“Julian! Platinum Insurance menolak proposal kita!” lapor Harris panik. “Sekarang kita harus mencari sponsor besar lainnya. Kemana kita harus mencarinya? Ya ampun! Aku baru menyadari ternyata mencari sponsor untuk menggelar acara besar hari ibu tidaklah mudah. Kebanyakan sudah menyisihkan budget mereka untuk promosi natal dan tahun baru! ” Keluh pria itu, sembari mengacak-acak rambut durinya yang kaku dengan kesal.
Tak ada tanggapan berarti, Harris tertegun, lantas mengamati Julian yang bergeming memainkan ponselnya dengan wajah cerah.
“Julian! Hei! Apa kau mendengarku!? Apa yang sedang kau pandangi di layar ponselmu itu!?” Harris mencondongkan badannya berusaha mengintip ponsel sepupunya.
Julian terperanjat akan teguran itu, sontak menyembunyikan layar ponselnya, menoleh ke sana kemari, lalu bersikap siaga. “Ya?”
“Ya!? Ya!? Ya-Ya apa!? Kau mendengarkanku tidak? Kubilang Platinum menolak proposal kita! Aku yakin mereka telah memilih Jehan. Pasti si Rene sialan itu sudah melakukan cara licik atau cara murahan untuk mendapatkan mereka.”
Julian mengangkat kedua alisnya singkat sebelum berdeham mendengar nama kekasihnya disebut.
“Mungkin proposal mereka memang lebih sesuai dengan konsep yang Platinum butuhkan. Sudahlah, bukan hal besar. Kita bisa mencari sponsor lain.”
Harris terheran-heran melihat sikap santai Julian.
“Sponsor yang mana maksudmu? Kita sudah mencari banyak sponsor dan kau tahu apa jawaban mereka. Sementara Platinum sudah menyediakan budget besar untuk acara launching produk baru mereka yang pas sekali dengan momen yang kita butuhkan. Kenapa kau malah tenang-tenang saja!? Lakukan sesuatu, Julian!!”
“Ya! Aku akan melakukan sesuatu!” Julian meraih jasnya dan beranjak. “Dan berhentilah merengek seperti bocah, Harris. Dunia belum berakhir hanya karena Jehan mendapatkan sponsor.”
Alis Harris berkerut. “Untuk mengingatkan, Julian. Mungkin duniamu yang akan berakhir! Karena kalau kau sampai kalah, kau pasti ingat taruhannya.”
“Ya, ya, ya…” Julian mengangguk-angguk. “Sekarang, apa kau mau diam saja, atau ikut denganku?”
“Ke mana?”
“Mencari sponsor.” Julian menukas sambil beranjak pergi.
“Oh, ya! Aku ikut!”
***
“Apa ini?” Alice menatap judul film yang disewa online oleh Rene pada smartphonenya. “Ini semua Romance? Sejak kapan yang begini became your stuff?”
“Kenapa? Aku hanya sedang ingin melihatnya. Kudengar film-film ini bagus.”
“Kau selalu mengatakan romance is a craps dan hanya untuk orang-orang cengeng.”
“Oh, ya? I said that?”
“Loud and clear…”
“Well… just wanna give it a shot. Mungkin ini sebagus yang kudengar.”
“Yeah… kalau kau suka romance, tapi kau—“
“Oh my God, Alice! Kau cerewet sekali. Apa anehnya seorang gadis menonton romance?”
“Sangat aneh jika orangnya kau,” seloroh Alice blak-blakan, yang ditanggapi tawa renyah Rene.
Saksama Alice mengamati sahabatnya itu.
Setelah 25 tahun, tiba-tiba gadis itu menyukai romance? Aneh sekali. Bukannya Rene tidak pernah menonton romance. Mereka pernah menonton romance dan Rene tidak pernah berhenti berkomentar sinis atas semua hal yang berkaitan dengan asmara. Mencebik, mengejek, Rene jadi teman nonton yang menyebalkan jika genre filmnya romance. Hanya ada satu film yang sangat dia sukai mengenai cinta—yang membuatnya menyimpan ciuman pertamanya, dan masih menyisakan satu sisi Rene yang naif.
Namun, film itu pun berkisah tentang perang dan berakhir dengan kedua tokohnya mati. Dan sekarang, mendadak semua filmnya all about romance?
“Apa kau sedang jatuh cinta?” tembak Alice, yang hampir membuat Rene memuncratkan vanilla smoothies yang dihisapnya.
Gadis itu terbatuk-batuk, berusaha melegakan tenggorokan. “Apa maksudmu?”
“Aku punya feeling, kau sepertinya sedang jatuh cinta.”
“Hanya karena aku menyewa film romance?”
“No! All this stuffs… your movies, cake, and this…?” Alice menunjuk pada vanilla smoothies yang sedang Rene nikmati. “Kau selalu minum yang pahit atau asam. Tiba-tiba, minuman manis ini? Makanan manis?”
“Oh, come on!” Rene memutar matanya dan tergelak lagi.
“Juga air mukamu,” tukas Alice, mengamati curiga wajah Rene. “Kau selalu berseri-seri, tidak sinis, menganggap semua hal lucu dan menyenangkan. You-are-in-love!”
“No!” tangkis Rene segera. “Lagipula sejak kapan kau berubah menjadi profesor percintaan? Sekarang saja kau masih single!”
“At least, aku sudah pernah merasakan beberapa cinta sejati. Tidak sepertimu yang cinta hanya sebatas antar jemput dan tanda tangan proyek.”
“Alice, cinta sejati itu bukan ‘beberapa’ melainkan satu. Satu. One and only. With the right man,” Senyuman itu tidak bisa ditahan lagi, mencuat otomatis saat Rene membayangkan sosok Julian.
“Right man?”
“Ya. Lelaki yang tampan, jantan, pantang menyerah, mungkin menyebut pasanganmu mirip om-om karena merasa cemburu.”
“What?” Alice bengong.
“Tetapi dia kemudian memanjat balkon kamarmu di malam bulan purnama untuk mengatakan betapa dia mencintaimu.”
“Wow, Rene, di film yang mana kau menyaksikan itu semua?”
Rene mengukir senyum bahagianya semakin lebar dan menggeleng tanpa sepatah kata.
“You really freak me out. Kau tidak seperti Rene yang kukenal.” Alice benar-benar memasang wajah panik.
“Mungkin aku memang bukan Rene yang kaukenal,” gumam Rene, lembut, sembari mengulum senyumnya.
Dan dibuatnya Alice tak bisa berkedip, semakin takut.
***
Rasa waswas menyelimuti Rene saat ia melangkah menyusuri lantai keramik sebuah gedung apartemen. Ia takut bersirobok dengan orang yang ia kenal. Rene menyusuri selasar dengan pintu-pintu serupa, hingga ia menemukan angka yang dicarinya. 1109.
Jantung gadis itu berdebur keras saat mengetuk pintu apartemen. “Julian!”
Tidak lama pintu terbuka, gadis itu terpekik pelan saat dengan cepat tangannya ditarik masuk. Kembali Rene terpekik saat ia menumbuk d**a bidang seorang lelaki, dan tak lama lengan yang kokoh melingkar di tubuhnya.
Rene tergelak saat Julian memeluknya erat.
“Welcome to my place,” bisik lelaki itu, menyambutnya lembut.
Rene mendongak, meresapi segarnya aroma es dari kulit pucat Julian. Wajah gadis itu yang berhias blush on tampak kian merona saat merasakan kehangatan yang dipancarkan lelaki itu dari pelukan dan senyumnya.
“Apa ada yang membuntutimu?” tanya Julian saat mengaitkan jemari mereka dan membawa Rene bersamanya ke dalam, menyusuri ruang apartemennya yang luas.
“Kurasa tidak,” jawab Rene, mengamati punggung tegap Julian yang ia rindukan. “Jadi kau akan menetap di apartemen ini?” ia mulai mengedarkan pandangannya. Tatapannya jatuh pada piano putih di sudut ruangan. Ia ingat kembali pagi pertamanya di apartemen Julian.
“Tidak. Aku sebenarnya membelinya hanya untuk investasi. Tetapi dengan begitu banyaknya kejadian, aku merasa tempat ini memang sangat tepat untuk menenangkan diri.” Lelaki itu lantas berbalik menatap Rene. “Dan kurasa ini tempat yang tepat untuk merayakan kemenanganmu.”
“Kemenanganku?” Rene menatap linglung.
“Kau berhasil mendapatkan Platinum sebagai sponsor bukan?” Sebuah senyuman terurai di bibir Julian.
Rene membalasnya dengan senyuman bangga. “Mmm… ya…”
“Nah, kita rayakan itu,” Julian menarik tangan kekasihnya hingga tubuh gadis itu terseret lalu menumbuknya, dan terdiam dalam pelukannya lagi. “Juga… sebagai kencan pertama kita.” Ia tersenyum menggoda lalu membawa Rene ke sebuah meja di dekat beranda yang sudah dihias dengan cantik.
Meja itu berhias lilin dan seikat buket bunga mawar merah.
“Duduklah,” pinta Julian.
“A-apa ini?” Mata Rene berbinar. “Kau… menyiapkan semua ini untukku?”
“Jika aku katakan aku menyiapkannya untuk gadis lain tapi dia tidak bisa datang, maka aku mengundangmu, kau pasti kesal, bukan?”
“Aku mungkin akan mencekikmu.”
“Wah, dialog yang romantis untuk kencan pertama.”
Keduanya tergelak.
“Kau memasak ini semua?” tanya Rene, melihat sup asparagus sebagai hidangan pembuka di mangkuknya.
“Aku hidup sendiri sejak usiaku belum genap 16 tahun,” terang Julian. “Ada banyak hal yang kupelajari selama itu.”
“Wow!” Rene terkagum. Ia lalu mencobanya. Julian menunggu. “Mmm… Enak!” pujinya.
“Kau bohong?”
“Tidak. Sumpah. Aku tidak pernah berbohong.” Ia lalu menatap Julian menggoda. “Yaa… kecuali pada saat-saat tertentu.”
Julian meringis pura-pura kesal. “Apakah saat ini salah satunya?”
“Tidak,” Rene tertawa. “Aku tidak bohong. Ini sangat enak, Julian!”
“Baguslah. Aku tidak mau membuatmu sakit perut sejak kencan pertama.”
Gadis itu tertawa lagi. Julian mengamatinya lekat. Begitu menyenangkan melihat wajah berbinar Rene. Seakan Julian tidak pernah melihat cahaya lebih terang dari wajah riang kekasihnya yang cantik.
Rene berhenti tertawa dan menelan ludahnya, saat menyadari pengamatan Julian kepada dirinya. Gadis itu segera menunduk dan menyuap hidangan pembukanya.
“Kenapa kau jadi diam saja?” tanya Julian, saat kekasihnya itu tidak bersuara lagi.
“Ah…A-aku sedang menikmati hidanganmu,” kikuk Rene tersenyum, menyelipkan rambut lurusnya ke balik telinga.
“Are you nervous?” selidik Julian.
Rene tertegun dan menggerakkan bahunya abstrak. Jelas terlihat gadis itu memang gugup.
“You? Renesty Jehan Pradipta? Nervous?”
“I know… weird, huh?” Rene menggigit bibirnya gugup.
“Well… no, honestly, aku juga merasa gugup,” Julian berkata lugas.
“Really?” Rene menatap sangsi, Namun ia tidak melihat kebohongan di mata kekasihnya tersebut. “Baguslah,” imbuhnya lebih lega.
Keduanya saling bertatapan dan tertawa salah tingkah namun bahagia.
“By the way, apa aku sudah bilang kalau kau terlihat sangat cantik?” Julian memuji kekasihnya yang hanya berreaksi dengan diam. “Aku tahu, memang tidak ada yang istimewa dari ucapanku. Kau pasti sudah sering mendengar pujian untuk kecantikanmu.”
“Ya, begitulah,” ujar Rene jujur. “Tapi tidak ada yang membuatku lebih bahagia mendengarnya seperti saat kau yang mengatakannya, Julian,” tersipu ia mengaku.
Julian sangat bahagia mendengarnya. Ia meraih tangan Rene dan menggenggamnya, merasakan kelembutan telapak gadis itu yang terasa pas dan nyaman di tangannya
“Dan tidak ada yang membuatku lebih bahagia dari melihat kau ada di hadapanku sekarang. Bisa menyentuhmu, dan…” Julian kembali mengecup punggung tangan Rene, “memilikimu.”
Rene bisa merasakan sekali lagi sentuhan di punggung tangannya mengalirkan listrik menuju jantungnya. Memicu sistem pacunya bekerja lebih keras.
Gadis itu bisa merasakan kehangatan dan ketulusan ucapan Julian. Ia pun merasa sangat bahagia bisa berada bersama pria itu malam ini.