Bab 7. Tuduhan Dion

1213 Kata
Suasana di ruang kerja Dion sangat sunyi. Tidak ada orang lagi di ruangan itu selain Dion dan Luna. Luna masih melihat ke arah Dion yang entah apa maksudnya malah mengabaikannya. Pria di depannya itu masih tetap saja menyebalkan seperti dulu, tidak berubah sama sekali. “Aku di sini mau di suruh ngapain sih? Aku gak ada waktu kalo cuma di suruh diem aja ngeliatin kamu. Kerjaanku banyak!” gerutu Luna kesal sambil menggerakkan bibirnya ke kanan dan ke kiri. Dion menaikkan pandangannya. “Ternyata kamu masih ngenalin aku. Kirain kamu lupa ama aku.” “Lupa? Gimana aku bisa lupa sama orang nyebelin kayak kamu.” Luna langsung melengos. Seringai muncul di bibir Dion. “Bearti selama ini kamu gak bisa lupain aku ya?” Luna langsung menatap tajam ke arah Dion. “Males banget. Gak gitu maksud aku. Aku tuh c*m –“ “Ada hubungan apa kamu sama Rio?” tanya Dion memotong ucapan Luna. “Rio?” Luna berpikir sejenak sambil melirik ke atas. “Oh Rio, dia pacar aku.” “Pacar?” Dion mengerutkan keningnya. “Iya. Emang kenapa?” Dion menatap tajam ke arah Luna. Entah mengapa ingin sekali dia marah saat dia mendengar kalau Luna sudah memiliki seorang kekasih saat ini. Setelah berpisah, Dion terlalu sibuk untuk belajar demi melanjutkan perusahaan papanya. Dia tidak sempat menjalin hubungan serius dengan wanita, karena mereka pasti protes dan tidak tahan dengan sikap gila kerja Dion. Dion menutup layar laptopnya. “Oh, jadi kamu masuk ke perusahaan ini lewat dia ya?” tanya Dion sambil menyandarkan punggungnya dan menautkan kedua tangannya di depan perut. “Enggak. Dia cuma kasih tau ada lowongan doang. Dan aku ngelamar sendiri ke sini,” bantah Luna. “Gak usah boong kamu. Kualifikasi masuk ke perusahaanku ini susah. Gak gampang di tembus.” “Ya buktinya aku bisa. Berarti kan gak terlalu susah.” Dion menempelkan dadanya di meja kerja. “Kamu pasti masuk lewat jalan dia kan? Kamu nepotisme!” tuduh Dion. “Enggak! Heh, jangan asal nuduh kamu ya!” “Gak usah ngelak lagi. Kamu pasti di kasih tau ama dia kan? Berapa? Berapa duit yang iamu habiskan buat masuk ke sini?” Brak! Luna menggebrak meja kerja Dion. “Gak usah asal nuduh ya! Kamu dari dulu gak berubah! Demen banget nyalahin orang!” “Rio cuma kasih tau aku kalo di sini buka lowongan. Dan aku bener-bener ngejalanin tes itu mandiri. Sama sekali tanpa bantuan dia! Ngerti kamu!” tegas Luna sambil melotot. Luna sangat kesal karena penyakit menyebalkan Dion sudah kumat. Luna bukan hanya ingin mempertahankan harga dirinya, tapi dia juga tidak ingin kalau gara-gara dia, Rio akan mendapat masalah. Dion kembali menyandarkan tubuhnya di singgasananya. Dia sebenarnya memang tidak menyangkal kalau Luna pasti bisa masuk ke perusahaannya. Sejak kuliah, Luna memang dikenal sebagai murid yang pintar. Belum lagi pengalaman kerja di Amerika, pasti akan menjadi pertimbangan yang kuat untuk menolak dia di perusahaannya. Entah mengapa, Dion merasa sedikit senang kalau dia berhasil membuat Luna marah. Wajah wanita itu selalu merona merah saat marah dan itu semakin membuat Luna terlihat cantik. “Ok, kalo emang kamu ngerasa ini semua hasil kerja keras kamu. Ikut aku ketemu klien. Aku mau kamu presentasi dan memenangkan tender ini,” ucap Dion. “Hah? Kamu gila apa ya. Aku bahkan belum terlalu hapal dan paham sama perusahaan ini. Aku baru masuk kemaren, Dion!” “Mau gak? Kalo gak mau, ya berarti kamu –“ Luna mendengus kesal. “Kasih bahan presentasinya!” pinta Luna kesal sambil cemberut. Dion tersenyum. “Nah, gitu dong. Percuma lulusan Harvard kalo gini doang mundur,” ledek Dion puas. Luna hanya membalas dengan menatap tajam ke arah Dion. Dia sangat kesal karena