“Kamu harus jelaskan semua ini, Lun. Kamu harus jelaskan semuanya!”
Dion semakin murka saat dia membaca buku harian Luna sampai akhir. Dia bahkan menemukan sesuatu yang seharusnya tidak di simpan Luna.
Dion memasukkan kembali buku milik Luna itu ke dalam tasnya. Dia menyandarkan kembali punggungnya yang ototnya tegang seketika.
Pria tampan itu memejamkan matanya dan memijat pelipis kanannya yang berdenyut. Dia tidak menyangka kalau Luna menyimpan sesuatu di dalam buku laknat itu.
“Kamu harus jelaskan semua. Kamu harus katakan semuanya, Lun,” gumam Dion pelan sambil mengepalkan tangannya erat.
Saat Dion sedang murka, Luna masih saja berkutat dengan sisa pekerjaannya kemarin. Dia masih belum selesai mengerjakan serangan tugas yang diberikan Sarah kemarin kepadanya.
Pintu ruang kerja Luna terbuka. Seorang wanita dengan wajah masam masuk tanpa permisi dan langsung berdiri di depan meja kerja Luna.
“Mana yang kemaren?” tanya Sarah dengan arogannya.
Lina mengangkat pandangannya sesaat kemudian dia kembali memeriksa berkas di depannya. “Belum selesai,” jawab Luna santai.
“Belum selesai? Kan udah aku bilang kalo hari ini udah harus selesai!” sungut Sarah.
Luna mengangkat dagunya. “Kamu gak busa liat ya. Liat nih. Segini banyak dan harus aku kerjain semua. Yang bener aja. Ini pelanggaran tau!” Luna menepuk dua tumpukan berkas yang sudah selesai dia periksa dan yang belum selesai dia periksa.
“Ya kan itu resiko pegawai baru. Kamu harusnya tau itu.”
“Oh, ato kamu udah kebiasaan ama budaya Amerika yang kerja terlalu santai ya? Kalo mau kerja santai, gak usah kerja di sini!” bentak Sarah sambil melotot.
“Ya gak gitu juga. Tapi kan harusnya punya toleransi dikit. Mana ada orang yang bisa kerjain ini semua. Mana aku belum paham juga, masih ngeraba.”
“Itu bukan urusan aku. Yang pas –“
“Ada apa ini?” tanya Petrus yang tiba-tiba masuk saat mendengar keributan di ruangan Luna.
“Pak Petrus. Ini Pak, saya lagi negur Luna yang kerjanya lambat banget,” ucap Sarah mengadu pada Petrus.
“Kenapa Luna, apa ada masalah?” tanya Petrus.
“Sebenernya gak ada masalah, Pak. Tapi kan saya masih harus adaptasi dan belajar. Masih butuh bimbingan buat kerjain lebih cepet. Masa, saya aja belum genap seminggu di sini udah di kasih kerjaan segini banyak sama Bu Sarah,” jawab Luna balas mengadu.
Petrus melihat ada dua tumpukan map berkas di atas meja Luna. Dia kemudian mengambil salah satu berkas itu dan melihat isinya.
“Loh, ini kan proyek di Jambi. Kok ada di meja Luna. Bukannya saya minta kamu kerjain ya?” ucap Petrus sambil melihat ke Sarah.
“Em, itu ... itu sengaja saya kasih ke Luna biar dia bisa belajar, Pak,” jawab Sarah sedikit gelagapan.
“Belajar gimana? Belum saatnya dia nyusun yang begini.”
“Tapi Pak, kan dia pernah kerja di Amerika. Pasti dia sudah paham.”
“Kok Amerika. Yang kerja di perusahaan sebelah aja pasti belum tentu paham ama konsep kerja perusahaan kita. Apa lagi Luna yang masih baru banget di sini. Kerjakan kerjaan kamu sendiri!”
Petrus melihat ke arah Luna. “Luna, ikut saya,” ucap Petrus yang kemudian segera keluar dari ruang kerja Luna.
“Baik, Pak,” jawab Luna sambil tersenyum senang.
Luna melihat ke arah Sarah. “Kerja yang bener ya. Inget, taun depan nasib kamu di perusahaan di pertaruhkan. Semangat!” ucap Luna sedikit meledek Sarah.
“Awas kamu!” sungut Sarah sambil memasang wajah masam.
Luna segera keluar dari ruang kerjanya dan meninggalkan Sarah di sana sendirian, untuk membereskan pekerjaannya. Saat Sarah akan membawa pergi map berkasnya, ekor matanya menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya.
Ada sebuah pembatas buku yang tergeletak di atas meja. Sarah kembali meletakkan tumpukan map di tangannya dan mengambil pembatas buku itu.
Dia melihat foto yang tercetak di pembatas buku itu. Matanya melotot, saat dia melihat ada foto Luna dan Rio di atas sana.
“Luna. Luna sama Rio. Kok mereka bisa barengan? b******k! Awas kamu ya!”
Sarah semakin geram pada Luna yang dia curigai telah memiliki hubungan pribadi dengan Rio. Kalau Luna dan Rio hanya teman biasa, tidak mungkin Luna akan memasang foto mereka berdua di pembatas buku itu.
“b******k! Jadi selama ini Rio udah boongin aku. Awas kamu ya. Aku bakalan bales kamu!” geram Sarah yang kemudian segera keluar dari ruang kerja Luna sambil membawa berkas miliknya.
Luna sudah duduk di depan Petrus. Pria paruh baya itu menyodorkan sebuah map pada Luna.
“Apa ini, Pak?” tanya Luna.
“Luna, kamu bisa gak ngerjain proyek ini. Proyek ini milik perusahaan Amerika yang akan membangun sekolah di Indonesia. Saya mau kamu yang ngerjain kan pastinya kamu udah tau gimana karakter perusahaan Amerika,” ucap Petrus menjelaskan.
“Oh gitu, Pak. Tapi bukannya ini proyek penting, Pak. Nih, ada tulisannya ‘Important’,” ucap Luna sambil menunjuk ke arah tulisan di sepan map.
“Emang. Tapi kan kamu udah pernah kerja di sana, jadi saya harap kamu bisa bantu dapetin proyek ini.”
“Tapi kalo saya yang kerjain, ini ntar bakal masuk ie poin kinerja saya kan, Pak?”
“Emm .” Petrus berpikir sejenak. “Iya. Gampanglah itu,” jawab Petrus berusaha meyakinkan Luna.
“Ok, saya akan pelajari dulu, Pak. Nanti akan segera saya serahkan ke Bapak konsepnya.”
“Lun, 3 hari ya. Waktu kamu cuma 3 hari.” Petrus mengangkat tiga jari kanannya.
Luna mengangguk. “Siap, Pak. Kalo gitu saya permisi dulu.”
“Oh iya, Lun. Ini rahasia ya. Jangan sampe ada yang tau,” pesan Petrus sebelum Luna keluar.
Luna hanya membalas dengan senyuman dan mengangguk saja. Dia kemudian segera keluar untuk segera memeriksa tugas penting itu.
Tentu saja itu adalah tugas penting. Karena sebenarnya itu adalah tugas titipan dari Dion. Pria penguasa perusahaan itu ingin memberikan Luna pekerjaan berat, agar tidak sempat memikirkan untuk berkencan.
Luna yang paham dengan kinerja perusahaan di Amerika segera mempelajari berkas itu lalu membuat rancangan proyek yang akan dia berikan pada Petrus. Setidaknya, kalau pekerjaan ini lolos, poinnya akan aman.
Luna juga mencoba menghubungi beberapa temannya di Amerika untuk mencari tahu karakter perusahaan yang akan dia lobi. Tentu saja hal ini akan sangat membantu dia, lebih cepat memahami apa yang diinginkan perusahaan pemberi tender.
Saat sedang asyik menyusun konsep presentasi, sebuah pesan masuk ke ponsel Luna. Wanita itu segera melihat ke arah ponselnya dan melihat ada nama Rio di sana.
“Lun, makan siang di mana?” tanya Manda yang mengintip Luna dari pintu.
Luna melihat ke arah teman barunya. “Em, aku mau keluar. Mau ketemu temen aku di luar,” jawab Luna memberi penjelasan. Tentu saja dia tidak akan mengatakan kalau dia akan pergi makan siang bersama kekasihnya.
“Ya udah, kalo gitu aku duluan ya. Aku mau makan di kantin.”
“Bareng yuk. Aku juga mau keluar.”
Luna menyimpan berkasnya di laci lalu menguncinya. Dia menutup laptopnya dan menyambar tas kerjanya.
Dua wanita itu segera keluar dari ruang kerja Luna bersama. Luna menceritakan kejadian di ruang kerjanya tadi pagi yang membuat Sarah malu setengah mati.
“Biar kapok tuh orang. Dari dulu kerjaannya gitu mulu,” ucap Manda yang senang karena Sarah mendapat lawan yang tangguh.
“Bener-bener tuh orang emang. Kok berkuasa bener,” jawab Luna sambil melirik ke arah seberang, di mana Rio baru saja keluar bersama dengan rekan-rekan kerjanya.
“Deket banget sih dia ama cewek-cewek,” gumam Luna saat melihat Rio bercanda bersama rekan kerja wanitanya.
“Eh, gak boleh cemburu. Harus percaya ama Rio. Gak boleh ngerusak hubungan karena cemburu gak jelas,” ucap Luna dalam hati lagi untuk menyadarkan dirinya.
Luna dan Manda berjalan menuju ke lift. Tampak di depan Luna, Dion berjalan ke arahnya bersama dengan Irwan. Entah dari mana pria itu yang pasti dia kini mengarah ke arah Luna.
Dion melihat Luna di depannya. Hatinya yang tadi sudah mulai membaik, kini kembali bergemuruh.
Pria itu juga melihat ada Rio yang masih berada di seberang. Dia sudah bisa membaca, pasti Luna akan pergi bersama dengan Rio.
Dion berjalan lurus sambil menatap Luna. Wajahnya yang sangat serius, membuat Luna sedikit ketakutan.
Dion berdiri tepat di hadapan Luna. Tentu saja itu langsung menarik perhatian semua orang yang ada di sana. Bahkan Manda yang tadi ada di samping Lina pun langsung pergi, karena takut dengan tatapan serius dan dingin Dion.
Luna yang tidak tahu apa lagi yang saat ini akan dilakukan Dion kepadanya hanya bisa berjalan mundur perlahan. Dia melihat ke kanan kiri dan tahu kalau saat ini dia sedang menjadi tontonan banyak orang.
“Mau apa kamu? Gak usah macem-macem kamu,” ancam Luna pelan yang lebih mirip bisikan karena Dion semakin melangkah maju setiap kali dia mundur.
“Apa yang udah kamu sembunyikan dari aku, Luna? Apa yang kamu sembunyikan dari aku selama ini?!” tanya Dion sambil memancarkan sinar mata penuh tuntutan pada Luna.