“Luna, apa kamu punya anak?” tanya Dion sambil menunjuk ke arah kotak s**u yang ada di dalam keranjang belanja Luna.
“Anak siapa itu, Lun?” tanya Dion dengan nada serius.
“Gak,” jawab Luna yang kemudian segera memilih menghindari Dion, dari pada mood-nya akan berubah semakin buruk karena bertemu Dion.
“Lun, jawab dulu!” Dion kesal saat dia melihat Luna pergi begitu saja meninggalkannya.
Luna tidak peduli dengan panggilan Dion. Dia malah sibuk melihat barang yang dipajang, untuk dia pindahkan ke keranjang.
Dion yang melihat Luna masih sangat santai mengabaikannya bahkan dengan sangat sengaja seperti tidak mendengar panggilannya pun semakin geram. Dua meninggalkan keranjang belanjanya, lalu menyusul Luna yang sejak tadi berjalan di depannya.
“Lun!” panggil Dion dengan nada serius dan mencengkeram lengan wanita itu.
Luna melihat ke arah lengannya lalu segera menggerakkan lengannya berharap tangan Dion akan terlepas. “Apaan sih! Lepas gak?!” ucap Luna dengan nada ancaman.
“Jawab dulu. Apa kamu punya anak?” tanya Dion lagi dengan tatapan sangat serius.
Luna mengentakkan lengannya sedikit keras, hingga tangannya terbebas dari cengkeraman Dion. “Gak. Aku gak punya anak. Minggir!” Luna menabrakkan keranjang belanjanya ke Dion.
“Lun!” Lagi-lagi Dion meraih tangan Luna.
“Apa lagi sih?!” jawab Luna kesal.
“Jangan bohong! Kamu jujur aja. Kamu pikir aku gak tau.”
Luna tertarik dengan ucapan Dion. Dia kemudian melihat Dion dengan tatapan kesal sekaligus penasaran.
“Kamu tau apa? Kamu nyelidikin aku?” tanya Luna balik.
“Gak. Aku c*m –“
“Cuma apa?” Luna mendesis lalu menaikkan sudut bibir kanannya, sedikit menertawakan Dion. “Jangan bilang kamu gak bisa lupain aku? Apa kehadiran aku bikin kamu gak tenang?” ledek Luna.
“Gak usah kepedean kamu! Liat muka kamu aja, aku males.”
“Trus, ngapain kamu gangguin aku terus? Bukannya kamu yang bilang sendiri kalo sebaiknya kita pura-pura gak kenal?”
“Ya itu. Mending kita emang gak usah kenal. Tapi jawab dulu, anak siapa yang sama kamu? Apa itu anak –“
“Anak kamu.” Luna menjawab dengan mata sangat tegas.
“A-anak aku?” d**a Dion seperti di pukul palu godam.
“Kenapa? Katanya kamu tanya, itu anak siapa. Sekarang kenapa kamu takut.”
“Ta-tapi kata kamu waktu itu kita –“
“Ah sudahlah. Gak guna juga ngomong ama kamu. Udah ah, aku capek.” Luna kembali meninggalkan Dion.
Kaki Dion seperti lengket di lantai supermarket saat dia mendengar jawaban Luna. Dia bahkan sampai tidak bisa menggerakkan badannya saat Luna mulai pergi meninggalkannya.
Melihat Luna mulai menghilang ke rak sebelah, Dion memaksa kesadarannya kembali. Dia segera membawa keranjang belanjaannya dan juga mengambil langkah seribu untuk mengejar Luna.
“Lun. Tunggu, Lun,” panggil Dion pelan karena di rak itu sedikit ramai.
Luna tidak menoleh ke belakang, karena dia tahu siapa yang memanggilnya. Dia memilih untuk menyibukkan diri memilih barang belanjaan saja, dari pada dia harus meladeni Dion.
“Lun,” panggil Dion pelan yang berhasil berjalan di belakang Luna. Dion memegang keranjangnya dari depan, agar dia bisa bicara dengan Luna lebih dekat.
“Hem,” jawab Luna santai.
“Lun, jawab yang jelas, dia anak siapa?” tanya Dion yang masih tidak percaya dengan jawaban Lina tadi.
“Emang kamu ngarep jawaban apa sih?” tanya Luna sambil menatap Dion sejenak sebelum dia memasukkan barang ke dalam keranjang belanjanya.
“Aku serius, Lun. Itu anak siapa? Apa itu bener anak kita?”
Luna menatap Dion. Dia melihat ada tatapan yang sangat serius di mata itu.
Tampaknya Dion sangat penasaran dan dia juga sangat mengharapkan jawaban jujurnya.
“Anaknya Mas Bayu,” jawab Luna santai yang kemudian berjalan lagi.
“Mas Bayu?” Dion berpikir sejenak. “Mas Bayu kakak kamu?” tanya Dion lagi.
“He em.”
“Serius itu anak Mas Bayu?”
Lagi-lagi Luna melihat ke arah Dion. “Kamu ini sebenernya ngarepin jawaban apa sih?” kesal Luna.
“Mas Bayu tinggal di sini juga? Kenapa kamu gak tinggal sama Mas Bayu aja. Kenapa malah tinggal di kos biasa?” tanya Dion.
Luna menghentikan langkahnya mendadak sehingga membuat Dion menabrak punggung Luna. Wanita cantik itu segera berbalik dan menatap Dion dengan sangat tajam.
“Kamu nyelidikin aku?” tanya Luna sambil cemberut.
“Enggak. Aku gak nyelidikin kamu kok,” bohong Dion.
Luna melepas napas dalam. “Denger ya Dion. Hubungan kita udah lama selesai. Jadi mending kita gak usah saling cari tau tentang kehidupan kita. Mending kita balik jadi asing lagi aja kayak dulu,” pinta Luna.
“Ok! Siapa juga yang peduli. Aku juga cuma nanya dan kebetulan tahu kok. Aku gak nyari tau soal kamu,” elak Dion.
“Ya udah, mending sekarang kamu pergi. Gak usah sok kenal aku lagi, Pak Dion yang terhormat!” tegas Luna.
Dion menatap Luna sekali lagi. “Tapi itu beneran anak Mas Bayu kan?”
Luna melotot. “Dion! Pergi gak kamu! Pergi sana!”
Luna sudah sangat kesal dengan gangguan yang terus dilakukan Dion kepadanya sepanjang hari. Dia tidak tahu kenapa pria itu mengganggunya, padahal dulu mereka juga jarang berinteraksi.
Dion memilih pergi dari pada dia mendengar teriakan Luna untuk kedua kalinya. Dia melangkah cepat dengan hati yang lebih lega.
Bagaimana tidak lega, apa yang dikatakan Luna dulu benar adanya. Dia memang tidak pernah tidur dengan Luna, sehingga tidak akan mungkin kalau dia akan punya anak dengan wanita yang pernah menjadi istrinya itu.
“Bego banget aku. Kenapa aku bisa mikir kalo itu anak aku. Tidur bareng aja gak pernah,” gumam Dion yang kini bisa melangkah dengan kaki ringan.
Luna yang melihat punggung Dion kian menjauh masih saja mengumpati pria itu. Entah pertumbuhan macam apa yang dilakukan Dion selama ini, sampai dia bertemu lagi dengan Dion yang sangat menyebalkan.
“Kurang ajar banget tu orang. Berani banget dia nyelidikin aku. Awas aja ya kalo dia sampe bikin masalah di hidup aku, aku bakalan bikin perhitungan sama dia!” geram Luna sambil mencengkeram pegangan keranjang belanjanya.
Setelah Dion menghilang, Luna kembali melanjutkan acara belanjanya. Dia membeli buah dan juga roti untuk stok di kamar kosnya.
Luna memang sering memberikan keponakannya itu camilan dan mainan, meski kakak dan kakak iparnya sering memarahinya. Dia bahkan membeli s**u, untuk berjaga saat keponakannya main ke rumah kosnya.
Setelah selesai berbelanja, Luna segera menuju ke kasir. Dia melihat Dion dan Irwan yang entah dari mana munculnya, ada di salah satu kasir. Demi kenyamanan, Luna memilih kasir lainnya.
Dion yang melihat ada Luna di salah satu kasir, hanya melihat saja ke arah wanita itu. Dia menatap Luna dari samping tanpa berkedip.
Luna sesekali menarik rambutnya ke belakang telinga saat dia mengeluarkan barang-barang dari dalam keranjang. Tentu saja itu akan membuat wajah Luna kian terekspos dan dinikmati oleh Dion.
“Sejak kapan dia jadi cantik begitu. Kayaknya dulu dia gak gitu deh,” ucap Dion mengagumi kecantikan Luna.
Dion tersenyum tipis melihat Luna. Dia sepertinya telah larut dalam pesona Luna yang selama hidup bersama tidak pernah dia sadari.
“Pake ini aja,” ucap Dion yang tiba-tiba mengulurkan kartu kreditnya ke kasir yang melayani Luna.
Luna menoleh ke arah Dion. “Apa lagi ini?” tanya Luna datar.
“Gak ada. Cuma mau bayarin kamu aja. Kasihan.”
Luna mengerutkan keningnya, tidak suka dengan ucapan Dion. “Kasihan?”
Dion menyeringai penuh ledekan. “Iya. Kasihan. Kan kamu bulan depan belum tentu bakalan terima gaji apa enggak. Jadi, saya mau bayarin belanjaan kamu.”
“Kampret!” umpat Luna dalam hati.
Luna menganggukkan kepalanya. “Ok! Saya terima!” Secepat kilat Luna mengambil kartu yang ada di tangan Dion.
“Kartu ini akan jadi milik saya, sampai saya terima gaji. Makasih, Pak Dion,” jawab Luna dengan senyum lebar.
Seringai di wajah Dion menghilang dan langsung diganti dengan wajah serius penuh amarah. “Dasar gak tau diri!” gerutu Dion kesal yang kemudian segera pergi meninggalkan Luna.
Luna hanya tertawa melihat Dion yang pergi meninggalkannya begitu saja bersama Irwan. “Anggep aja ini nafkah yang harusnya kamu kasih ke aku dulu. Ok!” ucap Luna pelan.