Tatapan Luna dan Dion bertemu. Meski jarak mereka cukup jauh, tapi tetap saja tatapan itu mengandung sinar laser penuh kebencian.
Dua orang yang pernah terpaksa menjalin hubungan itu saling memendam rasa amarah. Dion yang kesal karena merasa di selingkuhi, menarget Luna yang berani menjalin hubungan lagi di perusahaannya.
Luna menggerak-gerakkan bibirnya ke kanan dan ke kiri. Dia tahu kalau Dion melakukan itu semua karena tahu dia dan Rio berkencan.
“Awas kamu ya. Mentang-mentang pimpinan, dia seenaknya aja bikin peraturan kayak gitu!” geram Luna dalam hati.
Setelah memberikan pengumuman dadakan yang membuat para peserta briefing protes bisik-bisik, Dion pun segera pergi meninggalkan ruangan itu. Dia tidak peduli dengan protes yang diberikan karyawannya. Yang penting baginya, Luna tidak boleh terlihat bersama seorang pria di depannya.
“Eh, apa-apaan ini. Pacaran kan urusan pribadi. Selama gak ganggu kerjaan kan gak masalah.”
“Iya, bener. Bahkan kadang pacaran bisa bikin kita makin semangat kerja.”
“Iya. Ini peraturan apaan sih. Kayaknya di tempat lain gak ada yang kayak gini deh.”
“Resiko punya atasan jomblo.”
“Waah ... gimana nih. Gak bisa tebar pesona lagi dong.”
Berbagai suara penolakan peraturan tidak masuk akal Dion mulai terdengar. Mereka mencoba menyuarakan protes mereka, siapa tahu peraturan itu akan ditinjau kembali atau di bahkan akan dicabut.
Luna yang sebenarnya juga ikut dirugikan memilih untuk diam saja. Lagi pula, teman-temannya belum tahu kalau dia berkencan dengan Rio.
“Lun, gimana pendapat kamu soal peraturan baru tadi? Pak Dion kenapa ya, gak biasanya dia kayak gini ke pegawainya,” ucap Manda saat dia dan Luna mulai meninggalkan ruangan briefing.
“Gak tau tuh kenapa. Habis kena kutuk kali dia, bisa-bisanya gak ada angin gak ada hujan kok main ubah peraturan seenaknya. Tapi ya mau gimana lagi, yang pasti sih bakalan kerja ekstra buat kejar target lah. Apa lagi aku masih baru. Kamu masih enak, masih bisa dapet waktu setahun,” jawab Luna mencoba menutupi rasa kesalnya yang membara di dalam d**a.
“Iya sih. Tapi aneh banget ya, sampe ada peraturan gak boleh pacaran segala. Efek jomblo kelamaan kali ya.”
Luna melihat ke arah Manda. “Emang Pak Dion masih jomblo?” tanya Luna ingin tahu.
“Kabarnya sih gitu. Aku denger-denger, katanya udah 2 tahun ini beliau jomblo.”
“Dion jomblo? Trus cewek yang di rumah sakit itu siapa? Cih! Mana ada dia jomblo. Dari jaman kuliah aja dia udah suka banget bikin anak orang ngejerit karena cowok gak jelas itu. Pastinya gengsinya sebagai pimpinan gede banget, dia bakalan malu kalo pacarnya yang sekarang jelek di liat banyak orang. Lagian seleranya kok udah kayak emak-emak gitu. Kotok banget tuh mata!,” gerutu Luna dalam hati.
“Eh, kamu ngelamun apa sih?” tanya Manda sambil menarik tangan Luna untuk di ajak masuk ke dalam lift.
“Eh, maaf.”
Luna segera mengeluarkan ponselnya saat dia di dalam lift. Dia ingin mengabarkan peraturan konyol yang baru saja dicetuskan pimpinan perusahaan pada Rio, yang hari ini tidak ikut briefing.
Luna mengadukan semua kekesalannya. Tapi tentu saja dia, dia lebih mengeluh tentang target tidak masuk akal Dion, yang pasti akan membuatnya kerja ekstra.
Dion yang sudah kembali ke ruang kerjanya, tersenyum senang, setelah dia membuat kehebohan di perusahaannya. Dia masih kesal setengah mati pada Luna yang berani mengkhianatinya saat mereka masih berstatus suami istri.
Dion tidak mungkin menghukum Luna sendiri, karena pasti wanita itu akan melawan. Tapi karena kesalahan Luna, satu perusahaan kena imbasnya.
Tidak profesional memang, tapi Dion tetap ingin menunjukkan sisi arogannya pada Luna.
“Bos, Pak Rahmat sudah menghubungi,” lapor Irwan yang masuk ke ruang kerja Dion.
“Pak Rahmat? Apa katanya?” tanya Dion ingin tahu.
“Beliau terkesan dengan presentasi Bu Luna dan beliau menerima proyek yang ditawarkan kemarin. Beliau jug –“
“Apa? Pak Rahmat terima?” Dion takut salah mendengar.
“Betul, Bos. Pak Rahmat menerima dan meminta menjadwalkan pertemuan berikutnya.”
Dion berpikir sejenak. “Kok bisa ya? Apa yang salah sama aku?” gumam Dion pelan.
“Maaf Bos, maksudnya gimana ya?” tanya Irwan tidak mengerti.
“Gak. Gak papa. Jadwalkan aja lagi dan jangan kasih tau Luna dulu.”
“Baik, Bos. Kalo begitu saya permisi dulu.”
Irwan segera meninggalkan ruang kerja atasannya. Dia membiarkan Dion sendirian di sana, yang terlihat masih sedikit teerheran-heran.
Bagaimana Dion tidak heran. Materi presentasi yang diberikan pada Luna adalah materi presentasi yang dia sampaikan ke klien satu minggu sebelumnya. Dan saat itu, kliennya meminta perbaikan di beberapa sisi.
Dion yang berniat mempermalukan Luna dengan membiarkan Luna presentasi dadakan dengan bahan yang tidak dia revisi sama sekali, kini terpaksa harus merasa senang karena tender bernilai ratusan milyar itu akan dia menangkan. Lewat bantuan Luna pastinya.
Tapi sifat licik dan ingin menghukum Luna masih belum hilang dari hati dan pikiran Dion. Dia tidak ingin mengabarkan ini pada Luna dulu, karena dengan satu tender ini saja, Luna akan langsung dinyatakan lolos masa percobaan.
Dion menyandarkan tubuhnya di sandaran singgasana kerjanya. Dia mengambil tas kerjanya untuk mencari berkas yang kemarin dia bawa ke rumah, tapi belum sempat dia periksa.
“Loh, kok ini ikut di sini,” ucap Dion saat dia melihat buku harian Luna ada di dalam tas kerjanya.
“Irwan pasti yang beresin. Ya udah lah.”
Dion meletakkan kembali tas kerjanya dan segera membuka berkas yang dia ambil tadi. Dion mulai mencoba berkonsentrasi dengan pekerjaannya yang hari ini belum dia sentuh sama sekali.
Tapi ternyata kepala Dion tidak bisa berkonsentrasi. Dia malah tergoda untuk melanjutkan membaca buku harian Luna.
Masih ada beberapa lembar lagi yang belum dia baca tadi malam. Dia melirik ke arah tas kerjanya lalu mendengus kesal.
“Awas aja ya kalo sampe dia nulis yang nyebelin lagi. Bakalan aku pecat kamu hari ini juga!” umpat Dion geram.
Dion menyingkirkan map berkas yang tadi hendak dia baca. Dia segera mengeluarkan buku harian Luna yang sangat menggodanya itu.
Dion menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan mulai membaca buku itu. Tentu saja dia terkadang mengomel saat Luna menuliskan tentang pria lain yang sempat dikagumi Luna, meski di sana tidak pernah satu kali pun wanita itu mengatakan telah berkencan dengan mereka.
Belum berkencan saja Dion sudah marah, apa lagi kalau sampai Luna mengatakan berkencan dengan pria lain kala itu. Entah bagaimana nasib Luna saat ini.
Saat tengah membaca buku itu, tiba-tiba punggung Dion menegak. Tangannya mencengkeram buku itu dengan sangat kencang.
“Apa ini. Kenapa dia sembunyikan ini!” ucap Dion yang sangat geram membaca tulisan Luna.