pengganti sementara untuk band Forever. Selain itu, ada juga dua orang teman wanita mereka Mila dan Silvia, serta pasangan Aldo dan Melly yang merupakan pengunjung setia café Augusta.
“Menurutku Charly yang paling bagus, aku pernah melihatnya tampil. Tapi dia sudah mengatakan, dia tidak bisa berkomitmen hingga dua bulan. Dia hendak mengambil beasiswa keluar negeri,” ujar Leo, sang gitaris.
“Aahh! Repot kalau begitu, dia kan harus tampil rutin di café,” Augusta yang juga berperan sebagai manajer band mereka tampak enggan.
“Augusta, kurasa sekarang yang paling penting cari saja orang yang bisa tampil untuk festival dulu minggu depan. Kalau masalah tampil rutin, kita bisa mencarinya lebih leluasa nanti,” ungkap Randy yang memegang keyboard.
“Ya sudah, kita istirahat dulu saja. Nanti kita bicarakan lagi,” kali ini Thomas sang vokalis yang bersuara, seraya merangkul kekasihnya, Mila. “Kau pasti sudah lapar kan, Sayang?”
“Ya pastilah! Bosku sedang membuatku emosi hari ini, mungkin aku kebanyakan menghabiskan energy untuknya, jadi rasanya hari ini lapar sekali,” keluh Mila, gadis berlesung pipi yang senang bicara dan mendapatkan perhatian.
“Oke, ayo kita naik dulu,” ajak Augusta.
Namun belum sempat beranjak dari sana, tiba-tiba saja pintu garasi terbuka. Dan dua orang melangkah turun dari arah tangga ke ruang bawah tanah itu.
“Hei! Sepertinya kami datang tepat waktu?” seru Harris yang membawa banyak makanan di tangannya, dan di belakang ada Julian mengikutinya.
“Wow!! Makanan dataangg!!” para penghuni garasi itu memberikan sambutan meriah pada kedua orang pegawai CU tersebut.
Dengan senyuman lebar, Harris meletakkan makanan itu di meja dan langsung diserbu oleh mereka. Julian, yang mendapat julukan “Si Tampan” lalu diperkenalkan pada Mila dan Silvia yang baru bertemu dengannya.
“Hai Julian!” sapa Melly ceria, dengan make up super tebal seperti biasa.
Julian kadang masih merasa lucu dengan fakta bahwa dia pernah berniat mendekati Melly. Mengingat gadis itu masih sangat belia dan kekanakan.
“Hei, apa kabar? Lama tidak bertemu,” sapa Aldo kepada Julian, sebelum kemudian mereka saling menampar telapak satu sama lain sebagai tanda salam. Aldo lalu berkenalan dengan Harris.
Augusta bertanya pada Aldo, “Kalian sudah saling mengenal?” ia tampak heran, karena ini kali pertama Aldo bergabung dengan mereka.
“Mereka pernah bertemu di gathering, ingat ‘kan, Kak?” Melly menyambar, lantas bicara kepada Mila, yang ternyata kakak gadis itu. “Aku pernah mengatakannya waktu itu?’
“Aahh.. ya, ya, saat itu, kau datang dengan Julian, dan Aldo dengan Rene dari Jehan, ‘kan?” Mila mengangguk-angguk sembari meraih sekotak bento yang dibawakan Harris untuk mereka.
“Iya, benar!”Jawab Melly ceria.
“Ah, omong-omong, Aldo, apa kau masih berhubungan dengan Rene?” tanya Harris, tertarik.
“Mana mungkin!” tandas Aldo, “Dia benar-benar marah karena yah… aku akui seharusnya tidak berbohong sejauh itu. Tetapi aku sebenarnya hanya menguji kemampuan aktingku.”
“Ah, iya!! Omong-omong, Aldo terpilih untuk menjadi pemeran di salah satu sinetron loh! Syutingnya mulai bulan depan!” Dengan bangga Melly memamerkan prestasi kekasihnya.
“Skripsimu bagaimana?” tanya Julian.
“Iya tuh, skripsimu bagaimana!?” tukas Mila, yang sukses membuat Aldo meringis dan pura-pura pingsan, membuat sekelilingnya tertawa. “Padahal, dia ini sudah minta ijin penelitian di perusahaanku sejak enam bulan lalu, sampai sekarang belum muncul juga.”
“Bisakah kita jangan dulu membicarakannya?” pinta Aldo.
“Btw, bicara soal Rene dari Jehan, aku ada sedikit info,” Mila kembali bicara sedikit berbisik, dengan mata siap bergosip.
