Brak!
Luna membanting tasnya ke meja kerjanya. Dia sangat kesal dengan perlakuan tidak masuk akal Dion kepadanya.
Entah apa yang sebenarnya diinginkan Dion, sampai pria itu nekat untuk mengusik ketenangan hidupnya kembali. Bertemu dengan Dion memang selalu membuat Luna merasa dalam mimpi buruk.
“b******k! Apa sih maunya tu orang. Gak bisa apa ya dia diem aja dan gak usah ngurusin aku lagi. Muak aku lait muka dia!” umpat Luna yang sangat kesal pada Dion.
Luna meremas kertas yang ada di atas mejanya. “Liat aja ya, aku bakal bikin perhitungan ke kamu kalo kamu macem-macem lagi ama aku. Bakalan aku bejek-bejek kamu!” geram Luna yang sangat kesal dengan sikap kekanakan Dion.
Saat Luna sedang sangat kesal, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Dia langsung melihat ke arah pintu, dengan wajah yang sangat tidak bersahabat.
“Bisa gak kalo mau masuk ruangan orang lain itu ketuk pintu dulu, hah?” ucap Luna yang kesal pada Sarah yang masuk ke ruangannya tanpa izin.
Sarah langsung mendekati meja kerja Luna. “Emang kenapa? Kamu dari mana jam segini baru dateng?” tanya Sarah sambil mengangkat dagunya.
Luna melengos. “Bukan urusan kamu,” jawab Luna malas.
“Tentu jadi urusan aku lah. Aku senior di sini, jadi aku berhak tau ke mana aja bawahan aku pergi!” tegas Sarah dengan nada sombong.
Luna melihat ke arah Sarah. Setelah dia dibuat kesal oleh Dion, kini muncul lagi satu penyakit yang membuat amarah di d**a Luna ingin meledak.
Tapi Luna tidak mau membuat masalah di saat dia masih sangat baru. Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya.
“Abis pergi sama Pak Dion,” jawab Luna pelan.
Sarah kaget dengan jawaban Luna. Dia bahkan sampai memajukan kepalanya, tidak percaya dengan yang dia dengar.
“Siapa? Kamu pergi sama siapa tadi?” tanya Sarah dengan nada sarkas.
“Gak mungkin. Gak usah ngayal kamu!” lanjut Sarah yang tidak percaya dengan nama yang dia dengar.
“Emang kenapa? Salah kalo aku pergi ama pimpinan? Hmm ... ato jangan-jangan kamu belum pernah ya pergi sama Pak Dion?” ucap Luna dengan nada merendahkan.
“Kasian banget. Katanya senior, tapi di ajak bos buat ketemu kliennya aja gak pernah,” ledek Luna.
“Kok aku jadi penasaran ya, kinerja kamu selama ini bagus gak ya?” lanjut Bianca sambil memiringkan wajahnya dan memasang mimik seperti sedang berpikir.
“Heh! Yang sopan kalo ngomong ya!” murka Sarah.
Sarah membanting beberapa file di atas meja Luna. “Kerjakan ini! Besok harus selesai!” bentak Sarah yang marah pada Luna.
Sarah segera pergi dari ruang kerja Luna dengan kemarahan yang memuncak. Dia tidak menyangka akan mendapatkan bawahan yang sangat menyebalkan dan sombong seperti Luna.
“b******k! Si Amerika gak tau diri! Bisa-bisanya dia seenaknya bilang kayak gitu!” umpat Sarah sambil mengentakkan satu kakinya.
Sarah mulai berjalan ke arah ruang kerjanya. “Tapi beneran ya dia tadi pergi sama Pak Dion? Kok kayaknya gak mungkin banget ya. Ah, pasti gak mungkin. Pak Dion mana mau pergi sama karyawannya.”
Sarah masih tidak percaya kalau Luna pergi bersama dengan pimpinan perusahaan ini. Selama ini, hanya klien penting dan yang berkatagori “Big Boss” -lah yang ditangani langsung oleh Dion.
Luna melihat ke arah tumpukan berkas yang baru saja dia terima dari Sarah. Sangat tinggi dan pastinya akan membuatnya berkenalan dengan yang namanya kerja lembur.
Tapi sebagai pegawai baru, Luna tidak boleh menyerah. Dia mulai mengerjakan laporan itu satu persatu, berharap akan segera selesai.
Pintu ruang kerja Luna diketuk dari luar. Manda memasukkan kepalanya di sela pintu, untuk melihat ke arah si pemilik ruangan.
“Lun, makan siang yuk,” ajak Manda.
Luna menoleh sebentar ke arah pintu. “Masih sempet gak?” tanya Luna sambil menepuk tumpukan file yang ada di atas mejanya.
Manda masuk ke dalam ruangan Luna. “Banyak banget. Jangan bilang ini dari Sarah ya?”
Luna mendongakkan kepalanya. “Kok tau?”
“Permainan lama. Udah sering dia kayak gini sama anak baru. Aku dulu juga gitu. Pas aku dah kecapekan dan aku aduin ke Pak Petrus, baru deh dia berhenti.”
“Kok gitu sih. Trus dia dimarahin dong?”
“Dimarahin sih, tapi abis itu ya dibaikin lagi. Kan dia pegawai kesayangannya Pak Petrus.” Manda membungkukkan badannya ke arah Luna. “Ada yang bilang, katanya Sarah itu simpenannya Pak Petrus,” bisik Manda yang kemudian meletakkan jari telunjuk kanannya di depan bibirnya tanda Luna harus diam.
“Dih! Kayak gak ada orang lain lagi aja. Di sini banyak manajer ato direktur yang lebih ganteng dan enak diliat, kenapa juga milihnya yang kayak gentong air gitu.” Luna terkikik geli.
“Ya mungkin biar gak ada saingannya.” Manda ikut tertawa.
“Dih, bisa aja kamu itu. Yuk ah, aku juga laper.”
Luna segera melupakan pekerjaannya dan segera menyambar ponsel dan dompetnya untuk mengisi perutnya dengan sumber energi. Merutuki Dion sejak tadi, membuat dia kelaparan karena ternyata membutuhkan energi yang cukup besar.
Siang ini Luna mengajak Manda untuk makan siang di kantin saja. Dia ingin tahu keadaan kantin perusahaannya, apakah sama bagusnya dengan kantin tempat dia bekerja dulu.
Selagi mengantre, Luna sedikit bercerita pada Manda tentang pengalamannya tinggal dan bekerja di Amerika. Saat bercerita, ada satu hal yang sangat mengganggu Luna, saat dia melihat ke sekeliling kantin.
“Man, ini kenapa sih mereka pada ngeliatin aku? Eh, benerkan mereka liat aku?” tanya Luna yang tidak ingin salah paham.
Manda ikut melihat ke beberapa rekan kerjanya. Mata pegawai lain yang sempat berpapasan dengan dirinya memang, langsung menghindar.
Manda dan Luna duduk di bangku kosong yang ada di sudut ruangan. Sesekali Luna masih melihat ada orang yang melihatnya dengan tatapan aneh.
“Lun, tadi di grup kantor rame banget bahas kamu,” ucap Manda sedikit berbisik.
“Ngebahas aku? Emang aku kenapa?” tanya Luna sambil mengerutkan keningnya.
“Emm ... bener ya tadi pagi kamu pergi sama Pak Dion?” tanya Manda yang juga ingin tahu kebenaran kabar yang beredar sangat kuat di grup pegawai.
“Iya,” jawab Luna santai.
Manda kini yang menjadi kaget. “Katanya perginya pake mobil Pak Dion ya?”
Luna mengangguk sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya. “He em,” jawabnya lagi.
“Hah?! Seriusan kamu, Lun?” ucap Manda yang reaksinya sukses membuat Luna kaget.
“Ish! Pelan dikit kenapa sih. Keselek nih aku jadinya,” protes Luna yang segera mengambil air minumnya.
Luna melihat reaksi berlebihan yang ditunjukkan Manda kepadanya. Dia jadi penasaran, sebenarnya ada apa dengan mantan suaminya itu.
“Emang kenapa sih? Bukannya itu biasa ya?” tanya Luna santai sambil meletakkan lagi gelas minumnya.
Manda menggeleng. “Gak. Ini gak biasa, Lun. Pak Dion gak pernah mengizinkan pegawai lain satu mobil dengan dia. Meski mereka akan pergi ke tujuan yang sama,” terang Manda.
Luna mengerutkan keningnya. “Hah, gimana? Jadi maksudnya, Pak Dion gak mau satu mobil ama orang lain? Ttus ama asistennya itu gimana?”
“Ya kecuali Pak Irwan. Kalo yang lain mah gak akan mungkin. Sekelas direktur pun dia gak akan pernah mau.”
Manda mencondongkan badannya ke arah Luna. “Tau gak, ada gosip yang bilang katanya Pak Dion itu anti sosial. Dia gak mau ada orang lain satu ruangan sama dia di barang pribadinya. Dan katanya lagi, dia gak suka liat orang lain senyum di depan dia, meski orang itu cuma mau nyapa dia doang.”
“What? Apa lagi ini. Dion seaneh itu?” celetuk Luna yang kaget mendengar cerita Manda.
Manda memundurkan badannya dan menatap Luna dengan pandangan serius. “Dion? Kamu panggil Pak Dion pake nama dia doang?”
“Eh maksud aku Pak Dion. Iya Pak Dion,” ucap Luna gelagapan.
“Lun, kamu punya hubungankah sama Pak Dion?” tanya Manda penuh selidik.