Luna sedikit gelagapan mendengar pertanyaan Manda. Dia tidak ingin hubungan masa lalunya dengan Dion akan diketahui oleh orang lain.
Luna kembali makan dan mencoba biasa saja. Dia tidak ingin terlihat gugup, karena pertanyaan itu.
Luna menggeleng. “Hubungan apa? Ya atasan bawahan aja lah. Kayak kamu sama beliau,” jawab Luna yang mulai sedikit sopan saat memanggil Dion.
“Oh gitu. Soalnya tadi kamu manggilnya cuma nama doang. Kirain kamu kenal ama Pak Dion.”
Luna melihat ke arah Manda. “Kalo di Amerika kan udah biasa manggil orang yang lebih tua ato jabatannya lebih tinggi pake nama doang. Masih kebawa kayaknya aku. Tau gak, Sarah aja ngamuk pas aku perlakukan gak kayak senior,” jawab Luna sambil terkekeh demi mencairkan suasana.
“Ya pasti lah. Dia kan gila hormat. Tapi kualitasnya ... hem.” Manda menurunkan jempolnya.
Luna tertawa melihat Manda menilai senior mereka. Kedua wanita itu kembali meneruskan makan siang mereka sebelum jam istirahat selesai.
Manda memberikan peringatan pada Luna kalau mungkin dia akan menjadi pusat julid para rekan kerjanya. Tapi bukan Luna namanya kalau dia peduli dengan hal itu.
Luna yang tidak terbiasa dengan gosip sejak di Amerika, memilih untuk diam saja dan tidak peduli. Selama dia tidak melakukan seperti yang orang-orang itu katakan, semua akan berakhir seperti angin lalu.
Saat Luna mencoba untuk cuek dan tidak peduli dengan tatapan penuh rasa penasaran dari teman-teman kerjanya, di lantai paling atas gedung ini, Dion sedang duduk di kursi kerjanya sambil menatap makan siang yang baru saja dihidangkan oleh sekretarisnya.
Entah mengapa dia tidak selera makan dan malah terus saja dia terbayang tentang Luna. Saat tadi mantan istrinya itu presentasi, dia terus melihat ke arah Luna.
Pesona wanita itu terlihat sangat menonjol. Caranya presentasi dan juga wajah cantiknya membuat dia betah berlama-lama menatap pegawai baru di kantornya itu.
Dion kini malah tanpa sadar tersenyum sendiri, membayangkan wajah cantik Luna yang seperti bebas dari polesan. Seandainya sejak dulu Luna secantik itu, mungkin dia tidak akan menolak perjodohan yang dia anggap sebagai perjanjian konyol sepanjang hidupnya.
“Bos,” panggil Irwan yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Dion kaget melihat asistennya tiba-tiba ada di hadapannya. “Heh! Kenapa kamu di sini? Gak bisa ketuk pintu dulu apa?” sembur Dion.
“Saya tadi udah ketuk pintu, Bos. Tapi gak ada jawaban. Jadi saya masuk aja dan liat Bos malah senyum-senyum sendiri sambil melamun,” jawab Irwan menjelaskan keadaannya.
“Hem. Senyum. Siapa juga yang senyum.” Dion segera menghilangkan senyum itu dan duduk tegak.
“Ada apa?” tanya Dion kembali dengan nada dingin.
“Bu Celia telpon, Bos. Dia min –“
“Bilang aja aku sibuk. Aku gak bisa ke sana sampai waktu yang tidak bisa ditentukan,” ucap Dion memotong laporan Irwan.
“Tapi Bos, kat –“ Suara Irwan terhenti saat dia melihat atasannya itu menaikkan pandangannya dan menatap tajam ke arahnya.
“Baik, Bos. Akan saya sampaikan.”
Irwan melihat ke arah makanan atasannya yang sepertinya belum tersentuh. “Bos, belum di makan?” tanya Irwan.
“Belum laper.” Dion menjawab tanpa melihat, karena matanya sibuk memeriksa berkas yang ada di hadapannya.
“Apa perlu saya ganti? Soalnya ini ke –“
“Irwan, tolong panggilkan Rio.” Lagi-lagi Dion memotong ucapan asisten pribadinya.
“Pak Dion? Sepertinya beliau saat ini tidak ada di tempat, Bos.”
“Ke mana dia? Apa dia pergi sama Luna?”
“Gak, Bos. Hari ini ada pertemuan divisi keuangan dari semua cabang di kantor pusat,” lapor Irwan.
“Oh, pertemuan itu. Trus, kamu udah dapet info apa lagi soal Luna dan Rio?”
Irwan menatap aneh ke arah atasannya. Selama ini atasannya tidak terlalu tertarik dengan kehidupan siapa pun, namun kini seperti ingin tahu tentang kehidupan pegawai baru yang sepertinya sangat menarik perhatian pimpinan perusahaan ini.
“Memangnya apa lagi yang harus saya cari, Bos?” tanya Irwan ingin petunjuk.
