Rene tampak resah. Jika ayahnya marah, bukan hanya dirinya, ibunya pun pasti terkena dampaknya. Tapi Julian benar. Entah kapan mereka bisa bersama lagi. Dan dia pun masih ingin bersama Julian. Lebih lama. Mungkin selamanya. Waktu memang berlari saat bahagia.
“Baiklah. Tidak lebih dari setengah jam lagi.”
Julian tergelak mendengar tawaran dari Rene.
“Oh, ya, kudengar kau sudah menangani Evan dengan baik?” Julian memastikan. Ia bisa merasakan gadis yang berada dalam dekapannya sedikit terkejut dengan pertanyaannya.
“Kau tahu darimana?” Rene penasaran.
“Tahu saja,” Julian tersenyum berrahasia.
Rene sedikit mencebikkan bibirnya. “Aku juga sempat menghubungi pihak restoran dan meminta mereka jangan bicara apa pun tentang kasus ini. Katanya, setelah mendengar keributan mereka sempat mendatangi mobil Evan, dan mendapati pecahan kaca. Tetapi Evan pergi tanpa menjawab pertanyaan mereka. Untunglah kondisinya cukup sepi. Kalau tidak, kau dan aku harus mengurusi hal-hal tidak menguntungkan seperti ini.”
“Hhh…” Julian menghela napas, dia tahu bagaimana susahnya berurusan dengan wartawan. “Aku tahu susahnya menghindari wartawan dan bagaimana mereka begitu bersikukuh kalau menginginkan sesuatu.”
“Ah, iya!” perkataan kekasihnya mengingatkan Rene akan sesuatu, dia berbalik, bersandar pada pagar untuk menatap Julian.
“Soal kau dan artis baru itu…”
Julian langsung melengos.
“Hei, tidakkah menurutmu aku perlu penjelasan?” mata bulat Rene menuntut.
“Fine. Aku hanya bosan membicarakannya,” Julian berujar blak-blakan. “It was nothing. Adikku salah paham, kami bertengkar. Ternyata ada wartawan yang melihat lantas mengarang cerita. Setelah itu Diana menghilang dan membuat semuanya semakin rumit.”
“Tapi ada foto kau dan Diana sedang mojok berdua dan berciuman.”
“Bullshit,” rutuk Julian. “She was drunk. Lagipula aku dan Augusta, hubungan kami sudah baik-baik saja saat ini.”
“Kuharap, kalau kau jujur, semua masalah ini bisa segera selesai.”
“Tentu saja! Buat apa aku berbohong?”
“Yang pasti aku yakin kau bukan orang paling jujur yang kukenal,” ejek Rene.
“Yah… dengan pekerjaan kita, kadang-kadang kita memang perlu sedikit memainkan pikiran orang lain, kan?” ujar Julian, meminta persetujuan wanitanya.
“Yeah,” Rene setuju. Rautnya lantas berubah serius, menatap Julian tajam. “Tetapi, kalau kau ternyata hanya mempermainkanku, Julian… Kau akan tahu—“
“Aku tidak berani,” imbuh Julian. “Aku tidak ingin mencari masalah denganmu,” bujuknya, tersenyum miring menggoda kekasihnya.
“Itu peringatan agar kau berhati-hati,” Rene menekankan.
“Okay,” bisik Julian, mendekatkan lagi wajahnya kepada si cantik, “apapun yang kau inginkan.” Sejurus kemudian, Julian sudah menyambar bibir saingannya lagi.Kali ini, Rene lebih cepat mengimbanginya.
“Kau sudah lebih pandai sekarang,” goda Julian.
“Aku fast learner,” sahut Rene, sedikit merona.
“Benar-benar tipe favoritku,” puji Julian dengan suara agak serak.
Rene tidak bisa lama-lama tersipu, karena Julian telah merapatkan bibir mereka kembali.
***
Senyuman itu masih bertahan hingga Rene membuka pintu rumahnya. Ternyata berkencan dengan hati memang berbeda. Rasanya kaki Rene masih belum menapak hingga sekarang.
“Darimana kau baru pulang selarut ini? Memangnya klienmu tidak punya keluarga?” Johan menatap putrinya tajam, mengusir senyum yang sempat mekar seharian di wajah Rene.
“Tadi aku diajak melihat pameran dulu, dan agak macet, Papa,” Rene berusaha terdengar sesantai mungkin. Ia lalu menggeliat dan pura-pura menguap. “Haa… lelah sekali. Aku tidur dulu ya, Papa, good night,” ia mengecup ringan pipi ayahnya.
“Rene, apa kau sudah punya kekasih sekarang?” tembak Johan, membuat langkah kaki Rene terhenti seketika.
Gadis itu berusaha menenangkan diri sebelum kembali berbalik dan memasang wajah tenang. “Tidak, Papa…” katanya.
“Kalau kau punya kekasih, bawa dia ke rumah, perkenalkan kepada kami. Jangan main belakang,” tegas Johan.
Rene merasakan jantungnya berdebar waswas. “Tidak. Tidak ada…” sanggahnya.
Johan terdiam beberapa lama. Ia mencium aroma seorang lelaki dari anak gadisnya itu.
“Jadi perempuan harus tahu batasannya,” tukas Johan. “Kalau ada apa-apa, perempuan itu selalu yang jadi kambing hitam, yang kena batunya. Ingat apa yang menimpa kakakmu. Jangan sampai itu juga terjadi kepadamu!”
“Aku bisa menjaga diriku, Papa. Umurku sudah 25 tahun!” tandas Rene, kesal dengan ceramah ayahnya yang kesekian ratus kali.
“Jangan berani-beraninya kamu menaikkan suara di hadapan Papa!!” bentak Johan. “Marina! Kamu lihat kelakuan anak kamu itu! Kamu mengajarkan dia bersikap kurang ajar begitu kepadaku, hah!?”
“Jangan kasar pada mama, Pa!” Rene membela ibunya yang selalu menjadi sasaran kemarahan papanya. “Aku sudah besar. Aku tahu apa yang terbaik untukku!”
“Kakakmu juga bilang begitu! Apa yang terjadi kepadanya? Dia mati! Bunuh diri dengan jabang bayi haram yang tidak jelas bapaknya! Mati meninggalkan aib! Kamu mau jadi seperti itu!?”
“Tapi itu bukan salah Mama! Dan Rene bukan Kak Renata!” sentak gadis itu. “Apa pernah Rene menyalahi kepercayaan Papa selama ini? Rene selalu memikirkan yang terbaik untuk keluarga kita, Pa. Rene tahu bagaimana bertanggung jawab dengan diri Rene.”
“Ingat, Rene. Kamu jangan mempermalukan Papa. Sudah cukup kakakmu yang menjadi aib keluarga. Papa tidak akan pernah memaafkan kalau kamu sampai mengecewakan Papa.” Johan beranjak pergi.
Rene menghempaskan napasnya kesal.
“Ma, Mama tidak apa-apa?”
Marina menggeleng atas pertanyaan putrinya.
“Rene tidak mengerti, Ma. Kenapa Papa bersikap sangat keras seperti itu. Rene tidak ingat kapan Papa bersikap santai. Dia selalu tegang dan penuh amarah. Bahkan… Rene kadang berpikir, apa Papa benar-benar menyayangi kita?” ujar Rene getir. “Padahal Rene sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita. Selalu menuruti kemauan Papa. Tetapi kenapa, Papa selalu saja marah dan mencari kesalahan Rene? Tidak sekali pun Papa pernah memuji apa yang Rene lakukan.”
“Sabar saja, Sayang…” ucap Marina lembut. “Setiap orang mencintai dengan cara yang berbeda. Dan papamu, dia memang pribadi yang tegas, tetapi dia melakukannya karena dia pikir itu yang terbaik untukmu.”
“Ma, jangan marah kepadaku. Tapi… apa Mama bahagia bersama Papa? Karena, aku tidak ingat melihat mama bahagia bersamanya. Apa mama bahagia dengan perkawinan Mama?”
Marina menelan ludahnya dan mencari kalimat yang tepat atas pertanyaan putrinya.
“Tentu Mama bahagia, Sayang. Mama punya kamu, dan pernah punya Kak Renata. Kalian pelipur hati Mama.”
“Lalu Papa? Mama mencintai Papa?”
“Jika sudah seusia kami ini, cinta cintaan sudah bukan hal yang harus dipikirkan,” Marina tersenyum tipis. “Tapi Mama sudah berjodoh dengannya. Mama hanya harus berusaha menjadi istri dan ibu yang baik.”
Rene menyandarkan kepalanya di bahu Marina. “Tapi aku kesal jika Papa terus menerus memarahi Mama. Aku ingin Mama bahagia…”
“Mama akan bahagia, kalau Mama tahu kamu bahagia, Sayang…” Marina mengecup kepala Rene.
Rene menggigit bibirnya sejenak. Jika Rene merasa bahagia bersama Julian, apakah ibunya akan mengijinkan?