Perfect Kiss

1030 Kata
Julian meraih tangan Rene yang tidak menolaknya. “Maaf…” ucap keduanya bersamaan. Sebuah kata sederhana yang selama ini terpasung di antara kedua nama besar keluarga mereka. Tapi Rene dan Julian menolak menggadaikan cinta untuk dendam tidak berkesudahan yang mereka warisi. Keduanya mendengus dan tersenyum agak canggung. “Kurasa kita harus membuat kesepakatan,” Julian kali ini membawa Rene ke beranda apartemennya. Langit tampak cerah mala mini, dan di sekitar mereka kerlipan lampu dari gedung yang menantang langit tampak menambah keindahan malam ini. “Sebaiknya kita tidak membicarakan mengenai masa lalu keluarga kita, untuk beberapa waktu ini,” usul Julian “Deal,” timpal Rene. “Dan juga, mengenai pekerjaan kita?” “Pekerjaan?” Julian memutar tubuhnya, bersandar ke pagar balkon. “Ya. Apa kau mau memberitahuku mengenai proposal terbaru CU atau sponsor-sponsor yang sedang kalian lobi? Hm?” Rene mengangkat sebelah alisnya. Senyum asimetris menggoda milik Julian terbit lagi. “Kau benar. Kita tidak harus membicarakan masalah pekerjaan kita. Masih banyak hal lain yang bisa kita pertengkarkan tanpa membuatmu meninggalkanku.” Julian menarik Rene kembali dalam pelukannya. “Aku tidak ingin kehilanganmu… Aku tidak bisa.” Rene balas memeluk Julian dan memejamkan matanya. “Never let me go…” pintanya. Lengan kokoh lelaki itu melingkari tubuhnya semakin ketat. Perlahan tapi pasti, jantung Rene berderap kuat. Ia lantas mendongak, menatap Julian lembut, dan lelaki itu membalas tak kalah lembut. Sebuah adegan terulang di kepalanya. Rene tahu kemana maksud Julian saat lelaki itu kembali mendekatkan bibirnya yang seksi. Namun Rene sekali lagi membuang wajahnya. “Apa aku membuatmu tidak nyaman?” tanya Julian. Rene melirik canggung pada d**a bidang Julian. “Bukan seperti itu, hanya saja…” “I’m a good kisser,” promosi Julian. “I bet,” jawab Rene. “Hanya saja, aku…” suaranya bergumam semakin pelan. “Never…” “Apa?” Julian memiringkan kepalanya, mengamati Rene lebih lekat. “Kau tidak mengharapkan ciuman pada kencan pertama?” lelaki itu tersenyum pengertian. “No, i… never,” Rene memalingkan wajahnya yang tiba-tiba merona canggung, “aku belum pernah melakukannya sebelumnya. Kau… mencuri my first kiss.” “Apa? I don’t get it. Kau…” “Yes, Julian! Aku tidak pernah berciuman. Aku putuskan menyimpan my perfect first kiss sampai aku menemukan saat yang tepat dengan orang yang tepat. Itu, sebelum kau dengan tipuan ketombemu menghancurkan semua mimpiku!” papar Julian. Lelaki itu tertegun tidak percaya. “You, Rene? Itu… ciuman pertamamu?” Wajah Rene semakin memerah. Ia mendongak menatap Julian yang tertawa tidak percaya. “Apa?” hardiknya. “Kau pikir aku aneh?” “No,” Julian menggeleng tidak percaya. “Kupikir kau…” lelaki itu menatap Rene kagum, “cute!” “I’m not cute! I’m everythings beside cute!” protes Rene, mengangkat dagunya angkuh. “Itu hal yang bagus, Love. Cute is good,” Julian membelai kepala Rene, tersenyum lebar. “I just can’t believe it. You and your attitude, your popularity.” “Mau mengejekku?” tantang Rene. “No, it’s make me love you more,” aku Julian, tersenyum lembut. “Kau sangat seksi dan mempesona, Rene. Aku tidak mengira kau menyimpan ciuman pertamamu untuk saat yang tepat.” “Yes, I am. Aku berpenampilan seksi semuanya demi pekerjaanku, tentu. Kalian lelaki, segera bertekuk lutut pada lekukan tubuh dan keindahan fisik bukan? Menaklukkan lelaki itu mudah. Jika sudah membuai kalian dengan tampilan fisik dan attitude yang menggoda, menumbuhkan sedikit harapan, laki-laki itu sangat mudah dimanipulasi dan pada akhirnya memberikan dan melakukan apa saja untuk membuatku kagum sebagaimana aku sudah membuat mereka kagum.” Julian kembali tertawa tidak percaya. Dia sering meremehkan wanita. Dan saat mendengar kalimat itu terlontar dari Rene, dia tidak bisa menyangkal. “Apa kau juga menganggapku taklukanmu semata?” Julian melingkarkan lengannya di pinggang ramping Rene. “No,” kata itu terlontar lembut, disertai tatapan yang serupa. “Kau pengecualian. Kau tidak pernah masuk dalam daftarku.” “Tapi masih bukan orang yang tepat untuk memberikan ciuman pertama yang layak untukmu?” Lama Rene terdiam, memandangi setiap bola mata Julian tidak yakin. “Sekarang masalahnya bukan itu. Tapi aku meragukan diriku,” jujur Rene. “Kau mungkin akan berpikir aku sangat payah dalam berciuman.” Julian terperangah, lalu tertawa sembari membawa gadis itu dalam pelukannya. “You are so cute, Love…” “I’m not cute!” protes Rene, yang seumur hidupnya tidak pernah mendapat julukan cute dari siapa pun. Dia cantik, seksi, cerdas, mempesona, mandiri, provokatif, apapun, tapi tidak pernah menjadi gadis yang manis. “Oh, kau benar-benar manis sekali,” Julian mendekap Rene semakin dekat dan erat, tak berjarak. Keduanya saling memasung tatapan, merasakan getaran ajaib itu menguat di antara mereka. Julian lantas mengusap kepala Rene dengan telapaknya yang lebar. Rasa di hatinya tiba-tiba membuncah dapat mendekap kekasihnya. Akhirnya Rene mengambil sebuah keputusan. “Kiss me,” pinta Rene. “Are you sure?” Julian menyentuh bibir Rene dengan ibu jarinya. Gadis itu memejamkan matanya sejenak, menyelami sentuhan lembut itu, “Yes…” desisnya memohon. Julian memenuhi permintaan Rene. Ia mengecup bibir Rene penuh cinta. Sebuah kecupan ringan yang melemparkan Rene ke awang-awang. Ia membuka matanya dengan kebahagiaan yang kentara. Tatapan Julian masih menjeratnya. Lelaki itu menciumnya sekali lagi. Lebih dalam, lebih indah. Rene kehilangan kata, setiap sel dalam dirinya membuncah bahagia. “How’s that?” bisik Julian. Rene membuka matanya, mendapati wajah tampan Julian dan tatapannya yang melenakan, penuh cinta dan kepedulian. “Perfect,” desah Rene. Jam di ruang tengah berbunyi. Sudah pukul sepuluh malam. Rene agak terkesiap. “Aku harus pulang!” “Kau mau ke mana?” Julian menahan lengan Rene. “Bahkan Cinderella masih bisa berada di pesta hingga tengah malam. Dan, kau, Renesty, the queen of party, sudah harus pulang?” .“Aku harus berada di rumah sebelum tengah malam jika tidak ada acara yang sedang kutangani. Papa sangat tegas mengenai hal ini. Jika tidak, dia bisa curiga dan akan menyelidiki semua hal mengenai yang kulakukan hari ini.” “Sebentar lagi saja,” pinta Julian, setengah memohon. “Entah kapan kita bisa menghabiskan waktu lebih lama seperti sekarang.” Permintaan lelaki itu mulai terdengar seperti perintah yang tidak bisa dibantah. “Sebentar lagi saja. Masih ada waktu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN