Bab 8. Uji Nyali

1322 Kata
Irwan melihat manajer keuangan di perusahaan ini terlihat sangat penasaran di depannya. Selama mengenal Rio, baru kali ini pria itu bertanya hal tentang atasannya yang tentu saja bukan urusan Rio. “Ada apa ya, Pak?” tanya Irwan balik, siapa tahu tadi Rio salah bertanya. “Pak Dion. Ke mana Pak Dion bawa Luna?” tanya Rio lagi. “Pak Dion? Maaf Pak, saya rasa ini bukan area yang harus Bapak ketahui.” “Tapi yang di ajak Pak Dion itu pa –“ “Maaf, Pak. Saya banyak kerjaan. Permisi.” Irwan segera pergi meninggalkan Irwan begitu saja. Dia tidak ingin terlibat dalam perasaan pribadi Rio ke Luna. Melihat Irwan pergi begitu saja meninggalkannya, tentu saja Rio semakin meradang. Dia kemudian melangkah cepat ke arah pintu depan, karena mobil temannya sudah parkir di sana. Rio masuk dan langsung mengambil ponselnya. Dia kemudian langsung menghubungi Luna, ingin tahu ke mana kekasihnya itu akan pergi bersama Dion. “s**t!” Rio mengumpat saat teleponnya di tolak oleh Luna. “Kenapa sih, lu? Uring-uringan aja dari tadi?” tanya Bastian, teman Rio. Rio melihat ke arah Bastian. “Bas, lu pernah liat gak Pak Dion pergi ama karyawan, berdua doang?” tanya Rio. “Pak Dion pergi berdua ama karyawannya? Nunggu dunia kiamat dulu kali. Dia tuh sok perfek orangnya. Mana ada kita diijinin semobil ama dia.” “Nah kan bener. Trus kenapa dia bisa semobil ama Luna ya.” Bastian menoleh ke arah Rio. “Luna? Luna asmen baru yang cantik itu ya. Lu kenal ama dia? Kenalin dong ... aku jug –“ “Dia pacar gua kampret!” “Hah?! Seriusan dia pacar lu?” Bastian kaget sampai hampir menginjak rem dalam-dalam. “Hemm. Di pacar gua. Eh, tapi ke mana ya mereka. Mana teloon gua di tolak lagi ama Luna. Kan makin penasaran gua.” “Chat aja napa. Gak enak kali dia terima telepon.” Bastian memberi saran. Tanpa berpikir panjang lagi, Rio segera mengirim pesan chat ke kekasihnya. Dia ingin tahu, ke mana Dion akan membawa kekasihnya pergi. “Kamu ke mana ama Pak Dion?” tanya Rio lewat pesan chat. “Eh, emang beneran Pak Dion pergi berdua aja ama pacar lu? Pak Irwan gak ikut?” tanya Bastian. “Gak ikut. Mereka bertiga ama sopirnya Pak Dion,” jawab Rio sambil menunggu balasan Luna. “Ya itu namanya bertiga pe’a!” “Ya tapi kan tetep aja mereka pergi berdua. Soalnya Pak Irwan gak ikutan. Itu tetap aja aneh,” ucap Rio membela diri. “Iya juga sih. Eh, tapi gimana sih ceritanya kamu bisa pacaran ama Luna? Gila ... cantik banget tu anak baru.” Rio memilih membuka pesan Luna yang baru saja masuk ke ponselnya dari pada menjawab pertanyaan Bastian. Dia lebih tertarik ingin tahu keberadaan Luna, yang sangat aneh di depannya. “Lagi mau ketemu klien.” Bunyi pesan Luna. “Ketemu klien siapa? Kenapa pergi sama Pak Dion doang? Kenapa gak sama Pak Irwan juga?” Rio langsung memberondong Luna dengan banyak pertanyaan. “Berhenti main hp, Luna. Hapalkan itu!” bentak Dion yang sedari tadi melihat Luna bermain ponsel. “I-iya, Pak,” jawab Luna yang gagal mengirim pesan balasan untuk Rio. “Bawel banget sih ni orang,” gerutu Luna kesal dalam hati. “Main hp aja terus. Mau kerja gaji buta kah. Mentang-mentang pacarnya orang keuangan. Enak aja!” geram Dion dari jok belakang. “Luna pacaran? Kok bisa ya? Kan dia nyebelin banget. Kok ada cowok yang betah ama dia,” gumam hati Dion yang masih tidak percaya kalau Luna memiliki pasangan. Dion sedikit melirik ke arah Luna yang duduk di depannya. “Apa karena sekarang dia cantik? Cih! Tapi seleranya kok Rio. Playboy bokek,” ucap Dion pelan yang sudah mendengar beberapa informasi tentang Rio dari asisten paling setianya. Sikap supel Rio ditambah dengan wajah tampannya, membuat beberapa pegawai wanita di kantor menyukai Rio. Cara bicara Rio yang lembut, kerap kali membuat mereka salah paham, seolah Rio memperhatikannya. Dion semakin yakin kalau mantan istrinya itu akan menjadi korban mulut manis Rio. Meski dulu hubungannya tidak baik dengan Luna, tapi dia tetap tidak suka kalau posisinya di gantikan oleh playboy bokek seperti Rio. Akhirnya Luna dan Dion, tiba di sebuah perusahaan, tempat Luna akan diuji kemampuannya oleh Dion. Pria tampan itu memimpin jalan menuju ke ruangan kliennya yang akan membangun gudang baru untuk pabriknya. “Selamat siang, Pak Dion. Makasih loh udah dateng ke sini,” sapa Rahmat, klien Dion. “Gak papa, Pak. Lagi pula kan emang Pak Rahmat masih belum bisa banyak berjalan. Gimana Pak, kakinya masih sakit?” tanya Dion sedikit berbasa-basi. “Udah mendingan sih, Pak.” Rahmat melihat ke arah Luna. “Loh, asistennya ganti, Pak?” “Enggak. Ini orang pemasaran yang baru. Dia dikenal dengan kemampuan presentasinya yang bagus. Oleh sebab itu, saya mengajaknya ke sini,” jawab Dion sambil tersenyum lebar memuji Luna. Tapi sayangnya pujian itu membuat Luna kesal karena itu sama saja memberikan tekanan pada dirinya. Dion seperti mengisyaratkan pada Luna, kalau dia harus menang tender hari ini. “Kampret ni orang! Mulutnya bener-bener nyebelin ya!” geram Luna dalam hati sambil menggerak-gerakkan bibirnya saat melihat Dion. “Waah, beruntung sekali saya bisa ketemu yang unggulan seperti ini. Semoga saja konsep kali ini saya suka ya, Pak Dion.” “Tentu saja, Pak. Ini hasil pemikiran Bu Luna sendiri. Beliau yang merancangnya. Iya kan, Bu?” tanya Dion sambil menaikkan kedua alisnya bersamaan saat menatap Luna. “I-iya, Pak,” jawab Luna canggung. “Baik, boleh saya dengarkan sekarang? Soalnya saya harus ke rumah sakit habis ini.” “Oh bisa, Pak. Silakan, Lun.” Luna melihat ke arah Dion. Pria itu tampak duduk dengan santai dan mengeluarkan seringai seolah ingin menertawakan Luna. Melihat wajah Dion yang sangat menyebalkan, ingin sekali Luna memukul Dion dengan map yang sejak tadi dia bawa. Bagaimana bisa Dion dengan sengaja membanggakan dirinya di depan klien, sedangkan dia hanya mempelajari bahan presentasi selama 30 menit saja. Itu juga belum dipotong dia tadi sempat berbalas pesan dengan Rio. Tapi Luna tidak punya pilihan lain. Dia mencoba mengandalkan pengalamannya selama ini dan berharap akan bisa menaklukkan klien yang kata Dion sulit di dapatkan. Dion menyandarkan tubuhnya, di sofa sambil mendengarkan Luna presentasi. Dia memberikan Lina kepercayaan, tapi mungkin lebih tepatnya memberikan beban berat pada Luna. “Bagus juga. Gak rugi dia sekolah jauh-jauh ke Amerika,” ucap Dion dalam hati sambil tersenyum tipis, melihat Luna presentasi. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan dan bisa di jawab dengan baik oleh Luna, akhirnya presentasi itu pun selesai. Luna mendapat pujian dari Rahmat, yang puas dan terlihat senang dengan kinerja Luna kali ini. Dia bahkan terlihat akan mengambil proyek yang ditawarkan oleh Luna tadi. “Saya akan hubungi Pak Dion lagi secepatnya. Terima kasih Bu Luna, presentasinya sangat bagus,” ucap Rahmat. “Sudah tugas saya, Pak,” jawab Luna dengan ramah. “Baik lah, Pak. Kalau begitu, kami permisi dulu. Saya tunggu kabarnya, Pak,” pesan Dion sebelum dia berpamitan. “Baik, Pak. Akan segera saya kabarkan.” Dion segera mengajak Luna untuk berpamitan. Mereka keluar dari ruang kerja Rahmat bersamaan. Selama perjalanan menuju ke mobil, tidak ada satu pun ucapan yang keluar dari mulut kedua orang itu. Sedikit pujian atau ucapan terima kasih pun tidak keluar dari mulut Dion untuk Luna. “Ni orang emang nyebelin ya. Masa iya gak ada terima kasihnya sama sekali. Emang sih ini kerjaan aku, tapi apa salahnya sih kali dia puji aku dikit atas kerja nekatku tadi,” gerutu Luna sambil meninju angin di belakang kepala Dion. “Hem hem.” Dion berdehem saat dia melihat Luna meninju belakang kepalanya dari pantulan pintu lift. Luna yang menyadari mungkin Dion tahu tindakannya, segera berpura-pura tidak melakukan apa-apa. Dia tetap diam berjalan di belakang Dion, sampai mereka masuk lagi ke dalam mobil. “Kalo sampe tender ini lepas. Lupakan soal gaji buat bulan depan,” celetuk Dion saat mobil mulai berjalan meninggalkan gedung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN