Bab 13. Peraturan Dadakan

1288 Kata
Dion mengambil kotak berukuran sedang itu dan membawanya ke atas meja. Dia juga melihat ada satu kotak lagi di belakang kotak itu dan bertuliskan namanya. Tapi tentu saja, Dion lebih tertarik dengan kotak milik Luna. Dia ingin melihat apa saja yang dilakukan wanita itu saat mereka tinggal bersama. Dion membuka kotak itu dan menemukan beberapa kertas dalam satu map. Dia membuka map itu yang ternyata hanya berisi kertas-kertas bahan kuliah Luna dulu. Mata Dion menangkap ada sebuah buku di bawah tumpukan pernak-pernik yang membuatnya penasaran. Tangan panjang Dion pun segera mengambil buku tersebut dan menyingkirkan kotak penyimpan itu. Dion membersihkan debu yang ada di sampul buku itu. Dia kemudian membuka sampul bukunya, yang ternyata ada adalah buku harian Luna. “Buku harian. Jadul banget sih pake nulis buku harian segala,” ucap Dion yang kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya. Dion mulai membaca lembar demi lembar buku harian Luna. Pria itu ingin mengenal Luna, yang belum sempat dia kenal selama ini. “Foto sama siapa ini?” ucap Dion saat dia melihat ada foto di dalam buku itu. “b******k! Ini kan Fajar si ketua BEM. Luna suka sama dia?” Nada suara Dion berubah menjadi kesal. Dion sama sekali tidak menyangka kalau ternyata Luna pernah menyimpan perasaan pada ketua BEM yang kebetulan teman satu kelasnya dulu. Dion bahkan tidak pernah tahu kalau Luna pernah dekat dengan Fajar. Ternyata dia sangat tidak mengenal Luna. Dion kembali membaca buku itu. Setiap lembar yang menceritakan kekaguman Luna pada Fajar, pasti akan mendapat omelan, bahkan malah terkadang umpatan. Dion membanting buku tersebut ke atas meja. “b******k! Bisa-bisanya dia cerita soal orang lain dan gak ada sedikit pun dia cerita soal aku. Emang gak ada yang perlu ditulis gitu soal aku?” “Emang gak bisa ya dia nulis kalo dia dijodohkan sama cowok ganteng dan pujaan kampus. Kenapa semua isinya tentang Fajar si cowok cupu itu. Seleramu emang aneh, Lun. Pantes aja dia juga milih Rio jadi pacarnya!” Dion yang kesal langsung memukul buku itu dan pergi meninggalkan ruang kerjanya. Dia jadi tidak berselera bekerja, karena mood-nya sudah rusak karena buku harian sialan itu. Dion langsung menenggelamkan dirinya di dalam selimut tebal di tempat tidurnya. Dia masih saja memaki Lina dan kisah cinta monyet wanita itu yang baru saja dia ketahui. Ternyata tidur lelap, tidak serta merta membuat Dion melupakan isi buku harian Luna. Mood-nya masih sangat rusak dan dia masih enggan bicara. Seperti biasa, Irwan akan menjemput Dion di apartemennya untuk pergi ke kantor. Perasaan Irwan sudah tidak enak, karena sejak dia datang, wajah bosnya itu sudah di tekuk. “Bos, tadi ada telepon dari Bu Karin, katanya nanti Bos di ajak makan siang ber –“ “Aku sibuk!” jawab Dion langsung sambil melihat ke arah luar jendela mobilnya. Irwan menarik napasnya dalam. “Nanti pukul 3 sore, Pak Hendra meminta Bos datang ke kantor pusat.” “Ubah besok pagi aja.” Irwan menelan ludahnya kasar. “Baik, Bos.” Irwan tidak berani membantah apapun. Keadaan Dion benar-benar tidak tertolong dan pasti akan mengamuk kalau dia membantu. Demi keselamatan hidupnya, Irwan memilih diomeli Hendra dan Karin saja, dari pada dia membuat masalah dengan atasannya. Mobil yang dinaiki Dion berhenti di lampu merah. Sejak tadi, pria yang duduk di jok belakang mobil itu melempar pandangannya keluar jendela. Padahal biasanya Dion akan sibuk dengan iPad-nya saat di mobil. Mata Dion mendadak membulat lebar saat dia melihat ada sosok yang membuat dia marah semalaman ada di depan matanya. Iya, mobil Luna berhenti tepat di samping mobil Dion. Tentu saja Luna tidak bisa melihat Dion di dalam mobilnya, karena kaca mobil Dion terlalu gelap. Tapi Dion bisa melihat Luna dengan sangat jelas dari dalam mobilnya. “Eh, apa-apaan itu. Dia malah ketawa? Dasar manusia gak tau diri! Udah selingkuh, masih aja dia bisa ketawa!” gerutu Dion sambil menatap geram ke arah Luna yang sedang tertawa di dalam mobilnya. “Iya, Bos. Ada apa, Bos? Siapa yang selingkuh?” tanya Irwan yang mendengar atasannya bicara. “Awas kamu ya. Aku bakal bikin perhitungan sama kamu!” berang Dion melihat wajah bahagia Luna. Mendengar atasannya marah, Irwan terdiam dan tidak lagi bicara. Secara tidak sengaja dia menoleh ke samping dan melihat ada Luna di samping mobilnya. “Luna. Ada apa antara Luna dan si bos?” ucap Irwan dalam hati. Tentu saja Irwan curiga. Pria yang sudah 2 tahun melayani Dion ini sama sekali belum pernah memanggil seorang pegawai ke ruangannya tanpa alasan. Apa lagi orang itu sampai di ajak pergi menemui klien penting bersama. Iya, bersama. Suatu kebiasaan yang baru dilihat Irwan saat Luna ada di perusahaan mereka. Mobil Dion berhenti di depan lobi kantor. Irwan segera membuka pintu mobil, agar Dion bisa turun. Pria tampan itu segera masuk begitu saja meninggalkan Irwan yang masih berdiri di depan lobi. Sialnya, lagi-lagi Dion di suguhi dengan senyum Luna. Senyum yang terlihat sangat cerah dan sangat ringan. Sayangnya senyum itu bukan untuk dirinya. Karena saat ini Luna sedang tersenyum bersama Rio yang baru saja keluar dari coffee shop. “Berhenti senyum kayak gitu, Luna! Kamu kayak cewek gampangan!” geram Dion pelan. Dion yang amarahnya makin terbakar pun segera melangkah cepat menuju ke lift. Tentu saja dia akan masuk ke lift khusus dan tidak perlu mengantre seperti pegawai lainnya. Saat Dion sudah di dalam lift, dia melihat ke arah Luna yang berdiri di samping Rio. Ternyata tatapannya bertemu dengan tatapan Luna yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya. Luna melihat mimik wajah dan sorot mata Dion sangat tegas. Terlihat sekali kalau pria itu sedang tidak dalam kondisi hati yang baik. “Dia kenapa sih. Pagi-pagi udah marah-marah gitu. Apa karena kartu kreditnya kemaren?” gumam Luna pelan sambil terus melihat ke arah Dion yang perlahan namun pasti menghilang di balik pintu besi. “Kenapa, Lun? Kartu kredit siapa?” tanya Rio sambil menoleh ke arah Luna karena dia samar-sama mendengar apa yang Luna katakan. “Oh enggak kok. Bukan apa-apa,” jawab Luna, tidak ingi kekasihnya tahu kalau di kemarin bertemu Dion. “Oh, kirain apa. Masuk yuk,” ajak Rio saat dia melihat pintu lift terbuka. Luna dan Rio segera masuk ke dalam ruang besi itu bersama dengan pegawai lainnya. Dia harus segera naik ke ruang kerjanya, karena sebentar lagi briefing pagi di mulai. Seperti biasanya, para jajaran manajemen akan berkumpul di ruang pertemuan di lantai 5, untuk memulai briefing pagi. Luna pergi bersama Manda dan kembali duduk di tengah, bersama para asmen lainnya. Saat sedang asyik mendengarkan briefing, tiba-tiba membawa materi pagi itu menghentikan ucapannya. Tentu saja itu membuat para manajemen yang ada di sana segera melihat ke arah pintu masuk, untuk melihat siapa yang datang. Dion. Lagi-lqgi Dion datang ke ruang briefing. Entah apa yang akan dilakukan oleh CEO perusahaan ini di tempat ini, padahal di sini tidak ada seorang pun dari manajer tingkat atas yang datang. “Pak Dion, mungkin ada yang ingin disampaikan, Pak,” ucap pembawa materi memberikan ruang untuk pimpinan perusahaan. Dion pun segera naik ke atas panggung dan mengambil mik yang disodorkan pemberi materi. Mata pria itu menyapu ke semua peserta yang datang. Tentu saja dia ingin tahu, di mana Luna berada. “Saya sengaja datang ke sini untuk menyampaikan beberapa kabar baru untuk kalian. Yang pertama, asmen baru, akan menjalani masa percobaan selama 3 bulan saja. Kalau selama 3 bulan dan kalian tidak capai target, maka ... bersiaplah untuk keluar dari perusahaan ini. Semua aturan kelulusan percobaan kalian, tetap dengan penilaian yang sama seperti dulu. Asmen lama jika dalam satu tahun tidak menunjukkan peningkatan, maka akan di pindah ke divisi lain atau mungkin akan di pindahkan ke cabang lain.” “Dan peraturan kedua.” Dion menatap tajam ke arah Luna. “Dilarang pacaran dengan rekan satu kantor!” ucap Dion tegas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN