Bab 6. Presentasi, Jaket, dan Malam yang Panjang

2041 Kata
Pagi ini kantor terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Semua batch baru sibuk mempersiapkan presentasi mini campaign hasil brainstorming semalam. Di meja, laptopku sudah menyala, file presentasi terbuka, dan notes penuh coretan ide menumpuk di sampingnya. Tara duduk di depanku, sibuk menyusun poin-poin di slide terakhir. “Lo yakin bisa presentasi bagian opening, Nay?” tanya Tara sambil mengetik cepat. Aku mengangguk. “Yakin… walaupun jujur, kuping gue udah panas duluan karena bayangin ada dua mentor kita yang menakutkan itu bakalan duduk di depan kita.” Tara cekikikan. “Yaudah, bayangin aja mereka boneka kardus, biar nggak grogi.” “Danbo maksud lo? Cocok sih sama mereka. Kak Daffa, Danbo gambar malaikat. Kalau Kak Raka, Danbo gambar iblis.” Kami berdua pun tertawa pelan membayangkan wajah Daffa dan Raka ditutupi kardus dengan wajah tersenyum dan marah. Sampai akhirnya Tara diam, dan menatapku dengan saksama. “Nay, kayanya Cuma lo deh yang manggil mereka dengan sebutan ‘Kak’. Kaya yang udah akrab banget.” Aku terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Sebenernya... Kak Raka itu kakak kandung gue. Dan... Ya... Gue cukup akrab sama Kak Daffa dan Kak Adit—pegawai satu divisi sama Kak Raka, karena mereka memang sering nongkrong di rumah setiap pulang kerja.” Mata Tara membelalak. “Whoa... Plot twist yang mengejutkan.” Aku tersenyum tipis. “Meskipun gue adik Kak Raka dan deket juga sama temen-temennya, gue gak pakai jalur fast track buat masuk ke kantor ini. Gue tetep ikutin prosedur yang ada, sama kaya kalian.” Tara pun mengangguk paham. “Iya, gue juga denger dari orang yang deket sama salah satu orang dari tim HRD, katanya lo termasuk salah satu pelamar yang nilainya paling tinggi tahun ini. Berarti memang kemampuan lo mumpuni.” Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Sementara itu, Daffa baru saja lewat di belakangku sambil membawa segelas kopi. “Pagi semuanya,” sapanya ringan, tapi tatapannya berhenti beberapa detik di wajahku sebelum dia duduk. “Sudah siap, Nay?” Aku berdeham, mencoba terdengar santai. “Siap, dong,” jawabku, lalu mencondongkan tubuh ke samping, tepat saat Daffa sudah duduk di sebelahku. “Setengah siap,” tambahku berbisik. Dia mengangkat sebelah alis, tersenyum kecil, dan membalas dengan suara pelan. “Setengahnya lagi biar aku yang tutupin.” Aku seketika membeku. Kalimat itu… entah kenapa malah lebih bikin gugup dibandingkan melihat audiens. Dan untungnya, hanya aku yang mendengarnya, karena Tara sudah kembali fokus pada tugasnya, sedangkan Livia dan Iqbal sedang mempersiapkan semua yang diperlukan untuk presentasi. *** Jam presentasi pun tiba. Ruang meeting tang semula sepi, kini sudah sangat penuh oleh seluruh batch baru, beberapa staf senior dan kepala tim dari masing-masing divisi, manager, juga para mentor. Raka terlihat sudah duduk di kursi tengah, dengan tangan terlipat rapi dan tatapan fokus. Sedangkan Daffa duduk di ujung meja dengan laptop terbuka, tapi matanya sesekali berpindah ke arahku. Benar-benar sesekali, dan itu tertangkap basah olehku. Tara memberi isyarat, “Kamu mulai.” Aku berdiri, menatap layar, lalu menarik napas panjang. “Selamat pagi, semua. Perkenalkan, nama saya Nayla, perwakilan dari Tim 1. Hari ini kami akan mempresentasikan campaign bertema Self-Healing Challenge, sebuah program online di mana peserta yang mengikuti diminta membagikan kegiatan self-care mereka selama seminggu penuh.” Setelah pembukaan, Tara pun mulai menjelaskan konsep visual, Iqbal memaparkan data pendukung, dan Livia menambahkan poin-poin penting lainnya. Sampai akhirnya tiba giliranku menjelaskan bagian copywriting. Sumpah, aku benar-benar gugup sampai kedua tanganku gemetaran dan basah oleh keringat. Ditambah lagi aku sempat salah ucap satu kata saat menjelaskan. Aku melirik Daffa. Dia tersenyum tipis sambil menggeleng pelan, seolah sedang menenangkan—atau lebih tepatnya menyuruhku untuk tenang. Dan entah kenapa... itu berhasil membuat aku sedikit lebih percaya diri. Di akhir, Daffa pum memberikan masukan. “Copy-nya sudah cukup kuat, Cuma nanti tambahkan sedikit call-to-action yang lebih personal, ya. Overall, tim ini punya ide yang segar.” Beberapa senior dan ketua tim dari divisi lain pun mengangguk setuju. Dan Raka ikut menambahkan singkat, “Tugasnya selesai tepat waktu, dan itu poin plus.” Setelah mendengar itu, tubuhku mendadak ringan. Beban yang kupikul sejak semalam berhasil dilepas dengan hasil yang memuaskan. Presentasi tim lain pun berlanjut. Aku duduk kembali di kursi paling belakang, menyimak ide-ide briliant dari kelompok lainnya. Sampai akhirnya rasa kantuk mulai menyerang. Mataku benar-benar lengket, seperti ada sesuatu yang berat menggantung di kedua kelopak mata. Mungkin ini efek tidur jam empat pagi. Kepalaku sempat terangguk-angguk beberapa kali ke depan. “Nay…” suara Tara berbisik masih terdengar jelas, tapi sialnya aku sudah tidak kuat untuk membuka mata. Aku baru sadar setelah merasakan sesuatu yang hangat di bahuku. Sedikit bergerak, aku melihat… jaket hitam dengan aroma kopi dan parfum maskulin yang familiar. Daffa. Dia masih duduk di ujung meja. Pandangannya sekilas bertemu dengan mataku, lalu ia mengangguk kecil, seolah bilang lanjut tidur aja sebentar. Aku langsung menunduk, pura-pura membaca notes. Padahal kenyataannya, aku masih berusaha menahan rasa kantuk yang tak kunjung hilang. *** Sore hari, kantor mulai sepi. Presentasi dan diskusi ringan selesai tepat pukul tiga. Lampu-lampu sebagian sudah diredupkan; hanya deret dekat area kreatif yang masih terang. Aku menenteng tas dan map, sempat melipir ke pantry untuk isi ulang botol, lalu kembali ke deretan meja tempat Daffa biasa duduk. Dari jauh, kulihat Daffa berdiri di sisi meja, bersandar ringan pada sandaran kursi. Di hadapannya ada Pak Reza—Content Lead di divisinya—serta Bu Mita dari Community. Mereka membuka beberapa tab di monitor: dashboard insight, kalender konten, dan satu dokumen berjudul “Quarterly Activation—Draft”. “Gue concern di engagement minggu ketiga,” kata Pak Reza, menunjuk grafik. “Reach naik, tapi comment rate turun.” Daffa mengangguk pelan, nada suaranya tenang. “Karena hook-nya terlalu informatif, kurang memancing percakapan. Minggu depan kita sisipin format ‘ini/itu challenge’ dengan CTA yang lebih personal. Contoh: ‘Kalian tim healing dengan ngobrol, atau tim healing dengan diam?’ Suruh mereka jawab satu kata.” Bu Mita nyeletuk, “Kalau digabung sama komunitas, kita bisa bikin satu thread yang wewangian aromaterapi vs kopi pahit buat fokus. Interaktif dan gampang dijawab.” “Bagus,” sahut Daffa. “Nanti gue minta Lidya siapin template story-nya.” “Oke,” jawab Bu Mita. Daffa beralih menatap Iqbal. “Dan... Iqbal, bantu cari tiga data pendukung singkat—no jargon—biar caption-nya punya pijakan.” Aku baru sadar Iqbal berdiri di belakang Daffa sambil pegang notes. “Siap, Pak Daffa. Deadline jam berapa?” “Brief awal malam ini, draf pertama besok jam sebelas. Kita koreksi bareng sebelum makan siang,” jawab Daffa. “Jangan bikin copy terlalu rapi. Biarkan ada jeda, biar kebaca kayak obrolan.” Pak Reza menutup laptopnya. “Oke, jalur udah jelas. Satu lagi, sponsor minta satu aktivasi offline kecil.” “Open mic mini di lobi, Jumat sore,” timpal Daffa cepat. “Low budget, high vibe. Kita live-in juga di t****k. MC-nya?” Daffa melirik ke Bu Mita. “Biar anak komunitas latihan,” katanya. “Gue punya dua nama yang cocok.” “Good. Kita kunci hari ini,” ucap Daffa. “Gue kirim rundown sebelum magrib.” Obrolan mereda. Pak Reza dan Bu Mita bubar ke lift. Iqbal masih di tempat, membolak-balik notes. “Bal,” panggil Daffa lebih pelan, “jangan terlalu kaku ya. Mikir pakai kepala, nulis pakai hati.” Iqbal tertawa kecil. “Kalau pakai hati, nanti jadinya mirip puisi, Pak. Apalagi sambil bayangin gebetan.” “Kalau jadinya puisi, berarti kamu lagi bener,” balas Daffa santai. “Kirim ke saya draft yang jelek dulu. Yang penting tepat waktu.” “Siap.” Iqbal pamit, mengangkat tangan singkat ke arahku ketika kami berpapasan. “Sampai ketemu besok, Sayang—eh, maksudnya sampai besok, Nay.” Aku tersenyum tipis. Jelas sekali Iqbal sedang menggodaku. “Sampai besok, Iqbal.” Daffa yang sepertinya mendengar itu seketika melempar bolpoin ke arah Iqbal, kemudian berkata dengan suara kencang, “gak usah godain cewek! Fokus cari data!” Iqbal tertawa mendengar teguran dari mentornya itu. “Usaha biar dapet pasangan, Pak,” jawabnya sambil melenggang pergi. Begitu Iqbal menghilang di lorong, aku melangkah pelan ke meja Daffa. Jaket hitamnya masih melingkari lenganku seperti selimut darurat. Aromanya—kopi, kayu manis tipis—masih menempel. Aku letakkan jaket itu di sandaran kursinya. “Terima kasih, Kak Daffa,” ucapku setengah bisik. Daffa menoleh. Ada jeda sepersekian detik sebelum senyumnya muncul. “Soal godaan Iqbal barusan... Jangan terlalu dianggap. Laki-laki memang begitu. Sukanya nggodain doang.” “Berarti Kak Daffa juga begitu?” tanyaku. Daffa menggeleng cepat. “Jelas enggak dong.” “Tapi, kan, Kak Daffa juga laki-laki,” sanggahku. “Tapi aku beda, Nay.” Aku terkekeh. “Iya deh, iya.” Aku menatap ujung meja. “Kak, maaf ya soal tadi.” “Tadi... Kenapa?” “Aku gak sengaja ketiduran. Nggak ideal banget kayanya ketiduran di ruang meeting. Jadi merasa bersalah.” “Yang nggak ideal itu memaksakan diri,” balasnya pelan. “Kamu kerja bagus hari ini. Sisanya tinggal tidur cukup.” Aku tersenyum kecil. “Akan diupayakan.” Dia mengangkat alis, separuh menggoda. “Itu janji atau kalimat motivasi poster?” “Aku belum berani janji,” sahutku. “Tapi aku coba.” Daffa tertawa singkat, lalu menunjuk botol minum di tanganku. “Isi air hangat, bukan kopi. Lambungmu belum damai.” “Baik, Pak Ahli Lambung,” balasku menahan tawa. