Julian menarik napasnya dalam-dalam. Resah tampak sekali di rautnya yang terbiasa tampak tenang.
“Sorry,” lirih Julian. “Aku tidak tahu apa yang merasukiku, malam ini rasanya aku… kacau sekali, dan sudah beberapa hari sebetulnya aku sulit tidur, ” lelaki itu membanting punggungnya ke sandaran sofa yang empuk, menyisir poninya yang halus ke belakang dengan jemarinya. “Aku tidak seharusnya memaksamu... apalagi di saat seperti ini, di tempat seperti ini,” sesalnya.
Rene menoleh, menatap simpati kekasihnya.
“Aku tahu, pasti banyak tekanan yang kau rasakan,” ujarnya pengertian, mengusap lembut lengan kekasihnya. Rene lantas menyandarkan dirinya di samping Julian, dan si lelaki menarik Rene ke dalam pelukannya.
“Di sini dulu sebentar lagi,” pinta Julian.
“Ya…” Rene menyanggupi.
Gadis itu bisa merasakan d**a Julian yang disandarinya naik turun. Ia bahkan bisa merasakan degupan jantung kekasihnya di telapaknya.
“Jangan minum terlalu banyak,” Rene mengingatkan. “Apalagi kau menyetir sendiri.”
“Baiklah,” Julian menyahut lembut, memeluk gadis itu lebih erat. Ia khawatir sekali kekasihnya akan berpamitan setelah ini. “Ayo kita pergi berkencan ke tempat di mana tidak akan ada yang menemukan kita. Aku akan mencari jadwal di antara kesibukanku.”
“Kemana? Apartemenmu lagi? Aku khawatir kita akan tertangkap basah jika sering terlihat di tempat yang sama berkali-kali,” ungkap Rene.
“No. Kita pergi keluar kota, atau luar negeri. Kita atur jadwalnya. Kurasa aku bisa menyisihkan sedikit waktuku untuk bisa bersamamu.”
Rene tersenyum lebar. “Deal!” ia mengecup cepat bibir Juliannya. “Kita bicarakan lagi mengenai hal ini nanti. Aku akan ke kamar mandi dulu, kau bisa segera kembali ke bawah.”
“Nanti dulu,” pinta Julian. “Tunggulah sebentar lagi.”
“Julian…” Rene sedikit protes, tetapi tidak ada tindakan berarti yang dilakukannya.
“Aku sangat suka memelukmu seperti itu,” ungkap Julian, membuat gadis dalam pelukannya mengurai senyum yang hangat.
Tidak berapa lama Rene bisa merasakan napas pria itu yang kian halus, dan sepertinya Julian jatuh tertidur. Ia memastikannya dengan menyentuh pipi Julian. Benar saja, CEO Romeo Kreasi itu tampaknya sudah tidur.
Rene membelai wajah tampak kekasihnya yang terlelap, menatapnya sendu. Ia tahu Julian pasti memiliki banyak beban pikiran yang tidak bisa dibagi dengannya. Soal pekerjaannya, soal keluarganya. Itu adalah dua topik yang sudah mereka sepakati tidak akan mereka bagi pada satu sama lain. Padahal, Rene juga paling mengerti bahwa keduanya adalah hal yang paling membebani pikiran mereka.
Lantas pertanyaan itu terlintas kembali di kepalanya. Apakah mereka benar-benar memiliki masa depan bersama? Apa dia akan bisa mempercayai Julian sepenuhnya? Memikirkan itu rasanya kepala Rene juga terasa berdenyut menyakitkan.
Tak lama layar ponselnya menyala kembali. Tampak beberapa pesan muncul dari Alice, yang sepertinya belum bosan menerornya agar lekas kembali. Rene memang harus pergi sebelum teman-temannya mencurigai Rene, atau bahkan memutuskan mencarinya.
Rene perlahan melepaskan lengan Julian dari tubuhnya. Gadis itu menghela napas dalam saat berhasil melakukannya tanpa mengusik Julian dari mimpinya. Rene lantas beranjak ke kamar mandi untuk merapikan diri setelah meninggalkan kecupan di bibir kekasihnya.
Di depan cermin, Rene memoles lagi lipstiknya yang sedikit pudar, serta merapikan make-up dan juga pakaiannya. Hiasan kepala yang sempat lepas tadi juga dipasangkannya kembali.
Setelah yakin penampilannya sempurna, Rene lantas beranjak kembali ke ruangan dimana ia meninggalkan Julian yang masih terlelap. Namun saat itu, tiba-tiba seseorang mendekati pintu, membukanya.
“Julian, apa kau di sini!?” seruan itu terdengar.
Rene tergemap. Ia benar-benar bingung hingga akhirnya memutuskan berlari perlahan ke balik meja bar dan berjongkok di sana. Untunglah ia masih sempat melakukannya sebelum Harris menampakkan diri di ruangan tersebut.
“Julian?” Harris tertegun sejenak, mendapati sepupu sekaligus sahabatnya itu terlelap di ruang VIP. “Hh… benar saja, ternyata kau masih seperti ini,” ujarnya, sembari mendekati lelaki yang tertidur pulas.
Sementara itu, Rene benar-benar bingung bagaimana dia harus keluar dari ruangan ini tanpa melewati Harris. Ya ampun… sampai kapan dia akan terjebak di sini?
Harris baru saja hendak beranjak menuju bar untuk mengambil minuman, saat kehadirannya mengusik Julian. Lelaki itu perlahan membuka matanya yang memicing. Ia terkejut mendapati ada Harris di sana.
“Kau sudah bangun? Apa aku mengusikmu?” tanya si sepupu.
“Kau…?” Julian terheran, ia menoleh ke sana kemari untuk mencari kekasihnya, tetapi tidak ditemukannya. Apa Rene sudah pergi? Pikirnya. Tetapi, Julian masih bisa mencium aroma manis dari parfum Rene di sana. Atau itu hanya aroma tubuhnya yang tertinggal padanya?
“Hei!” Harris menjentikkan jari. “Kenapa kau malah ke sini sendirian hanya untuk tidur? Kalau mau tidur, sebaiknya pulang saja, tidur di kasur apartemenmu yang nyaman.”
Julian masih tidak menjawab, hingga sepupunya duduk di sampingnya, dan menepuk lututnya.
“Julian, ada apa? Kau belakangan terlihat aneh… Seperti menyembunyikan sesuatu,” ungkap Harris.
“Ah, tidak, aku hanya…” Julian menoleh kesana kemari, hingga ia mendapati Rene mengintip dari balik meja bar. Mata cokelat Julian melebar, menyadari apa yang terjadi.
“Sepertinya kau sangat tegang, Bro,” Harris berujar. “Biar kuambilkan minuman, oke!”
Rene langsung menundukkan kepalanya, dan merasakan jantungnya berdebar. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Ia merasa sangat waswas.
“Eh,. Jangan! Jangan! Tidak perlu!” tukas Julian, segera menghalau niatan sepupunya. “Biar aku lakukan sendiri,” dengan cepat ia beranjak ke bar.
Benar saja, di bawah meja bar Rene sedang berjongkok dengan waswas.
Julian lantas mengambil sebotol minuman dan mengisi gelas dengan es batu lalu menuangkannya untuk Harris. Ia masih sempat menggunakan sebelah tangannya untuk membelai kepala Rene dan tersenyum kepadanya, sementara gadis itu tampak bingung harus bagaimana. Julian mengangkat telunjuknya, memberi tanda agar Rene bisa tenang.
Julian beranjak ke meja dan menyerahkannya pada Harris.
“Kau tidak minum?” tanya Harris heran.
“Sudah terlalu malam, aku harus segera pulang. Belum lagi, aku menyetir sendiri.”
Harris menggoyangkan gelasnya sebentar dan meneguk isinya. Ia lantas menurunkan gelas itu dan menatap Julian.
“Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Harris. “Ayolah, Bro, biasanya kau selalu mengatakan semuanya kepadaku. Belakangan kau terlihat seperti memendam sesuatu. Terkadang kau terlihat sangat bahagia, lain waktu begitu murung.”
“Tidak, aku tidak ada masalah apa-apa… Hanya… kau tahulah, ini mendekati akhir tahun. Banyak sekali yang harus kita kerjakan, dan ini… pertama kalinya aku secara resmi menangani perusahaan. Aku hanya sedikit gugup,” Julian beralasan.
“Oh, come on, Julian. Selama ini kau juga sudah berkali-kali membantu penyelenggaraan event CU. Memang, kali ini kau benar-benar bertanggung jawab untuk semuanya. But you’ll be fine…” Harris membesarkan hati sepupunya seperti biasa.
Julian tersenyum miring, “Thanks,” ia menepuk bahu Harris. “Kau sendiri, kenapa ada di sini? Tidak menemukan wanita cantik?”
“Oh, ada…” ungkap Harris. “Tadi aku melihat seorang wanita cantik. Ya, sudah beberapa kali aku melihatnya. Tapi dia berteman dengan orang-orang Jehan, aku jadi malas mendekatinya.”
Julian melirik dan menelan ludahnya.
“Kau sendiri, apa-apaan, menyewa ruang VIP untuk sendirian, seperti sedang depresi. Atau kau juga… menghabiskan waktu dengan seseorang di sini?” Si sepupu menyeringai usil. “Jangan-jangan… kau bersama dengan gadis yang saat itu kau sembunyikan di apartemen?”
“Ah, banyak omong!” tukas Julian, “Ayo kita pergi dari sini! Besok aku ada urusan pagi-pagi sekali.”
Harris menurut dan ikut berdiri saat Julian menarik lengannya.
Tetapi, belum sempat mereka keluar ruangan, tiba-tiba saja terdengar bunyi suara ponsel.
Bukan punya Harris.
Bukan punya Julian.
Rene menyadari itu ponselnya yang tertinggal di kamar mandi. Ia panic bukan main. Bagaimana dia sampai lupa meninggalkan ponselnya di sana saat tadi mengeluarkan make up dari tasnya.
Kedua lelaki mematung di tempatnya. Sama halnya dengan Rene, Julian juga menyadari bahwa itu adalah ponsel kekasihnya yang sedang bersembunyi.
“Itu ponsel siapa,” Harris berujar, segera melangkah ke arah suara.
“Eh, Harris, Harris,” Julian berusaha menahan lengan sepupunya, tetapi usahanya berakhir sia-sia.
Sedari tadi dia di sini, Harris tidak merasakan ada kehidupan lain. Tetapi, dia memang curiga Julian menyembunyikan sesuatu darinya. Dengan cepat Harris melangkah ke arah kamar mandi, dan mendapati ponsel Rene menyala di sana.
Tampak foto Alicia di sana.
“Harris, Harris,” Julian bingung apa yang harus dikatakannya.
Saat ponsel berhenti berbunyi. Lelaki itu bisa melihat ada foto Renesty di sana.
“HAA!!” Harris kaget bukan kepalang. “Kenapa ada foto siluman wanita itu?” katanya, bahkan hampir menjatuhkan ponsel Rene.
Julian hanya bisa mengamati Harris bingung, berusaha mencari kalimat yang tepat. Rene sendiri sudah kalang kabut. Apa dia lari saja sekarang? Mumpung keduanya masih di kamar mandi? Sepertinya itu keputusan tepat.