“Luna. Tumben ke sini?” sapa Indri, istri Bayu saat dia membukakan pintu rumahnya.
“Lagi bete aja, Mbak. Sepi amat, Mas Bayu gak di rumah?” tanya Luna sembari masuk ke dalam rumah.
“Masih mandi. Kamu udah makan?”
“Belum. Laper banget, belum makan,” keluh Luna manja pada kakak iparnya.
“Bersih-bersih dulu sana. Bentar lagi makan bareng.”
“Melvin. Melvin mana ya? Liat ini Onti bawa apaan.” Luna memanggil keponakan kesayangannya yang sedang asyik menonton televisi.
“Onti. Asik Onti dateng lagi,” sorak Melvin yang langsung lari menyambut tante kesayangannya.
Luna langsung mengajak keponakannya kembali ke sofa, tempat tadi Melvin duduk. Dia kemudian membongkar isi belanjaannya, yang tadi dibayari Dion.
“Dari mana kamu?” tanya Bayu yang baru saja keluar dari kamar.
Luna melihat ke arah kakaknya, “Dari kantor,” jawab Luna singkat.
Bayu melihat ke arah jam dinding di rumahnya. “Jam segini baru pulang? Pegawai baru jam segini baru pulang?” tanya Bayu sambil duduk di dekat putranya.
“Enggak kok. Udah dari tadi. Tuh, udah belanja juga.”
“Tapi ini udah hampir jam 8 malam, Lun. Kamu lembur?”
“Dikit. Wajarlah Mas, namanya kan juga masih baru. Belum biasa ngerjain tugasnya. Jadi masih penyesuaian,” bohong Luna.
“Onti, ini buat Melvin semua?” sahut Melvin menginterupsi interogasi papanya.
“Iya dong. Kan Onti beli buat Melvin.”
“Asyik. Mama, Melvin punya jajan banyak,” ucap bocah berusia 6 tahun itu sambil menunjukkan pada mamanya yang ada di dapur.
Melihat keponakannya pergi, Luna pun berpamitan ke kakaknya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Luna akan menginap di rumah kakaknya malam ini.
Bayu sebenarnya sudah menyuruh adik semata wayangnya itu untuk tinggal bersamanya. Tapi kemandirian Luna menolaknya.
Luna memilih tinggal di rumah kos, agar bisa sedikit bebas. Lagi pula, rumah kakaknya jauh dari kantor, yang semakin membuat Luna malas berkutat dengan kemacetan Jakarta setiap hari.
Setelah mandi dan berganti pakaian tidur, Luna segera bergabung di meja makan. Tampaknya makan malam yang disiapkan kakaknya sudah terhidang semua.
“Tumben jam segini baru makan malam. Gak kemalaman nih?” tanya Luna sambil duduk di kursinya.
“Mas Bayu abis ada tamu. Jadi baru bisa makan sekarang,” jawab Indri menjelaskan.
“Tamu siapa, Mas? Orang mau minta kredit lagi kah?” tanya Luna karena kakaknya memang bekerja sebagai kepala bank.
“Gak. Orang nawarin tanah di Bandung.”
“Eh Lun, kamu kerja di Anugrah Persada ya?” tanya Bayu.
“He em.” Luna menjawab dengan deheman saja karena mulutnya penuh makanan.
“Bukannya itu anak perusahaan keluarganya Dion ya?” tanya Bayu ingin memastikan.
Uhuk.
Luna tersedak mendengar nama Dion disebutkan kakaknya. Dia langsung mengambil gelas minumnya dan meneguk isinya sampai tandas.
Tenggorokan Luna terasa sangat panas karena tersedak. Dia tidak menyangka kalau kakaknya akan membahas tentang Dion malam ini. Padahal dia sudah sangat berhati-hati dengan tidak pernah membahas masalah kantor saat bersama dengan kakaknya.
Luna sangat tahu kalau Bayu tidak suka pada Dion. Meski dulu adiknya adalah korban perjanjian konyol orang tuanya dengan keluarga Dion, tapi cara Dion yang cuek dan dingin pada Luna lah yang membuat Bayu marah dan kecewa pada Dion.
“Hati-hati makannya, Lun,” ucap Indri sambil melihat Luna.