pria itu tampaknya sengaja membuat masalah dengannya. Dion memanggil Irwan masuk ke ruang kerjanya. Asisten pribadi Dion itu menyerahkan berkas bahan presentasi pada Luna. “Siapkan mobil. Saya akan pergi bersama dengan Bu Luna,” ucap Dion pada Irwan. Luna yang tadinya membaca berkas itu langsung mendongakkan kepalanya. “Berdua?” ucap Luna pelan yang kemudian segera memutar bola matanya. “Baik, Pak.” Dion melihat ke arah Luna. “Ayo, Bu Luna.” Dion melempar senyum penuh ejekan. Luna menggerak-gerakkan bibirnya. “Saya ke ruangan saya dulu, Pak. Mau ambil barang saya.” Luna mendengus kesal sebelum dia pergi meninggalkan ruang kerja Dion. Wanita cantik itu keluar dari ruang kerja Dion sambil mengumpati pria yang kembali hadir bak mimpi buruk untuknya. Luna berdiri di depan pintu ruang kerja Dion. Dia kemudian meninju angin di depannya, seolah akan meninju Dion yang menyebalkan itu. “Dasar b******k! Gak bisa apa ya diem aja gak usah ganggu aku lagi. Dasar nyebelin!” umpat Luna kesal. “Eh, orang itu kenapa ya? Abis kena omel Pak Dion kali ya,” ucap sekretaris Dion yang melihat aksi Luna. Setelah puas mengeluarkan emosinya, Luna segera menarik napas dalam untuk menenangkan emosinya. Luna menarik blazernya agar rapi kembali dan merapikan rambutnya. Saat Luna berbalik, tanpa sengaja ekor matanya menangkap ada sekretaris Dion yang masih melihat ke arahnya. Dia kemudian berdehem dan berjalan sedikit cepat ke arah lift. Malu heeii! Luna segera menuju ke ruang kerjanya. Dia segera mengambil tas kerjanya dan berpamitan pada Petrus. Sarah yang ada di ruang kerjanya, melihat ke arah Luna yang keluar dari ruang kerja Petrus sambil membawa tas. “Mau ke mana dia? Pagi-pagi dah keluar kantor. Aku aja jarang keluar kantor,” gumam Sarah yang terus melihat ke arah Luna sampai menghilang di balik dinding. Saat tiba di lobi, Luna melihat mobil Dion masih parkir di depan kantor. Sepertinya mantan suaminya itu masih ada di atas, jadi Luna memilih untuk menunggu saja di sofa yang ada di lobi. Rio yang akan ke kantor pusat bersama seorang rekan kerjanya, melihat Luna di lobi kantor, saat dia keluar dari coffee shop. “Loh, Luna mau ke mana itu? Kok dia sendirian di sini?” tanya Rio pada dirinya sendiri. “Lun,” panggil Rio yang nadanya semakin pelan di akhir kalimatnya. Rio melihat Luna berdiri saat dia melihat Dion berjalan ke lobi setelah keluar lift. Tidak lama kemudian, Luna tampak berjalan bersama dengan sang pimpinan, meski Luna berjalan sedikit di belakang Dion. “Luna pergi sama Pak Dion? Mau ke mana mereka?” ucap Rio lagi yang sedikit merasa heran dengan pemandangan tidak biasa itu. Tanpa sadar, Rio mengikuti langkah Luna dan Dion ke arah mobil sedan hitam yang sudah parkir di depan kantor sejak tadi. Rio semakin kaget saat dia melihat Luna dan Dion masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Irwan di sana. Meski Luna duduk di kursi depan, tapi tetap saja ini aneh. Selama ini Dion tidak pernah mengajak pegawainya satu mobil dengannya, meski mereka akan pergi ke tempat yang sama. Tapi Luna? Orang yang baru kemarin bekerja, sudah bisa satu mobil dengan orang nomor satu di perusahaan ini. Melihat Irwan masuk kembali ke dalam kantor, Rio segera melangkah cepat mendekati Irwan. Dia sangat ingin mengetahui, ke mana Dion membawa kekasihnya pergi. Irwan yang kaget karena Rio tiba-tiba ada di depannya, kini hanya bisa berdiri dan melihat ke arah pria itu. Rio mengangguk memberi salam pada Irwan. “Maaf, Pak. Itu tadi Pak Dion ama Luna ke mana ya? Mereka akan pergi ke mana?” tanya Rio penuh dengan nada penasaran, khawatir dan sedikit marah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN