Kenangan di Balkon

2316 Kata
Rene keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk. Tubuhnya terasa letih sekali setelah bekerja seharian. Rene lantas membuka lemari pakaiannya untuk mencari baju tidur yang akan dia kenakan malam ini. Tiba-tiba tatapannya jatuh pada blouse yang dia kenakan ketika tragedi dengan Evan terjadi. Rene menghirup udara berat, napasnya sesak. Ia memang benci kejadian malam itu, walaupun ia hampir tidak mengingatnya sama sekali. Tetapi, blouse itu, juga mengingatkannya pada hal lain. Gadis itu mengusap kancing-kancing kemeja Julian yang terpasang di blousenya itu dengan jemari panjangnya yang lentik. Tanpa dikomando semua kejadian di apartemen lelaki itu berputar di kepalanya. Rene harus akui, tubuh dan pikirannya selalu berreaksi berbeda jika mengingat Julian. Dulu dia memang membencinya tanpa alasan, hanya karena dia putra sulung Anthony Nararya, dan semakin membencinya setelah persaingan terbuka mereka. Tetapi, sekarang bukan benci yang mengisi hatinya saat teringat Julian. Hanya kesedihan…. Dan rindu yang mendalam. Ia bahkan tidak bisa lagi berpura-pura tidak acuh saat di dekatnya. Setelah mengenakan gaun tidurnya, Rene menyisir rambut dan menyemprotkan parfum malam yang selalu digunakannya untuk menemani tidur. Tetapi, malam ini perasaannya sedikit melankolis. Rene lantas beranjak ke balkon kamarnya, hendak mengamati purnama yang indah dari sana. Ia kembali teringat Julian. Lelaki tampan yang selalu menghantui kesadaran. Rene tidak pernah merasakan kerinduan sedalam ini kepada siapa pun sebelumnya. Kenapa perasaan dilema ini begitu menyiksa. Semakin ia mengingatkan dirinya untuk melupakan Julian, semakin lekat bayangan lelaki itu di benaknya. Sejenak ia memainkan ponselnya. Ia sudah memblokir Julian dari kontaknya untuk sementara. Hal ini ia lakukan demi kedamaian hatinya sendiri. Tetapi satu sisi di sudut hatinya menyesali keputusan tersebut. Ia merindukan pesan lelaki itu muncul di ponselnya. Menantikan nama ROMEO tertera di layarnya. Tetapi dia tidak bisa mencabut keputusannya saat ini. Ia meyakini ini yang terbaik bagi mereka sekarang. Biarlah ia menderita tertusuk rindu. Setidaknya dia tidak akan melukai hati dan harga diri keluarganya.  “Hhh… Julian, apakah kau sedang memandangi bulan yang sama denganku? Apa kau juga tengah ditelan kerinduan sepertiku?” desah Rene, menghela napasnya dalam, menatap purnama yang terang ditemani bintang. Renesty tidak pernah merasa begitu melankolis seperti saat ini. Ia tidak pernah bermain perasaan dan hatinya tidak pernah tahu rasa gundah hingga kini. Pertanyaan itu tidak henti mengusiknya belakangan. Mengapa dari sekian banyak pria dalam hidupnya, harus lelaki itu yang memporakporandakan pertahanannya? Harus lelaki itu yang membuat hatinya tercabik saat teringat segala hal yang mustahil di antara mereka? Seorang Julian. Seorang Nararya. Rene merasakan tenggorokannya tercekat, rasa sakit menggumpal di sana dan sepertinya akan segera meluruh menjadi airmata. “Sudah sudah sudah!” Gadis itu menguatkan perasaannya. Tidak seharusnya dia seperti ini. Ayahnya telah mendidiknya dengan tegas dan keras agar Rene tidak menjadi gadis korban perasaan seperti kakaknya, Renata. Gadis itu memutuskan untuk mengakhiri sesi menggalaunya dan beranjak masuk ke dalam kamar. Rene baru saja menutup pintu balkon dan meletakkan ponselnya saat terdengar suara benturan di kaca pintu yang baru ditutupnya. Gadis itu tertegun, menoleh ke arah pintu berkaca besar itu. Sekali lagi suara tumbukan itu terdengar. Rene membuka tirainya, tidak mendapati apa pun. Lalu matanya melebar saat sebuah kerikil membentur kaca pintunya lagi. Ada seseorang yang melempar kerikil-kerikil itu!! Penuh tanya Rene membuka lagi pintu balkon dan beranjak keluar. Ia melangkah hingga mendekati pagar balkonnya dan terperangah mendapati ada Julian di bawah sana. Lelaki itu tersenyum lebar melambaikan tangannya. “Ju-Julian!” Rene lantas membekap mulutnya sendiri. Waspada matanya beredar ke sana kemari. Malam cukup terang dengan lampu taman dan purnama. “Apa yang kaulakukan di sini!?” desisnya penuh kecam. Ia tidak mengira Julian berani menghampiri kediamannya. “Kita harus bicara!” Desis Julian yang mendongak ke arah gadis itu, dengan menggunakan bantuang tangannya memberi isyarat. “No! No! No!” Rene menyilangkan kedua tangan berkali-kali menegaskan keputusannya sambil berusaha menahan suaranya agar tidak memancing kecurigaan. “Kalau begitu aku tidak akan pergi!” Julian menegakkan tubuhnya seperti perwira yang bergeming menjaga posnya. Rene menghela napas frustasi, mengurut dahinya. Dia pernah mendengar segala hal mengenai Julian. Tetapi dia tidak pernah tahu jika Julian lelaki nekat dan keras kepala. “Apa yang kau inginkan?” Rene mencondongkan tubuhnya, membungkuk melewati pagar balkon. “Turunlah, kita bicara.” “Aku tidak bisa! Ayahku akan curiga dan dia bisa membunuh kita jika melihat kita berdua!” “Apa?” Julian menautkan alisnya, tidak bisa mendengar jelas kalimat panjang berupa desisan itu. “Aku tidak bisa!” tukas Rene singkat, kembali menggerakkan kedua tangannya menolak. Ia lantas melihat Julian mengeluarkan sesuatu dari tas gendongnya. Seutas tali. Mata Rene membulat. Apa yang hendak lelaki itu lakukan? “Kalau kau tidak mau turun, aku yang akan naik!” putusnya. Julian tampak telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia membawa tali yang telah diikatkan simpul-simpul sepanjang tali tersebut untuk dipanjatnya. Ia lalu memutar-mutar ujung tali itu. Dan saat Rene masih ragu dengan kenekatan Julian, lelaki itu telah melemparkan ‘lasonya’ ke balkon Rene dan berhasil menjerat salah satu bagian beton di pembatas balkon yang menonjol. Lelaki ini tidak mungkin serius… pikir Rene. Tetapi Julian serius. Sangat serius. Julian mulai melompat ke atas tali, dan membelitkan tali itu ke kaki kanannya. Kedua tangannya perlahan memanjat, bertumpu pada setiap simpul mati yang dia buat di sepanjang tali. Rene hanya termangu mengamati Julian semakin mendekat ke arahnya. Jantungnya berdebar kuat, melihat mata cokelat itu terus menengadah menatapnya. Julian… perjuangan lelaki itu sangat menyentuhnya. Rene mengeratkan rahangnya, merasa sangat tegang. Sesekali ia menoleh kesana kemari. Kemana penjaga keamanannya sampai-sampai Julian lolos dari pengawasannya? Ia bergeming, menanti dengan debaran penuh antisipasi. Hingga akhirnya, tangan Julian meraih pembatas balkon Rene, gadis itu segera membantu lelaki itu melompat masuk ke balkonnya. “Kau gila! Kenapa kau datang tengah malam begini?” desis Rene tidak percaya. “Apa aku harus datang siang hari?” Julian juga ikut berbisik. Tampak jelas raut khawatir dari gadis itu. “Apa kau tidak berpikir? Kau mungkin celaka? Keamanan mungkin menangkapmu. Bahkan, Ayah mungkin memergokimu dan kau bisa… kau bisa…” Rene tidak bisa bicara lagi, saat melihat jejak-jejak tali berupa baretan di telapak lelaki itu. Ia menatap Julian nanar. “Kenapa kau melakukan ini semua, Julian?” “Karena kau tidak menanggapi satu pesan pun dariku,” sahut Julian. “Kurasa kau memblokir kontakku. Kita harus bicara.” “Apa kau selalu sekeras kepala ini?” “Tergantung apa yang kukejar,” Julian mengamati raut cantik yang bersinar ditimpa cahaya rembulan itu. Sekarang semua jerih payahnya terasa mendapatkan balasan yang setimpal saat dia melihat Rene. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Rene, menghiba. Julian meraih pipi Rene. “Kejujuran,” katanya. “Saat kita berada di dalam lift, di apartemenku. Aku yakin, kau pun merasakan, ada sesuatu di antara kita, benar, kan?” Mata Rene mengambang gamang. Dia tidak siap membicarakan ini dengan Julian. “Aku sudah bilang, kau bisa mendapatkan ribuan gadis lain di luar sana!” “Tetapi mereka bukan kau, Rene. Aku tidak pernah merasa seperti ini selain kepadamu. Rasanya… rasanya aku bisa gila!” Napas Rene terhenti sejenak mendengar ucapan Julian. Ia tahu benar lelaki itu tidak berbohong. Tidak hanya mempermainkannya seperti yang pernah ia kira. Rene bisa merasakan kedua tangan Julian di lehernya, sebagian jemari menangkup wajahnya. “Aku sudah jatuh cinta kepadamu, Rene.”  “Julian! Ini tidak masuk akal…” tampiknya, mulai terdengar meragu dan ketakutan. “Aku tidak mengenalmu. Dan kau… putra musuh ayahku. Aku tidak bisa… Aku tidak boleh…” Rene menggelengkan kepalanya, kalut. “Apakah masuk akal bagimu, saat mataku terus mencarimu? Apakah masuk akal bagimu, saat aku terus memimpikanmu siang dan malam? Katakan, Rene, apakah masuk akal bagimu, saat aku merasa begitu cemburu melihatmu bersama orang lain? Hingga rasanya aku bisa membunuhnya saat itu juga? Atau betapa aku merindukanmu malam ini dan melakukan apa saja agar bisa melihatmu!?” “Julian…” “Tidak ada yang masuk akal,” tukas Julian. “Namun saat aku di dekatmu, semuanya mulai terasa begitu benar, begitu nyata. Begitu indah…” Rene berusaha. Berusaha keras tidak menyerah pada hatinya. Berusaha keras tidak menatap mata indah Julian yang mendebarkan, atau suara tegasnya yang menuntut Rene menurutinya. Lelaki itu mengangkat wajah Rene, meminta gadis tidak lagi lari dari kenyataan. Tidak lagi menolak gravitasi yang tercipta di antara mereka. Mata Rene menatap gamang, dan terasa panas. Seperti ada sesuatu yang akan mengalir dari sana. “Aku tahu ada masa lalu yang menyakitkan di antara keluarga kita. Masa lalu yang berlumur dendam dan kebencian. Namun aku tidak sanggup lagi membencimu. Bahkan, aku tidak tahu apa aku pernah benar-benar membencimu atau itu hanya ilusi dari dendam yang telah lama didoktrinkan ke dalam hatiku.” Air mata gadis itu meluruh juga. Untuk pertama kalinya ia menangis di hadapan orang lain. “Tetapi aku bisa meyakinkan apa yang nyata bagiku sekarang. Aku bisa dengan pasti mengatakan kepadamu, aku telah terjerat pesonamu. Mencintaimu sangat dalam. Seperti malam yang merindukan bulan, seperti bunga yang merindukan hujan.” Ia menghapus airmata Rene dengan ibu jarinya. “I think I’m in love with you.” Julian menjeda. Ia lantas menggeleng dan tersenyum pasrah. “No. I truly love you. I love you too much.” Kalimat itu terlontar seperti martir yang merubuhkan benteng kokoh di hati Rene yang selama ini selalu berusaha bertahan dari berbagai perasaan melankolis romantis. Rene memeluk lelaki itu. Tidak kuasa lagi membohongi perasaannya dan berlari dari hasrat hati yang sesungguhnya. “Julian… Biarlah mataku buta daripada aku tidak bisa melihatmu lagi, dan biarlah bibirku menjadi bisu ketimbang aku tidak bisa menyebut namamu lagi…” Rene memeluk lelaki itu semakin erat. “Aku juga… Aku juga mencintaimu, Julian…” Akhirnya Rene menyerah pada hatinya. Tidak mengelak, atau berlari. Dan pilihannya kali ini, terasa sangat tepat. Perasaan Julian membuncah, ia memeluk gadis itu lebih erat lagi. Rasanya ia tak pernah mengecap sukacita sebanyak ini. Julian tersenyum teramat bahagia. Tiba-tiba sebuah ketukan terdengar di pintu kamar Rene. Membuat pasangan baru itu terperanjat bersamaan. “Rene! Apa kau belum tidur!?” ketukan di pintu terdengar lagi. Keduanya mengamati pintu kamar Rene dengan penuh kecemasan. “Itu Mama! Dia akan curiga jika aku belum tidur selarut ini. Kau harus pergi Julian!” usir Rene, berkali-kali menoleh ke pintu dengan gelisah. “Rene!” seruan itu terdengar lagi. Engsel pintunya mulai bergerak. “Sembunyi!!” Gadis itu sontak mendorong Julian ke tepi balkon untuk bersembunyi. Lelaki itu segera merapat ke tepi, agar bagian tubuhnya tidak ada yang mengintip ke jendela. Gadis itu bergerak masuk ke kamarnya dengan cepat, saat itu juga pintu terbuka dan Mariana melangkah masuk ke dalam kamar putrinya. “Kau belum tidur?” tanya wanita itu lembut, penuh rasa khawatir. Tatapannya lantas beralih pada pintu balkon yang masih terbuka. “Kenapa pintu balkonnya belum ditutup?” “Ah, itu tadi…” Rene menoleh gelisah beberapa kali. “Rene, habis, habis…” “Kamu merokok lagi?” tanya ibunya tegas. “Ti-tidak, Ma! Bukan! Tadi Rene sedang lihat bulan. Menghilangkan stress.” “Awas kamu kalau merokok lagi, jangan cari-cari penyakit!” tegur Mariana. Nyonya Pradipta mengamati ke luar kamar putrinya. Wanita yang tampak masih cantik di usia awal 50-annya itu lantas melangkah mendekat ke arah balkon. “E-eh, Mama mau kemana?” Julian bisa mendengar langkah kaki mendekat. Dia semakin memepetkan dirinya ke tepi balkon. Jantungnya berdebar kuat. Apa ibu Rene akan keluar dan memergokinya? Mata Julian melirik ke arah bawah, terlalu jauh jika dia harus melompat, kakinya bisa patah! Tiba-tiba Julian mendengar pintunya ditutup. Mariana berbalik setelah mengunci pintu balkon putrinya. “Cepat tidur, sudah malam. Nanti kamu masuk angin. Belakangan sering sekali pulang malam.” “Iya Ma, memang sedang sangat sibuk di kantor.” Mariana tersenyum keibuan, dia menghampiri gadis semampai yang membuatnya agak mendongak melihatnya itu. Perlahan Marina mengusap kepala putrinya. “Kamu harus memegang tanggung jawab sebesar ini, Mama harap jangan terlalu memaksakan diri. Bagaimana pun, yang paling penting tetap jaga kesehatan, dan pastikan kau bahagia, ya… Sayang…” Rene menatap ibunya penuh kasih, dan mengangguk. “Iya Ma… terima kasih.” Mariana tersenyum lembut. “Sudah, tidurlah, Mama juga mau tidur lagi. Selamat malam.” “Selamat malam.” Rene sejenak mengamati pintu kamarnya yang tertutup. Jika saja bukan karena ibunya yang penuh kasih sayang, Rene mungkin tidak sanggup bertahan menerima perlakuan keras ayahnya kepadanya. Gadis itu lalu bergegas keluar lagi dari balkon. “Julian!” Rene segera menghampiri kekasihnya. “Sebaiknya kau cepat pulang, sebelum ada orang lain yang memergokimu. Cepat, Julian! Kau harus pergi!” “Balas pesanku!” pesan Julian. “Ya, ya,” Rene mengangguk, mendorong lelaki itu mendekati tali yang masih terpasang di tepi balkon. “Kuharap keamanan tidak akan menangkapmu.” “Ah, soal itu,” Julian teringat. “Aku sudah membuat mereka tertidur. Tetapi, kurasa rekaman CCTV-nya harus kau tangani.” “Baiklah, baiklah. Kabari aku setelah kau pulang dengan selamat.” Julian sudah berdiri di balik pagar dan membelitkan talinya saat ia meraih telapak Rene dan mencium punggung tangannya. “Selamat malam. Mimpi yang indah, Tuan Puteri.” “Hati-hati,” pesan Rene sekali lagi. “Tolong simpankan taliku, oke? Siapa tahu aku membutuhkannya lagi maka aku tinggal memanggilmu, Rapunzel, Rapunzel, turunkan talimu.” Rene tidak dapat menahan diri dan tergelak kecil. Pipinya merona dan hatinya begitu riang sekarang. Ia lalu mengecup dahi Julian ringan. “I can’t wait to see you again,” bisiknya penuh. Lelaki itu dengan cakap meluncur turun dari balkon Rene, lantas mengendap-endap menyusuri tembok dan tanaman untuk menyusuri halaman rumah gadis itu untuk beranjak pulang. Rene cepat-cepat membuka laptopnya, mengakses rekaman  CCTV rumahnya. Ia lantas mencari-cari, dan benar saja, Julian beberapa kali tertangkap kamera walaupun tidak terlalu jelas. Gadis itu bergegas menghapus rekaman malam itu sebelum ada yang mengetahuinya. Gadis itu bernapas lega, lantas menutup kembali laptopnya. Besok pagi dia ada meeting dengan pihak penting. Ia tidak boleh tidur lebih larut lagi. Sejenak tatapan gadis itu jatuh di punggung tangannya yang tadi dikecup Julian. Ia tidak bisa lagi menahan senyumannya. Dengan jantung berdebar Rene mengecup bekas kecupan Julian. Entah kenapa hal itu saja membuat hatinya mengawang-awang dalam kebahagiaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN