Awal yang Sulit

1587 Kata
Selesai makan malam dan menghabiskan segelas sampanye, keduanya lantas berdansa. Rene memandangi Julian yang menawan, mengingatkannya kembali dengan adegan yang sempat mereka jalani di pesta ulang tahunnya. “Omong-omong, kau tidak ketakutan saat berada di dalam lift?” Gadis itu menggeleng malu. “Ada beberapa orang bersamaku tadi. Terus terang, aku memang memiliki pengalaman traumatik saat berada di dalam lift yang macet.” “Apa itu?” tanya Julian. “Aku pernah hampir dilecehkan di dalam lift.” “Lalu?” Julian membulatkan mata cokelatnya yang indah. “Aku berusaha melawan, dan pria itu terkena serangan jantung.” Julian kehilangan kata-kata beberapa saat sebelum berujar. “Kapan… hal itu terjadi?” “Saat aku SMA, di sebuah hotel saat akan menyelenggarakan salah satu pesta ulang tahun temanku. Aku satu lift dengan orang mabuk. Liftnya mendadak macet dan semua hal mengerikan itu terjadi. Aku sempat tidak sanggup naik lift cukup lama sebelum bisa mengatasinya. Aku tidak mengira peristiwa terjebak di dalam lift terjadi lagi.” “Tapi kali ini, kuharap kau akan menganggapnya sebuah berkah?” “Aku masih tidak percaya,” Rene mendengus, tersenyum tipis. “Aku berada di sini, bersamamu.” Julian mengukir senyum karismatiknya yang khas, “Aku juga tidak mengira akan bisa bersamamu sekarang.” “Why me, Julian?” Rene menatap penuh rasa ingin tahu. “Aku tidak tahu,” Julian menggeleng. “Jujur saja, sejak kali pertama aku melihatmu, aku telah tertarik kepadamu. Kurasa sejak saat itu aku terus memikirkanmu. Kukira karena aku sudah menganggapmu musuh bebuyutanku tanpa sempat aku mengenalmu,” Julian tersenyum tipis, merasa konyol. ”Dan saat di pesta ulang tahunmu, setidaknya aku bisa mengenalmu lebih dekat. Kau sangat menarik dan menyenangkan. Kurasa sejak saat itu aku mulai memiliki perasaan khusus kepadamu, walaupun aku tidak mengenali apa perasaan itu. Aneh, ganjil, sangat asing. I can’t stop thinking of you and it’s driving me crazy.” Sejenak Julian mengamati rona di wajah Rene yang tidak pernah lekang menatapnya. “Dan saat aku membaca proposalmu, kurasa kekagumanku meningkat. Tapi kepalaku masih tidak mau menyerah pada hatiku. Aku terus mengemukakan alasan-alasan kenapa kau lebih tepat kusebut iblis betina daripada bidadari yang memikat. Tapi saat di lift itu, saat aku dengan tulus memedulikanmu, aku hanya merasa… semuanya tepat. Seperti seharusnya.” Senyum samar tampak di wajah Julian. Senyum lembut dan penuh cinta yang lelaki itu sendiri tak pernah sadari akan bisa mengurainya. “Dan sejak saat itu aku tersadar, I want you in my life.” “Julian…” Sekali lagi Rene tersentuh dibuatnya, dan memeluk lelaki jangkung itu dengan hangat. Keduanya hanyut dalam perasaan hangat yang baru benar-benar mereka rasakan. Julian tiba-tiba tertawa kecil. “Teman-temanku pasti tertawa mendengar kata-kataku barusan. Aku sendiri merasa sangat asing mendengarnya. Seperti bukan Julian yang selama ini kukenal.” Gelak terlepas dari bibir Rene. “Alicia mungkin akan pingsan jika tahu aku benar-benar jatuh cinta. Apalagi denganmu. Kau benar. Semuanya terasa sangat… aneh,” lantas Rene menatap Julian mesra, “namun indah.” “Kurasa seseorang tidak akan menyadari betapa indahnya cinta hingga dia mengalaminya sendiri.” Julian menyusupkan jemarinya pada rambut Rene yang lembut, menyentuh pipinya, dan menunduk memangkas jarak kedua bibir mereka. Rene bisa merasakan aliran darahnya menderas. Dan saat ia telah bisa merasakan kehangatan napas yang berembus dari bibir Julian, Rene memalingkan wajahnya dengan canggung. Lelaki itu tertegun, bisa merasakan penolakan terus terang kekasihnya. “Sorry, kurasa… aku terlalu cepat…?” Julian bertanya, dengan nada tidak yakin. “No, aku…” Rene tidak bisa mengutarakan alasan tepat. Julian melepaskan pelukannya dari Rene. Susananya semakin canggung. “Kuambilkan minuman lagi. Sampanye?” tawar Julian, berusaha mencairkan suasana. “Sebetulnya aku tidak boleh terlalu banyak minum. Ayahku akan sangat marah jika aku pulang dalam keadaan mabuk. Dan aku menyetir sendiri,” Rene mengingatkan. “Kau benar,” Julian membatalkan niatnya menyajikan sampanye dan menyeduhkan fruit punch untuk kekasihnya. Sejenak Julian melirik tipis sebelum bertanya, “Kau… dekat dengan ayahmu?” Tanpa dinyana, topik itu mengguratkan rasa tidak nyaman di hati Julian. “Begitulah,” sahut Rene singkat, berusaha membuat dirinya nyaman di atas sofa biru dongker. “Terima kasih,” ia menerima minumannya. “Ayahku sangat posesif. Sejak kakakku tewas, dia semakin over protective.” Rene lantas bercerita mengenai tragedi kakaknya. Julian agak terkejut mendengarnya. Keluarga mereka memang bersaing, tetapi sebelum Julian pergi ke Amerika, dia hanya pernah mendengar kebancian ayahnya kepada keluarga Pradipta, tanpa pernah mendengar informasi apa pun mengenai mereka. Mungkin saat itu dia masih dianggap terlalu kecil. Meskipun demikian, Julian tidak pernah absen mendengar ceramah ayahnya mengenai apa saja kejahatan yang pernah dilakukan keluarga Pradipta kepada ayahnya yang telah begitu sengsara. Serta betapa picik, jahat, dan kotornya keluarga itu. Julian menghapus sejenak kenangannya dan memfokuskan diri pada Rene yang berkisah mengenai kakaknya hingga hal itu memengaruhi cara Johan memperlakukannya. “Aku masih punya jam malam yang harus kuturuti jika tidak sedang menyelenggarakan event. Malam ini saja saat ingin menemuimu, aku mengatakan harus bertemu klien, dan aku yakin Papa akan bertanya semua hal mengenai klienku itu. Well, dia hanya punya aku sebagai tumpuan harapannya,” gumam Rene sendu. Suasana canggung kembali menebal di antara mereka berdua. Sepertinya Rene belum menceritakan semuanya dan Julian tidak yakin harus menanyakan apa itu. “Kau sendiri?” Rene tersenyum. “Bagaimana hubnganmu dengan Augusta?” “Augusta? Ya… Hubungan kami sangat baik. Kau jangan percaya apa pun yang kau baca di media masa. Dia terobsesi dengan musik. Dulu dia sama sekali enggan terlibat dengan usaha kami, tapi sekarang dia mulai ikut serta menangani event-event yang berkaitan dengan musik. Ah…” Julian tampak sungkan. “Soal event tahun barumu,” ia menangkup tangan Rene dan memberikan tatapan menyesal. Rene sempat tampak kesal lalu mengembuskan napasnya kasar. “Sudahlah,” ujarnya. “Aku juga sudah menekan Yudha agar bergabung dengan kami.” Julian tersenyum geli. “Somehow, aku selalu merasa sangat mengenalmu. Caramu berpikir, perasaanmu, lalu tanggung jawab yang kau emban,” Sontak wajah Julian berubah mendingin, “dendam yang kau warisi… juga keresahanmu saat… sesuatu yang tidak seharusnya tumbuh di hati kita.” Rene menelan ludahnya getir. Julian tepat sekali. Gadis itu menyandarkan kepalanya di d**a Julian. Tanda tanya besar yang meresahkan mulai menyelinap di kepalanya. Adakah masa depan untuk kisah kasih mereka? “Sejak ayahku dikhianati oleh ayahmu yang telah dia anggap lebih dari sekadar pegawai, dia jadi keras dan sangat posesif atas semua hal. Harus aku akui, aku menyayanginya, kadang iba, terkadang kesal juga. Dia sangat mengekang dan—“ “Tunggu dulu,” sergah Julian. Tajam. “Apa maksudmu, dengan ayahku mengkhianati ayahmu? Ayahmu yang telah menusuk ayahku dari belakang. Dia memecat ayahku karena keserakahannya bahkan memfitnah ayahku sebagai koruptor.” Rene terkesiap dan segera melepaskan tangan Julian darinya. “Kau bilang apa? Ayahku memfitnah ayahmu? Ayahmu yang telah melarikan uang ayahku bahkan menyabotase semua proyeknya!” “Ayahku konseptor semua proyek perusahaan mereka. Bagaimana bisa kau bilang ayahku menyabotase idenya sendiri!? Johan Pradipta, dengan segala kelicikannya—“ “Cukup!” potong Rene tajam, suaranya bergetar. Gemetar ia menatap Julian nanar, menuding. “Jangan sekali-kali kau menyebut nama ayahku dengan cara seperti itu,” ancamnya. “Kau tidak tahu apa yang telah keluarga kami lalui karena perbuatan ayahmu.” “Perbuatan ayahku?” desis Julian, mengecamkan mata dan mencondongkan tubuh. “Ayahku mengalami pernghinaan terbesar karena ayahmu. Dan kau menyalahkan ayahku untuk semua balasan yang ayahmu dapatkan?” “Cukup!!” bentak Rene. Amarah menggelegak di hatinya. Tiba-tiba sesal memenuhi hatinya“Aku tidak akan diam di sini lebih lama untuk terus mendengarkan penghinaan ini.” Ia segera menjaraki dirinya dari Julian. Lelaki berkulit pucat itu mengetatkan rahang dan kepalan tangannya. Bergeming. Rene segera meraih tasnya di atas sofa dan melangkah pergi. Hak sepatunya mengetuk keras, bergema tegas. Ia membanting pintu saat meninggalkan sisa kencan pertama dengan kekasihnya, dengan rasa sakit menusuk hatinya. Sejenak Julian masih berusaha memahami apa yang terjadi dan menenangkan dirinya yang resah. Memerlukan beberapa menit menjeda sebelum ia mengambil keputusan menyusul Rene. Julian berlari secepat kilat keluar ruang apartemennya. Saat ia melihat sosok Rene, kekasihnya itu tampak tengah menunggu di depan lift. Hampir saja masuk jika Julian tidak menahan lengannya. “Rene!!” Julian menggenggam kuat lengan ramping gadis itu. Rene sontak menoleh. Wajahnya tampak memerah murka dan tatapan matanya begitu nanar. “Jangan pergi,” pinta Julian. “We need to talk.” Rene membuang wajahnya namun tidak berontak atau menolak. “Aku tahu tadi situasinya sudah di luar kendali. Tapi jika kau pergi, masalah kita tidak akan selesai. Aku tidak mau kita mengakhiri kencan pertama kita dengan penyesalan.” “Aku sudah menyesal datang ke sini,” suara Rene menyesak. Wajahnya yang semulus porselen tampak dirambati kecewa. “Jangan berkata begitu,” Julian mengeratkan genggamannya di lengan Rene. “We both have pride, and dignity. Tapi saat ini yang kita butuhkan adalah kasih sayang dan pengertian. Jangan pergi meninggalkan masalah. Kita harus menyelesaikannya.” Dari kejauhan terdengar suara beberapa orang yang mengobrol dan melangkah ke arah mereka. Julian menurunkan tangannya. “Aku akan menunggumu di apartemenku. Aku tidak akan mengunci pintunya. Aku harap kau mau kembali.” Julian berbalik melangkah pergi, mengabaikan lirikan menggoda penghuni lain yang berpapasan dengannya dan masuk kembali ke ruang  apartemennya dengan perasaan kalut. Lelaki itu lantas terduduk di sofa, mengamati meja sisa makan malam mereka tadi yang terasa manis dan romantis. Alunan musik sudah berhenti. Dan sekarang hanya tinggal menyisakan sunyi. Ia menunggu. Dan menunggu. Hingga akhirnya pintu itu terbuka dan sosok Rene berdiri di sana. Julian menegakkan tubuhnya dan bergerak mendekat pada Rene yang melangkah kepadanya. Saling memasung tatapan, meminta pengertian pasangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN