Bab 6. Kesal!

1164 Kata
Luna turun dari mobilnya, setelah dia memarkir mobilnya di basemen kantor. Setelah merapikan sedikit penampilannya, Luna segera berjalan ke arah lift, yang akan membawa dia ke ruang kerjanya. “Selamat pagi, Bu Luna,” sapa seorang bawahan Luna yang ikut mengantre di depan lift. “Pagi,” balas Luna dengan ramah. “Hei,” sapa pelan seseorang di samping Luna yang membuat wanita itu langsung menoleh. “Hei. Baru dateng juga?” tanya Luna balik saat melihat Rio berdiri di sampingnya. “Iya. Hmm ... siang ini kamu makan siang sendiri bisa kan?” “Emang kenapa gitu? Kamu mau sibuk?” “Iya. Aku mau keluar abis briefing. Kayaknya bakal ampe sore.” “Mau ke mana?” “Kantor pusat.” “Oh gitu. Santai aja.” “Ntar malem aku ke kos. Kita makan bareng.” Luna tersenyum sambil mengangkat jempolnya. “Ok!” “Pagi, Pak Rio,” sapa Sarah yang tiba-tiba menyela obrolan Luna dan Rio. Rio menoleh ke Sarah. “Pagi, Sar.” “Pak, pagi ini Pak Rio keren banget. Saya paling suka kalo Pak Rio pake baju warna navi begini.” “Bisa aja kamu. Kamu juga bagus kalo pake setelah begini. Keliatan makin tinggi,” puji Rio membalas pujian Sarah. Mendengar kekasihnya memuji wanita lain tanpa ragu di hadapannya, Luna tentu saja meradang. Dia langsung melihat ke arah Rio dengan tatapan tajam. Tapi Rio malah tersenyum meski dia tahu kalau kekasihnya itu sedang protes kepadanya. Dia hanya menggenggam tangan Luna secara diam-diam, mencoba untuk meredam kemarahan sang kekasih. Bukannya berhenti, tapi Rio masih saja meneruskan obrolannya dengan Sarah. Jengah melihat kekasihnya seolah tidak memedulikan sikapnya, Luna pun segera masuk lebih dulu ke dalam lift yang kekurangan satu penumpang. “Mati aku. Ngambek ini pasti. Duh, gimana ya,” ucap Rio dalam hati. “Ya udah lah, ntar aja aku jelasin.” Luna meradang. Di cemberut dan suasana hatinya langsung rusak. Dia turun di lobi kantor dulu untuk membeli minuman yang akan membantunya mendinginkan kepala, meski hanya sedikit. Luna berjalan dengan rasa kesal yang memenuhi dadanya. Dia bahkan sampai tidak sadar kalau dia baru saja berpapasan dengan Dion, yang akan menuju ke arah lift. Melihat Luna berjalan begitu saja tanpa menyapanya seperti pegawai lain, Dion pun langsung menghentikan langkah kakinya dan melihat ke arah Luna yang masuk ke coffee shop. “Apa-apaan ni orang. Gak ada sopan-sopannya sama sekali. Apa ini kebiasaan orang Amerika?” gerutu Dion kesal pada Luna. “Awas kam –“ “Bos. Kita sebentar lagi briefing,” Irwan mencegah Dion yang akan mengikuti Luna ke coffee shop. Dion menatap tajam ke arah toko minuman itu. “Pastikan dia datang ke briefing!” Dion malah ikut kesal dengan sikap Luna. Sama persis seperti dulu saat mereka masih tinggal bersama. Sikap cuek Luna sering kali membuat Dion kesal. Wanita itu bahkan terkadang seperti tidak melihat dirinya ada di depannya. Dion yang tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh wanita, tentu saja meradang saat Luna mengabaikannya. Tidak boleh ada orang yang mengabaikan Dion. Itu aturannya! Setelah mendapatkan minumannya, Luna segera masuk ke ruang kerjanya. Dia melihat Sarah sedang tersenyum sendiri di ruangannya. Luna menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi kerjanya. Dia menyesap cairan hitam yang baru saja dia beli, agar rasa kesalnya berkurang. Tok tok tok. “Hai, boleh masuk?” tanya seseorang yang membuka sedikit pintu ruang kerja Luna dan menyempalkan kepalanya di celah itu. Luna mengangguk. “Masuk,” jawab Luna yang mengenali wanita itu. Rekan kerja Luna itu duduk di depan meja kerja Luna. Dia memberi senyum ramah sebagai sapaan. “Hai, aku Manda. Aku asmen juga di sini. Enam bulan lebih senior dari kamu,” ucap Manda memperkenalkan diri. “Hai, aku Luna. Wah, senior aku dong,” jawab Luna dengan senyum mulai bersahabat. “Apaan sih. Gak ada yang begitu. Sorry, kemaren gak sempet memperkenalkan diri, soalnya aku sibuk banget.” “Santai aja. Oh ya, kalo misal nanti ada sesuatu yang aku gak paham, boleh kan aku nanya ke kamu?” “Boleh banget lah. Tanya aja, santai.” “Makasih. Eh, udah waktunya briefing. Jalan yuk.” “Ok.” Kedua wanita itu segera keluar dari ruang kerja Luna menuju ke ruang briefing di lantai 4. Luna melihat Rio keluar dari divisinya, bersama dengan dua rekan kerjanya. Sengaja menghindari Rio, Luna mengajak Manda untuk segera masuk ke lift. Rio yang tahu Luna masuk ke lift tanpa menunggu dirinya untuk kedua kalinya, semakin yakin kalau kekasihnya marah. Luna memilih duduk di tengah, bersama dengan beberapa asmen, teman-teman Manda. Tentu saja dia harus mencari teman di kantor ini, agar tidak semakin membosankan. Dion masuk ke ruang briefing bersama dengan ajudan setuanya. Dia langsung duduk di depan semua karyawannya. Irwan membuka briefing dan memberikan penjelasan singkat tentang tujuan yang harus dicapai oleh setiap divisi di kuartal ke 2 tahun ini. Setelah Irwan selesai menjelaskan, dia mempersilakan Dion memberikan sedikit wejangan bagi para jajaran manajemen yang hadir di sana. “Saya harap target kita bisa terpenuhi. Kerja keras kita sangat dibutuhkan untuk menunjukkan loyalitas kita ke perusahaan.” Dion menyapu semua orang di hadapannya dengan pandangan matanya. Tatapan mata pria itu terhenti pada seorang wanita dengan kemeja warna soft pink yang duduk di tengah. “Bu Aluna, setelah ini tolong ke ruangan saya,” ucap Dion sambil menatap Luna yang tampak kaget. “Hah, sa-saya, Pak?” tanya Luna tidak percaya Dion akan memanggilnya. “Iya. Emang ada nama Aluna lagi di sini selain kamu?!” “Baik, Pak,” jawab Luna kesal. Aluna. Hanya Dion yang memanggil Luna dengan nama depannya. Luna mendengus kesal saat Dion menyuruhnya datang ke ruangan orang nomor satu di perusahaan ini. Ini baru haru kedua dia bekerja di kantor ini, Luna berharap pria yang merusak masa mudanya itu tidak membuat dia makin kesal lagi. Peserta briefing bubar. Luna berjalan bersama dengan Manda keluar dari ruangan itu. “Luna,” panggil Rio yang melihat Luna akan berjalan ke arah lift. Luna menoleh ke belakang dan melihat Rio berjalan cepat ke arahnya. Luna memilih melanjutkan langkahnya menuju ke arah lift, untuk mengantre. “Kamu kenapa? Kenapa kok Pak Dion panggil kamu?” tanya Rio ingin tahu. Luna menoleh ke Rio. “Ya mana aku tau. Tanya aja ke Pak Dion langsung.” Luna menjawab dengan ketus. “Lun, kamu masih marah?” Luna melirik tajam ke Rio. “Menurut kamu?” “Man, ada duluan ya. Mau naik soalnya,” pamit Luna pada teman barunya. Tanpa memedulikan Rio, Luna langsung naik ke ruang kerja mantan suaminya. Dia melapor ke sekretaris Dion dan segera di antar ke ruangan penguasa perusahaan. Luna berdiri di depan Dion. Dia melihat pria itu masih melihat ke arah layar laptopnya, tanpa peduli ada orang lain di depannya. “Tinggalkan kami,” perintah Dion dengan suara pelan, tanpa memindahkan tatapannya dari layar laptop. “Irwan siapkan semuanya,” lanjut Dion. “Baik, Bos.” “Siapkan. Siapkan apa ini maksudnya? Dia mau ngapain sih,” gerutu Luna dalam hati, penasaran dengan apa yang sedang direncanakan Dion.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN