Julian baru saja turun dari mobilnya di parkiran Aristocrat Club. Ramai sekali suasana malam ini, pria dan wanita memakai pakaian terbaik mereka. Khususnya para wanita yang tampak glamour dan sexy.
Si lelaki tegap berkaki jenjang segera mencuri perhatian sejak turun dari mobilnya. Beberapa orang bahkan sepertinya mengenali Julian, mereka menunjuk dan menyebut namanya. Julian abaikan dampak dari popularitas yang tidak diinginkannya itu. Sejujurnya, dia benar-benar tidak nyaman mendapatkan perhatian yang tidak diperlukan.
“Julian!!” seseorang menepuk bahu mengejutkannya. Julian berbalik dan mendapati Harris di belakangnya. “Hei! Kau berjalan cepat sekali. Panggilanku pun kau abaikan!” tegurnya.
Wajah tegang Julian sedikit mengendur. “Ah, kau,” ia tampak lega. “Kupikir siapa.”
“Kenapa kau terlihat serius sekali?” Harris melingkarkan lengannya di bahu Julian saat keduanya beranjak memasuki klub.
“Aku sedang tidak ingin membicarakannya, sudahlah. Aku ingin melepaskan penatku,” katanya.
Harris memandangi dengan heran. Ia pikir pertunjukkannya sudah berlangsung dengan baik. Tetapi Harris terlalu hapal tabiat Julian. Dia enggan merusak suasana hati sepupunya lebih jauh lagi.
Keduanya melangkah memasuki ruangan klub. Di lantai dansa banyak orang sudah lupa diri. Di beberapa meja, dan lounge, ada yang tengah bercengkrama. Seorang DJ dari Inggris tampak asik memutar musik.
Tema pesta malam ini adalah The Great Gatsby, dimana mereka berdandan ala tahun 1920-an. Para wanita tampak glamour dengan flapper dress yang mereka kenakan, juga headpiece yang melingkar menghiasi kepala mereka.
Julian mengedarkan pandangannya di antara kemeriahan yang menghentak. Harris segera berbaur di lantai dansa sembari mencari buruannya, sementara CEO Romeo itu memutuskan beranjak ke bar saat matanya tidak mendapati dimana kekasihnya.
Lelaki itu meminta segelas minuman pada bartender yang ada di sana.
[Where are you?] Ia mengirimkan pesan pada Renesty. Tetapi kekasihnya tidak juga membalas.
“Julian!” sekali lagi ia merasakan tepukan di bahunya. Kali ini Augusta yang berhasil menyusulnya. “Kita harus bicara, dengarkan aku dulu.”
“Augusta,” potong Julian. “I get it, okay? Kau melakukannya karena terlalu mencintai Diana. Sudahlah, aku mengerti dan tidak ingin membicarakannya lagi.”
“Tetapi kau membuat Diana takut.”
“Aku berhak marah,” tegas Julian. “Jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantumu, you just need to say it. Bukan seperti itu. Apalagi, sampai membawa-bawa nama perusahaan kita. Aku tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi, dan aku juga tidak mau terlibat apa pun lagi.”
“Ya, ya, aku mengerti, Julian. Aku dan Diana, kami akan membereskannya.”
Tampak raut Julian agak melunak.
“We ok, Bro?”Augusta mengulurkan telapaknya.
Julian menyambar telapak adiknya itu. “Okay,” sahutnya.
“Good. Sekarang aku juga ingin bersenang-senang,” tukas Augusta, yang kemudian meninggalkan Julian untuk beranjka ke dekat meja DJ. Julian menuju bar, menebar tatapan seriusnya mencari sosok sang kekasih.
Lalu tatapannya bertemu tatapan dua orang gadis yang duduk tidak jauh darinya. Keduanya memberikan lirikan menggoda ke arahnya. Julian memilih mengabaikan mereka dan kembali mengecek ponselnya. Kali ini, ia menemukan balasan Rene yang belum sempat dibacanya tadi.
[On my way, Honey.]
Tak lama dari sana, matanya menemukan Rene.
Kekasihnya baru saja masuk, mengenakan flapper dress merah yang sempat ia tunjukkan sebelumnya. Ia bersama seorang pria. Julian pun mengenali pasangannya itu.
[Aku tidak tahu kau datang membawa pasangan] Julian mengirim pesan.
Rene yang mengenakan flapper dress seksi yang sempat diperlihatkannya kepada Julian—hanya saja sudah ditambah stocking hitam, tampak mencari si pengirim pesan. Hingga ia menemukan Julian yang memasang wajah sedingin es, menatap tajam ke arahnya dari sudut mata.
[Aku tidak tahu kau datang sendirian] balas Rene.
[Seriously, who is he? Bukankah dia juga yang diberikan amplop saat pesta ulang tahunmu?] desak Julian.
[Nah, akhirnya kau mengaku menggunakan cara licik untuk menjadi pasanganku.]
[Tell me, Rene, atau aku akan ke sana sekarang juga dan membawamu pergi]
Rene mengurai senyumnya dan melemparkan tatapan menggoda kepada Julian.
[Dia sepupuku, Geovani. You look sexy when you’re jealous, Honey.]
Julian tertegun membacanya. Sepupunya? Gadis itu tidak bohong, bukan?
Tidak lama sejak Rene dan Geovanni duduk di lounge, beberapa pria meghampiri Rene. Gadis itu tampak berbincang bersama mereka. Seorang pria tampak membelikan minuman untuk kekasihnya itu. Hati Julian kembali terbakar panas. Hari ini benar-benar tidak ramah kepadanya. Banyak sekali kejadian yang membuat moodnya rusak.
Julian tidak bisa menahan diri terus menatap kekasihnya. Ia berusaha berpaling, tetapi tidak lama, matanya sudah mencari wanitanya lagi. Meriahnya lantai dansa bahkan tidak dia hiraukan. Ia ingin bersama Rene.
Lelaki itu lalu memberi tanda, meminta bartender memberikannya minuman baru.
“Sendirian?” tiba-tiba seorang gadis bersuara sensual duduk di samping Julian. Suaranya yang serak-serak basah terdengar menggoda.
Julian melirik, hanya melontarkan senyuman tipis sembari menimbang apa dia harus menanggapi rayuannya.
“Aku Eliza. Kau?” gadis itu mengulurkan tangannya.
“Julian,” Ia menyambut uluran tangan itu sejenak saja.
“Sendirian?” gadis itu mengulang pertanyaannya. Julian sejenak melirik Rene yang tampak bersenda gurau bersama pria-pria yang menghampirinya.
Julian terbakar cemburu. Tetapi, di depan umum mereka memang tidak memiliki hubungan apa pun. Ia berusaha mengabaikan perasaan mengganjal di dadanya dan berpikir memilih bersenang-senang saja bersama gadis-gadis yang menunggu sinyal lampu hijau darinya.
Namun hati lelaki itu tidak bisa mengingkari rasa gundah karena melihat Rene bersama lelaki lain. Jangankan memikirkan para wanita di hadapannya. Mata dan pikirannya sama sekali tidak bisa dialihkan dari Rene yang tampak begitu memikat.
Tiba-tiba sederetan sexy dancer menaiki meja bar dan mulai menari, meliuk memancing gairah dengan pakaian seksi mereka yang hampir memamerkan segalanya. Satu orang penari yang berada di hadapan Julian dengan terang-terangan meliukkan tubuhnya menggoda sembari melirik penuh undangan kepada lelaki tersebut.
Tanggapan tidak berarti dari lelaki itu membuat si sexy dancer semakin penasaran. Dia melompat turun dan mulai menari di dekat Julian. Suasana sangat riuh malam itu dan sepertinya adegan itu berhasil menarik perhatian Rene dan membuat gadis itu kesal saat menyadari apa yang terjadi.
Tatapan Rene seperti bilah pisau yang ditebaskan ke leher Julian. Lelaki itu langsung menoleh dan mendapati Rene yang memberengut sambil bersidekap.
Ternyata cemburu itu bukan hanya miliknya.
Julian membebaskan diri dari si sexy dancer dan beranjak pergi mencari manajer club itu, mengonfirmasi sesuatu. Ia lantas mengikuti orang itu naik ke lantai dua menaiki tangga. Bahkan saat itu masih banyak wanita yang melemparkan lirikan menggoda pada lelaki blasteran itu.
Julian tampak cuek, berjalan sambil mengirim pesan kepada Rene untuk bertemu di tempat yang dipesannya.
[“Dan aku tidak menerima penolakan”] ultimatumnya.
[“Kau gila!! Ini terlalu berisiko.. bagaimana jika ada yang melihat?”]
[“Aku tidak peduli. Kau datang kepadaku, atau aku yang akan datang kepadamu. Kau tahu aku tidak pernah main-main dengan ucapanku.”]
Rene mengamati pesan Julian yang masuk dan membuatnya gelisah.
“Shh… dia itu, benar-benar!” desis Rene gelisah. Tak peduli apa yang Rene katakan, Julian tetap bersikukuh. Dan Rene yakin sekali, mengingat betapa nekadnya lelaki itu, dia pasti akan menghampiri tempat duduknya jika dia mau.
Ya, Julian pernah datang ke kantornya saat Rene sedang meeting, datang ke rumahnya, bahkan memanjat balkon kamarnya.
“Rene, kau kenapa?” tanya Alicia, yang menyadari sahahatnya mulai terlihat gelisah. “Mau turun?” ajakan untuk berdansa.
Rene menggeleng. “Aku ingin ke toilet dulu,” katanya.
Gadis itu tidak menunggu dan permisi pergi. Sesekali Rene disapa beberapa kenalannya. Jantung gadis itu benar-benar berdebar keras. Bagaimana jika ada orang yang memergoki pertemuannya dengan Julian.
Sambil menaiki tangga, Rene menoleh kesana kemari. Ia lantas menyusuri ruangan-ruangan di antara lampu yang cukup temaram. Hingga akhirnya ia menemukan ruangan yang dimaksud.
Rene kembali menoleh ke sana kemari. Sebelum membuka pintu ruangan itu.
“Julian…” bisiknya saat membuka pintu ruangan VIP itu. “Akh!!” Rene terperanjat saat tangannya ditarik masuk, dan pintu di belakangnya segera tertutup.
Rene melihat Julian yang begitu dekat, segera menyambar bibirnya tanpa banyak tanya. Lelaki itu tidak bisa menahan diri, ia segera meraih bibir Rene dan menciuminya dengan menggebu.
“I miss you so much,” bisik Julian, berusaha mengatur napasnya.
Gadis itu juga masih berusaha mengatur napas. Mereka hanya berdua saja di sana. Ruangan VIP yang mungkin bisa memuat 30 orang, hanya ada mereka berdua. Private bar juga dibiarkan kosong.
“Apa kau benar-benar merindukanku setelah puas memandangi paha dan b****g yang dipamerkan di hadapanmu?” sinis Rene, mengingat pemandangan yang sempat tertangkap oleh matanya.
“Kau tahu aku tidak melakukan apa pun,” Julian menyusuri pipi Rene dengan punggung jemarinya. Aku marah melihat para pria yang mendekatimu itu. Kenapa kau bersikap ramah kepada mereka?”
“Apa aku harus marah-marah? Atau mengeluarkan jurus kung fu?” Rene jadi tergelak. Ia lantas menarik lengan Julian yang terlihat sangat tegang, berjalan ke tengah ruangan, menuju sofa yang ada di sana. Ruang VIP itu bersuasana country house, dengan tembok batu bata dan cahaya lampu berwarna biru.
“Itu tidak lucu,” desis Julian. “Aku benci selalu menatapmu dari jauh,” keluhmya
Rene terdiam, memahami perasaan Julian dengan pasti. “Me too,” desahnya berat.
Julian menarik gadis itu bersandar ke dadanya dan memeluknya erat.
“Hei, bagaimana pertunjukkanmu tadi? Padahal aku ingin sekali melihatnya jika saja tidak ada sedikit urusan.”
“Ah sudahlah, aku malas membicarakannya.”
Rene tersenyum tipis, menangkup wajah tampan Julian dengan kedua telapaknya. “Sayang, kenapa kau merajuk begini…? Sesuatu yang buruk terjadi?”
Julian menatap mata Rene yang penuh rasa peduli.
“Aku tidak ingin membahasnya. Entahlah, yang paling merusak mood-ku saat aku melihatmu dengan pria lain.”
“Aku juga sebenarnya ingin menghabiskan waktu lebih banyak denganmu, tanpa harus khawatir akan ada orang lain yang melihatnya,” gadis itu diserang perasaan melankolis mendadak. “Kau menyewa ruangan ini?” tanya Rene, sekilas melihat ruangan tempat mereka kini berada.
“Ya.”
Gadis itu mendongak. “Kau tahu kan, aku tidak bisa lama-lama? Teman-temanku menunggu.”
Julian mengerang. “Ada banyak yang bisa mereka lakukan tanpa kau."
Hingar bingar pesta di luar sana begitu riuh, bahkan terdengar hingga ke ruangan mereka yang terletak di lantai dua. Tetapi setidaknya di ruangan ini lebih tenang dan senyap.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Rene sudah mengira bahwa itu dari Alicia. “Aku harus mengangkat ini.” Terangnya. Gadis itu segera menegakkan punggungnya untuk mengangkat panggilan teleponnya. “Hei Alice… ya, ya… aku… nanti ke situ…”
“Kau dimana? Aku mencarimu di toilet dan tidak menemukanmu.”
“Oh ya, aku sedang ada perlu sedikit.”
“Cepatlah kembali, teman-teman mencarimu…”
“Ya, sebentar aku ke sana…”
Rene terenyak, tiba-tiba saja Julian sudah memeluknya lagi, mengecup pipi sang kekasih, lantas beranjak ke rahangnya, membuat gadis itu seketika merasakan seluruh tubuhnya meremang. Ia berusaha mendorong Julian menjauh sementara mendengarkan keluhan Alicia, tetapi seperti biasa lelaku keras kepala tak bisa diperingati.
“A-Alice, Alice, sudah dulu ya, sudah, ah, aku, ah… nanti… aku segera ke sana.”
Mendengar perkataan Rene, Julian menciuminya kian membabi buta.
“Rene, apa kau bersama seseorang?” tanya si sahabat curiga.
“Iya, aku harus pergi dulu,” dengan cepat Rene menutup teleponnya. Ia segera menghardik kekasihnya. “Juli-AH!!” Protes yang terlepas dari bibirnya tidak selesai karena lelaki yang disebut namanya kembali mengadukan bibir mereka.
Rene tak bisa lagi protes, ia tak kuasa mengendalikan tubuhnya sendiri.
“Aku ingin dunia tahu bahwa kaulah kekasihku. Milikku,” desis Julian di antara ciumannya. Ia lantas meraih lengan Rene, menciuminya, mendesak Rene setengah terbaring di sofa itu.
Rene melipat bibirnya. “Julian… jangan…” protesnya tanpa arti.
Julian menatapnya, hanya menyisakan satu senti antara bibir mereka. “Jangan apa?” tanyanya.
Rene kesulitan menjawab, apalagi saat tiba-tiba lidah lelaki itu menjilat bibirnya, dan entah kenapa Rene membalasnya, kembali terlibat dalam ciuman yang dalam.
Bahkan, kali ini Rene mulai merasakan bagaimana telapak lebar pria itu mengusap punggung dan pinggangnya, penuh keinginan.
Tiba-tiba rasa takut merayapi hati Rene. Berbagai pikiran yang tidak seharusnya ada di sana, bercokol di kepalanya.
Nararya itu pengkhianat! Mereka sangat mudah mempermainkan dan memperalat orang lain demi keinginannya.
Jangan berperilaku bodoh seperti kakakmu
Julian akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya.
“Cukup!” seru Rene, mendorong pundak Julian darinya, mengejutkan pria itu. Julian menatapnya linglung. “Jangan…” pinta Rene, kali ini lebih lunak.
Tidak seperti sebelumnya, saat Julian tidak menghiraukan permintaannya, kali ini Julian tahu Rene serius. Ia menatap kekasihnya penuh tanya.
“Ada apa?” lelaki itu bertanya, ibu jarinya menyentuh bibir Rene yang lipstiknya sedikit pudar.
Rene berusaha bangkit dari posisinya, dan Julian tidak menghalanginya. Jelas terlihat tampaknya sesuatu memenuhi benak kekasih Julian.
“Love?” panggil Julian, menggamit dagu gadis itu. “What’s wrong?”
“Julian aku…” derektur Jehan menggeleng. “Aku…”
“Kau belum siap?” Julian bertanya dengan nada pengertian. “Sorry…” katanya. “Tempat ini tidak layak?” lelaki itu berusaha menebak. “Ah… sorry Rene… aku terlalu terbawa perasaan,” sesalnya. Ia lantas mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
“Bukan, Julian, a-aku… aku juga menginginkannya, tapi…” Rene tampak kalut. Ia lantas menelan ludahnya, “Aku…”
Aku tidak yakin… batinnya. Ia ternyata masih belum memiliki keepercayaan sebesar itu kepada Julian.
“Kau tidak yakin kepadaku?” Seakan membaca pikiran Rene, perkataan si tampan tetap sasaran.
“Julian, dengarkan aku… ini… ini tidak mudah. Kau dan aku, selama ini, kita... berada di kubu yang berlawanan. Dan juga…”
“Intinya, Rene, kau masih tidak mempercayaiku! Kau… menuduhku mempermainkanmu!” tekan Julian, frustasi. “Benar ‘kan?”
Rene menatap Julian, “Apakah aku salah?”
Julian balas menatap Rene. “Hanya hatimu yang tahu jawabannya,” katanya. “Apa pun yang kukatakan, tidak akan merubah apa pun jika hatimu sendiri masih ragu.”
Gadis itu melipat bibirnya resah. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dirasakannya.