“Baiklah. Kita mulai peperangan dari besok hingga akhir tahun,” tegas Julian kepada GM saat menutup akhir rapat koordinasi sebelum mulai mengeksekusi berbagai event yang akan diselenggarakan korporasinya.
“Pak, ada kiriman untuk Anda,” sekretarisnya memberikan sebuah paket untuk Julian. Lelaki itu mengangguk menerimanya.
“Apa itu?” tanya Harris yang membuntutinya masuk ke kantor bersama Augusta.
Julian membukanya, dan mendapati kiriman itu dari mata-mata mereka di perusahaan Jehan. Julian memutuskan untuk mengabaikannya.
“Kurasa mulai sekarang hal-hal seperti ini tidak kita perlukan lagi,” Direktur CU itu memutuskan. “Perusahaan kita lebih unggul dalam banyak hal dari Jehan. Kita bisa mengalahkan mereka dengan adil.”
“Tapi, Julian, jika kita bisa melihat apa rencana mereka secara pasti, kita bisa tahu kelemahan mereka, atau setidaknya melakukan sesuatu agar acara kita jauh lebih unggul dari mereka.”
“Itu tidak perlu,” pungkas Julian tegas. “Kita sudah tahu apa rencana mereka. Siapa sponsor mereka dan siapa saja yang mereka undang untuk mengisi acara. Dan, kita sudah punya acara kita sendiri! Cukup fokus dengan apa yang kita lakukan, make it best!” tandasnya. “No one will open this.” Ia menegaskan. “Kita harus memenangkan taruhan ini, fair and square.”
Harris dan Augusta saling menatap.
“Hei, aku mendukung kakakku!” ujar Augusta riang.
“Omong-omong, Harris, sekarang Yudha bersama mereka, apa menurutmu dia mungkin membocorkan sesuatu?” selidik Julian.
Harris tampak menghela napas berat mengingat mantan sahabatnya itu.
“Aku langsung menghubunginya saat itu. Kukatakan kepadanya, jika dia sampai berani membocorkan rahasia kita, aku tidak segan-segan menghancurkan hidupnya.”
“Lalu?”
“Well, dia benar-benar minta maaf serta dia menjelaskan apa yang terjadi. Dan… yah, hubungannya dan Leticia sudah sangat serius. Bahkan, mereka berencana menikah awal tahun depan.”
“Aku tidak peduli soal itu, Harris, dengan aku mengabaikannya tanpa hukuman saja itu sudah menjadi berkah buatnya. Itu karena kita berhasil merebut event akhir tahun Jehan.”
“Ya, intinya dia bilang, dia akan melakukan yang terbaik untuk perusahaannya yang sekarang. Tetapi, dia tidak akan melakukan kelicikan atau membocorkan apa-apa yang dapat mengancam Romeo Kreasi,” papar Harris.
Julian mangusap-usap dagunya dengan telunjuk sembari mengangguk-angguk tipis. “Untuk saat ini aku akan mempercayai perkataannya,” tanggapnya datar. Perhatiannya lantas bergeser kepada adiknya. “Apa kau ada masalah untuk event akhir tahun nanti?” tanya Julian kepada adiknya.
“Masalah pengisi acaranya. Pihak Bright TV mengharapkan kita bisa menambahkan penyanyi asal Korea. Hanya sekitar satu bulan lagi? Untuk tahun baru?”
“Kalian belum mendapatkannya?”
“Belum,” Augusta yang sama sekali bergeming dengan Korean waves tampak putus asa. “Indira masih berusaha keras melobi beberapa manajemen artis di sana.”
“Let me see what can I do,” ujar Julian. “Kita harus melakukan pendekatan timur. Cari tahu bagaimana jaringan promotor dan manajemen artis Korea bekerja. Kita harus melihat sejarah kerja sama mereka terlebih dahulu. Biasanya ‘hubungan baik’ yang telah terjalin akan mempermudah melobi mereka. Apalagi, jika sebelumnya karya selebriti itu sudah pernah sukses di sini. Jadi kita harus mencari pihak ketiga, yang memiliki hubungan baik dengan manajemen mereka.”
“Aku juga akan berusaha mencari cara,” imbuh Augusta.
“Good,” Julian menyahut memberi dukungan. “Omong-omong, jam berapa kita pentas nanti malam?”
“Bagian kita jam setengah 7 malam,” jawab Augusta.
Ponsel Julian tiba-tiba bergetar. Lelaki itu tampak agak terganggu karenanya, hingga dia melihat apa kabar yang menunggunya.
Rene mengiriminya pesan, mengenakan minidress merah menggoda sebatas pahanya dengan lengan panjang.
[Comment?]
[You look so beautifully hot. Tapi aku prefer kau menambahkan legging.]
[Kau mengaturku?]
[I’m begging you. Aku tidak bisa membayangkan orang lain menatapmu lagi.]
[Kau memang perayu handal.]
[I love you]
[I love you too. Can’t wait to see you.]
“Siapa?” tanya Harris curiga. “Wajahmu berseri-seri begitu. New girlfriend?”
Julian tertawa riang. “Tidak,” sanggahnya singkat.
“Kurasa kakakmu ini memang sedang jatuh cinta,” tukas Harris kepada Augusta. “Belakangan dia sering tampak senang berkirim pesan dengan entah siapa. Itu yang membuatku curiga. Dia kali ini menyembunyikan buruannya.”
Sekali lagi Julian tergelak. Tawanya bergema. “Bukan, ini hanya undangan pesta. Ada party seru di Aristocrat Club nanti malam. Kurasa aku akan ke sana setelah pentas.”
“Wah! Apa yang membuatnya seru?” Harris penasaran.
“Katanya ada DJ internasional dan laser baru yang sangat seru.”
“Sexy dancer?”
“Tidak mungkin tidak,” Julian berkata datar, sekarang hal itu tidak menggairahkan lagi baginya.
Harris berseru, “I’m in! Augusta?”
Augusta tampak menimbang sejenak. “Ok. I’m in! Anggap saja after party setelah selesai konser,” katanya.
***
Area festival musik jazz and R&B itu sudah terlihat sangat ramai sejak siang hari. Julian dan Forever Band juga sudah selesai check sound sebelum mereka akan tampil nanti malam. Hanya untuk festival kali ini, Julian harus menyisihkan waktu cukup banyak untuk berlatih, gladi resik dan juga check sound. Hal ini membuatnya benar-benar ingin pertunjukan itu segera selesai.
Selain itu, semenjak tiba di venue, ternyata fans Julian memang sudah banyak. Mereka berteriak-teriak menyebut namanya. Julian rasanya ingin berteriak, berisik!! Agar mereka bungkam. Tetapi dia hanya sanggup memasang wajah dingin. Tentu saja, berbuat demikian hanya akan merusak citra band adik
tirinya.
Tetapi wajah dingin yang dipasangnya malah membuat para penggemar itu semakin banyak berteriak-teriak memanggilnya.
“Tidak salah kita memilih Julian, lihat betapa banyak penggemar
yang menanti kedatangan kita di pintu tadi,” ungkap Leo puas.
“Bukan menanti ‘kita’ tapi menanti dia,” koreksi Augusta, menunjuk Julian.
“Oh, come on, Bro,” sanggah Julian, membesarkan hati mereka.
“Lagipula, jika kalian tampil maksimal, tentu saja semua akan tahu kehebatan band kalian.”
“Betul sekali! Ini kesempatan yang sangat bagus mempromosikan kehandalan kita!” Leo kian antusias.
Julian menatap jam tangannya. Hhh… budaya jam karet apa tidak bisa dibuang? Jadwal jam setengah tujuh, kenapa mereka masih di ruang tunggu setengah jam kemudian.
“Kapan giliran kita? Sudah lewat setengah jam, kenapa kita masih di sini?” tanya Julian.
“Hahaha… seharusnya kau sudah tahu, kan… lagipula tadi sudah dijelaskan, ada sedikit gangguan teknis. Selain itu, bintang tamunya sepertinya
ada sedikit hambatan. Chill Julian… tenang, nikmati saja.”
Dia tidak bisa. Dia juga penyelenggara event, dia tahu setiap detik begitu berharga, walaupun tentu saja mereka juga memang selalu memasukkan tambahan waktu untuk setiap susunan acara untuk mengantisipasi hal-hal tidak terduga.