“Emm ... cari tahu kenapa mereka bisa pacaran. Maksudnya, sejak kapan mereka pacaran.”
“Akan saya coba cari tahu, Bos. Tapi sebenarnya sejak tadi ada pembicaraan panas tentang Bu Luna di grup kantor, Bos.”
Irwan memang masuk ke dalam grup itu secara diam-diam. Dia tidak menggunakan ponsel yang biasa dia pakai, hanya untuk memantau apa yang sedang terjadi di lantai bawah.
“Apa? Kenapa dia?” tanya Dion dengan sangat antusias.
“Ini berkaitan dengan kejadian tadi pagi, Bos. Saat Bos pergi dengan Bu Luna,” jawab Irwan.
“Emang kenapa?”
“Mereka merasa heran dengan kejadian ini. Karena selama ini mereka mengenal Bos sebagai orang yang tidak akan mau satu mobil dengan pegawai lain. Tampaknya Bu Luna sedang menjadi topik pembahasan panas di sana, Bos. Bahkan ada juga yang mengumpati Bu Luna.”
Seringai licik muncul di bibir Dion. “Bagus. Kalo dia dibenci sama orang satu kantor, dia pasti bakalan segera cabut dari sini. Good! Manusia sombong itu emang perlu dikasih pelajaran,” gumam Dion sambil tersenyum senang.
“Terus awasi apa yang terjadi di bawah. Apa lagi kalo itu soal Luna. Segera laporkan ke saya,” titah Dion pada asisten setianya itu.
“Siap, Bos. Kalau begitu permisi dulu, Bos. Maaf, ini saya bawa. Sudah tidak layak makan,” pamit Irwan sambil membawa makanan milik Dion yang belum dimakan.
Dion tersenyum puas saat dia mendengar laporan kalau saat ini Luna sedang dimusuhi oleh orang satu kantor. Niat Dion memang ingin membuat mantan istrinya itu segera pergi dari perusahaan, tanpa perlu dia yang pecat.
Tentu saja Dion gengsi kalau dia harus melakukan itu pada Luna. Dia pasti akan ditertawakan Luna dan dikatakan tidak profesional.
Hari ini Luna pulang lebih malam dari biasanya. Dia masih sibuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang diberikan Sarah tadi kepadanya. Ini juga belum selesai, tapi dia sudah sangat lelah.
Luna menyuruh Rio tidak ke kosnya hari ini karena dia ingin istirahat. Dia ingin pulang lalu makan dan tidur lebih cepat.
Sebelum pulang, Luna ingin mampir ke supermarket dulu. Dia teringat kalau bahan makanan dan beberapa barang kebutuhan di kosnya belum sempat dia beli.
Luna segera menuju ke pusat perbelanjaan yang tidak begitu jauh dari kantornya. Dia segera pergi ke supermarket untuk membeli barang-barang yang dia butuhkan.
Ternyata, tanpa Luna sadari, di supermarket itu sudah ada Dion yang sedang berbelanja. Pria itu memang senang berbelanja sendiri untuk kebutuhannya di apartemen.
“Luna. Itu Luna kan?” ucap Dion saat dia melihat Luna sedang berdiri di depan rak s**u anak.
“s**u. Dia beli buat siapa s**u anak? Gak mungkin kan dia minum s**u itu.” Dion terus memperhatikan Luna.
Demi memuaskan rasa penasarannya, Dion memutuskan untuk mengikuti Luna. Ternyata bukan hanya s**u anak kecil yang mencurigakan, tapi Luna juga mengambil makanan anak-anak dan kini wanita itu bahkan sedang memilih sandal anak.
“Wah, gak bener ini. Aku harus tau dia beli buat siapa. Awas aja kalo ternyata itu buat –“ Dion urung melanjutkan ucapannya sendiri.
“Gak. Gak mungkin. Mana ada dia hamil. Kan kami gak pernah tidur bareng,” ucap Dion sambil menggelengkan kepalanya, berharap apa yang dia curigai selama ini salah.
Dion memberanikan diri melangkah ke arah Luna. Dia sengaja menabrakkan keranjang belanjanya ke keranjang milik Luna, agar Luna bisa melihat ke arahnya.
“Dion,” ucap Luna sedikit kaget saat melihat Dion di depannya. Dunianya serasa sempit sekali sejak dia bertemu dengan Dion lagi.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Dion sambil mengangkat dagunya.
“Ngapain? Ya belanja lah. Emang kamu liat aku lagi ngapain?” jawab Luna ketus.
“Itu. Buat siapa itu?” tanya Dion sedikit gugup.
Luna kembali menoleh ke arah Dion. Dia melihat pria itu sedang melihat ke arah sandal anak-anak yang sedang ada di tangannya.
“Luna, apa kamu punya anak?” tanya Dion sambil menunjuk ke arah kotak s**u yang ada di dalam keranjang belanja Luna.
“Anak siapa itu, Lun?” tanya Dion dengan nada serius.