Luna mengangguk pelan. “Iya, Mbak. Pedes. Kena cabenya,” jawab Luna beralasan padahal dia suka pedas.
Melihat adiknya sudah kembali tenang, Bayu kembali bertanya. “Atasan kamu bukan Dion kan, Lun?” tanya Bayu langsung pada intinya.
Luna melirik kakaknya sebentar. “Dion, Mas,” jawab Luna pelan.
Luna tidak pandai berbohong. Setiap kali dia berbohong, wajahnya akan terlihat panik dan dia tidak akan berani melihat orang itu. Dan Bayu sangat hafal dengan sikap adiknya itu.
“Dion? Dan kamu masih mau terus kerja di sana?” tanya Bayu lagi dengan suara yang lebih tegas.
Luna menoleh ke arah kakaknya. “Mas, Dion itu atasan Luna. Atasan yang paling atas. Lagian dia juga dikenal jadi atasan yang dingin dan gak suka interaksi lebih dengan bawahannya. Dia arogan dan cuek, Mas,” jawab Luna.
“Nah Luna ini cuma asmen. Cuma asmen baru, Mas. Ya gak mungkin banget lah kalo Dion bakalan nyamperin Luna. Gengsi dia terlalu gede.” Kali ini Luna terpaksa sedikit berbohong, berharap kakaknya tidak tahu.
“Dion tau kamu kerja di sana?” tanya Bayu lagi.
“Tau. Pas hari pertama masuk, dia dateng ke ruang orientasi.”
“Trus dia gimana? Dia ngenalin kamu? Dia gangguin kamu gak? Dia gak bikin masalah kan?”
Kali ini Luna bingung harus menjawabnya. Di memilih memasukkan makanan ke dalam mulutnya, lalu menggeleng, tanpa berani menatap kakaknya.
“He ehm,” jawab Luna sambil menggelengkan kepalanya.
“Beneran enggak?” tanya Bayu yang masih meragukan jawaban adiknya.
“Mas, Luna jangan diinterogasi gitu dong. Kasian, kan dia juga mau makan,” sela Indri yang juga sedang makan sambil menyuapi putranya.
“Ya kan aku cuma mau memastikan aja, Ma. Aku gak mau anak itu bikin masalah lagi ke Luna kayak dulu. Nyebelin banget anak itu. Songong banget!”
“Sekarang makin songong, Mas,” sahut Luna.
“Songong gimana? Dia ngapain kamu?”
“Eh enggak. Bukan ke Luna. Tapi katanya dia tuh gak mau satu mobil ama bawahannya, meski mereka akan pergi ke tujuan yang sama. Trus lagi, katanya dia tuh gak suka senyum. Songong kan itu namanya.” Luna menceritakan apa yang dia dengan dari Manda tentang Dion.
“Emang gak normal dia dari dulu. Aneh emang ayah, kok bisa jodohkan kamu sama orang kayak begitu,” sesal Bayu yang merasa pernah gagal melindungi adiknya, sehingga harus menjadi janda di usia muda.
“Udahlah, gak usah di bahas lagi. Lagian kan ini udah lama banget, yang penting sekarang kamu jauh-jauh aja dari Dion, Lun,” pesan Indri yang lebih lembut dari kakaknya.
“Iya, Mbak.”
“Lagian di kantor kan ada Rio juga kan, Lun?” tanya Indri lagi ingin memastikan.
“Iya. Ruangan dia di seberang ruangan Luna kok. Jadi kami sering ketemu juga.”
“Tuh, udah ada Rio yang bakalan jagain Luna. Gak usah khawatir lah, Mas,” ucap Indri mencoba menenangkan suaminya.
“Kamu udah cerita ke Rio soal kamu dan Dion dulu?”
Luna kembali menggelng. “Belum saatnya, Mas. Lagian belum ada waktu yang enak buat ngebahas itu.”
“Tunggu waktu yang enak. Cepat ato lambat, Rio pasti bakalan tau soal kamu dan Dion. Soalnya kalian semua satu kantor.”
“Iya, Mbak. Ntar bakalan cari waktu yang enak.”
Luna kembali menikmati makanannya. Dia kini bisa sedikit bernapas lega, karena kakaknya tidak lagi menginterogasi dia.
Kemunculan Dion di hidup Luna lagi memang membuat wanita itu sedikit kerepotan. Selain kekhawatiran keluarganya atas sikap Dion yang tidak baik pada Luna, selain itu sikap Dion yang seolah sedang mencari masalah dengan dirinya.
Bayu merasa sedikit tenang saat dia mendengar keterangan adiknya tentang Dion. Apa lagi di sana juga sudah ada Rio, yang pastinya akan menjaga Luna dari gangguan di manusia absurd seperti Dion.
Saat Luna sedang menikmati makan malamnya sambil bercengkerama santai dengan keluarga kakaknya, Dion baru saja tiba di apartemen mewahnya. Dia menyuruh Irwan untuk menata semua barang belanjaannya dan meninggalkan pria itu sendirian.
Dion memilih ingin segera mandi karena badannya terasa pegal dan gerah. Bertemu dengan Luna membuat dia mengeluarkan banyak tenaga dan keringat.
Dion menggosok tubuhnya dengan sabun, di bawah guyuran air hangat yang terjun dari shower. Dia menikmati aroma sabun dan sampo yang sangat menenangkannya itu.
Tiba-tiba saja, wajah Luna melintas begitu saja di kepala Dion. Tanpa sadar, pria itu tersenyum sendiri membayangkan cantiknya Luna versi baru yang dia temui.
“Ish! Apaan sih. Ngapain juga aku mikirin dia. Kurang kerjaan banget!”
Dion segera menggosok kepalanya sedikit lebih kuat, agar bayangan Luna yang masuk tanpa permisi itu bisa segera menghilang. Dia tidak mau terbawa suasana, apa lagi sampai memuji Luna cantik di depan orangnya sendiri. Bisa hancur reputasinya nanti.
Dion keluar dari kamar mandi dan segera mengambil baju ganti di lemarinya. Dia kemudian keluar dari kamar dan segera menuju ke ruang kerja.
Apartemennya sudah sepi, Irwan sudah pergi, kembali ke rumahnya sendiri.
Dion kembali membuka laptopnya yang sudah ditata Irwan di atas meja kerjanya. Asisten pribadi Dion itu sangat tahu apa yang akan dilakukan Dion setelah makan malam. Sambil menunggu makanannya dicerna dengan baik, Dion pasti memilih memeriksa pekerjaannya lagi, atau melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai.
Saat Dion sedang berkonsentrasi mengerjakan pekerjaannya, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Dion melirik ke arah ponselnya dan melihat ada sebuah nama di layar ponselnya.
“Mau ngapain dia malam-malam telpon. Males banget!” geram Dion yang memilih mengabaikan telepon dari Celia.
Tapi bukan Celia namanya kalau tidak menghubungi Dion sampai pria itu menerima panggilannya. Kesal karena ponselnya terus bergetar dan mengganggu konsentrasinya, Dion pun akhirnya menerima panggilan itu.
“Apa!” ucap Dion dengan nada kesal.
“Dion, kamu ke mana aja sih hari ini. Sibuk banget sampe gak mau terima telepon aku,” ucap Celia memanja.
“Aku sibuk. Udah, aku mau kerja lagi!”
“Eh bentar!” cegak Celia.
Dion mendengus kesal. “Apa lagi sih!”
“Dion, besok makan siang bareng ya. Aku mau ajak kamu ke –“
“Aku gak bisa. Besok aku sibuk,” tolak Dion kesal.
“Bentar aja. Aku mau ajak kamu makan doang.”
“Cel, aku tuh ....” ucapan Dion terhenti saat dia melihat ada sesuatu di pinggir rak buku yang tidak sengaja dia tangkap lewat pandangan matanya.
“Dion. Kamu mau ngomong apa? Kamu mau kan be –“
“Gak! Aku sibuk. Aku mau kerja dulu!” Dion langsung memutus sambungan teleponnya dengan Celia.
Dion kembali melihat ke arah kotak besar yang ada di surut ruang kerjanya. Di atas kotak itu tertulis nama Luna.
Iya, itu adalah barang milik Luna yang masih ketinggalan di rumah yang pernah mereka tinggali bersama sebagai suami istri. Karena penasaran, Dion menggeser kursinya ke arah kotak itu berada.
“Isinya apa ya?” tanya Dion pada dirinya sendiri.