“Hey, Babe, jangan bicara aneh-aneh, di sini ada Boss-boss dari CU,” Thomas mengingatkan kekasihnya.
Mila mengerucutkan bibirnya manja. “Aku kan hanya ingin berbagi sedikiitt… lagipula tidak ada kaitannya dengan CU. Habisnya aku kesal pada si Evan itu!”
“Evan?” Julian tertegun. “Evan siapa?”
“Evan Fernando, atasanku di Blue Sky Advertising,” terang Mila. “Dia dan Rene sepertinya pernah dekat, atau Pak Evan saja mungkin yang terlalu banyak berharap.”
“Lalu menariknya dimana? Rene kan memang begitu. Dekat sana-sini tapi sebetulnya hanya mempermainkan mereka. Herannya, para lelaki itu seperti tidak punya mata atau telinga, selalu saja senang kalau didekatinya,” tukas Silvia, yang sedari tadi diam saja karena sibuk menyuapi Leo dan seakan-akan berada di dunia mereka sendiri.
“Laki-laki didekati wanita cantik mana ada yang menolak? Apalagi seperti Renesty. Dijadikan kacung atau kesetnya pun mereka pasti bersedia,” seloroh Aldo, yang segera dihadiahi pelototan Melly. Pria itu langsung menutup mulutnya dan memeluk gadis itu. “Bercanda, Sayang, bercanda… Dia itu tidak seimut kau,” rayunya yang langsung dihadiahi senyum oleh anak SMA itu, serta membuat sebagian orang menahan mual.
“BY THE WAAAYYY….” Mila meninggikan suaranya, kembali mencari perhatian. “Tadi pagi ada kejadian aneh, Pak Evan terlihat sangat ketakutan dan buru-buru. Dia menandatangani sebuah surat perjanjian rahasia bermaterai. Saat aku lihat, di sana juga ada nama Renesty!” gadis itu tampak bangga dengan informasi yang dimilikinya.
“Beb, kalau itu rahasia, kenapa kau bisa tahu?” Thomas merasa heran.
“Ya tahu lah! Dia menandatanganinya di atas mejaku. Seperti kubilang, sepertinya dia panic jadi dia tidak banyak berpikir. Tetapi, ada beberapa kata yang sempat k****a, seperti, mencarikan sponsor, tanpa mengenakan biaya apa pun, dan entah apalagi,” katanya.
“Wah…! Jangan-jangan bosmu terlibat skandal!” ujar Harris.
“Mungkin. Setahun bekerja dengannya, baru kali ini aku melihatnya sepanik itu, entah apa masalahnya.”
Julian diam-diam menyerap informasi itu. Jadi, Rene sudah memberikan pembalasan buat lelaki bernama Evan itu? Diam-diam lelaki itu merasa bangga, dan tersenyum tipis mendengarnya.
“Jangan-jangan, Rene menjadi wanita simpanannya?” seloroh Silvia.
“Mustahil!!” tampik Julian spontan, membuat kesembilan orang lainnya sontak menoleh heran ke arahnya. “Dia bukan wanita seperti itu!” tegasnya.
“Hei, tenang, bro, tenang,” Harris yang keheranan, menepuk-nepuk bahu Julian.
“Aku kan hanya bercanda…” gumam Silvia, agak ketakutan dengan suara keras Julian.
Julian melirik sekelilingnya agak sedikit salah tingkah, tetapi berusaha menenangkan dirinya lagi.
“Maksudku, dia tentu, punya reputasi yang harus dijaga. Lagipula, memangnya seperti apa lelaki bernama Evan itu?”
“Tapi memang Julian benar, tidak mungkinlah Rene menjadi simpanan Evan, yang ada mungkin sebaliknya,” canda Mila, yang ditanggapi tawa beberapa orang. “Akan lebih mungkin jika Rene berpacaran dengan Pak Robert, yang jelas-jelas pemilik perusahaannya.”
Melly ikut bicara, “Tetapi bukankah kau bilang Pak Robert sudah berusia 40 tahunan!? Rene sepertinya masih bisa mendapatkan pria yang masih muda, kaya, pintar, seperti misalnya…” gadis itu berpikir, hingga matanya mendarat pada Julian. “Om Julian!”
Sebutan Om itu kembali membuat sekelilingnya tertawa.
“Sial!” rutuk Julian, sembari memukul perlahan kepala Melly dengan sumpit, “Sejak kapan aku menjadi Om-om! Lagipula aku dan pacarmu hanya berbeda setahun!” lelaki itu mengingatkan.
“Justru dari milyaran lelaki di dunia, Julian itu paling tidak mungkin dengan Rene,” tukas Augusta. “Mau perang dunia kedua apa?”
“Benar!” Tandas Harris, “Seperti tidak ada orang lain lagi saja. Pradipta dan Nararya sampai kapan pun tidak akan pernah bersatu! Masih banyak wanita yang lebih segala-galanya dan tidak beracun! Benar ‘kan, Julian?” lelaki itu meminta dukungan.
Julian menelan ludahnya. “Hm,” tanggapnya pendek. Lantas pikirannya menerawang.
Masalahnya, bagi Julian, tidak ada wanita lain. Bahkan jika beracun pun, Julian mungkin masih memilih menyicipnya, walau itu menjadi hal terakhir yang akan dirasakannya. Sebesar itu godaan seorang Renesty untuknya.
Ah… aku sangat merindukannya, pikir Julian.
Ia lantas teringat kata-kata gadis itu.
Bisakah kau datang ke rumahku?
Gadis itu benar, jika datang ke rumahnya saja mustahil, bagaimana bisa menjadi bagian dari keluarganya? Kehidupannya? Sulit. Terlalu mustahil.
Ugh! Julian benci sekali dengan kata-kata mustahil. Seperti ejekan yang menantang harga dirinya. Tetapi dia bisa apa? Apa yang bisa dia lakukan saat sangat merindukan Rene seperti ini?
“Hei, omong-omong, apa belum ada kabar apa pun dari Diana? Apa dia benar-benar menghilang begitu saja, Augusta?” tanya Harris, memecah lamunan Julian.
“Belum ada,” jawab Augusta, yang memakan burgernya dengan lahap. “Aku hubungi nomornya tidak diangkat.”
“Aku juga tidak tahu dia dimana,” Melly ikut bicara. “Aku sudah tanya Om dan Tante. Katanya Diana hanya sempat mengirim pesan sebentar, mengatakan dia baik-baik saja. Tetapi tidak ada kabar lainnya.”
“Mungkin sebaiknya kau membuat pers conference saja, Julian. Mereka akhirnya berhenti mengejar-ngejar Augusta dan mendatangi kafenya setelah dia memberikan pernyataan,” ungkap Randy. “Ya… masih ada sih, tetapi tidak sebanyak dulu.”
“Aku sudah mengirimkan pers release. Lagipula, jika menanggapi mereka, tidak akan pernah selesai. Bisa habis waktuku hanya mendengarkan pertanyaan mereka yang terkadang tidak masuk akal.”
“Iya, aku sudah berkali-kali mengatakan bahwa aku dan Julian baik-baik saja. Aku juga masih menunggu kabar dari Diana. Tapi masih saja, mereka bertanya ini dan itu, sampai aku minta tidak diganggu karena masih ada terapi yang harus kujalani. Tetapi setidaknya, mereka tidak berkerumun lagi di café.”
“Tapi omong-omong, cafemu juga semakin ramai ya, Augusta? Kau jadi mendapat keuntungan sampingan!” seloroh Leo, dan disetujui yang lain.
“Ah! Aku ada ide!!” cetus Randy, seraya menjentikkan jarinya, hampir saja membuat Silvia tersedak. “Bukankah Julian bisa bermain drum?” tanyanya.
Kali ini semua mata beralih kepadanya.
“Lalu?” tanya Julian, tampak kurang menyukai ide yang tiba-tiba mengisi pikirannya.
“Kenapa kau tidak menggantikan Augusta untuk festival nanti? Saat itu Augusta akan menjadi backing vocal. Kalian bisa menunjukkan kalau hubungan kalian baik-baik saja,” Randy membeberkan idenya.
“Benar juga, nasi sudah menjadi bubur, tinggal buburnya dibumbui agar lezat!” imbuh Harris.
“Ah… aku tidak bisa, mana bisa aku tampil regular bersama kalian,” tampik Julian.
“Ayolah, tidak apa-apa, kehadiranmu bisa menjadi cara promosi band ini. Lagipula kau sudah punya banyak fans, selain itu, kau sudah tahu lagu-lagu Forever. Kalau untuk mengisi acara regular, nanti kami bisa cari lagi. Sekali saja, saat festival. Kau setuju, ‘kan, Augusta?”
Sekarang semua menatap Augusta, termasuk Julian.
“Iya, tolonglah, apa kau bisa menggantikanku untuk festival nanti?”
Akhirnya Julian tidak punya banyak pilihan. Setelah sejenak menimbang, lelaki itu pun setuju. “Baiklah, sekali saja untuk festival. Kuharap ide kalian ini tidak akan membawa masalah.”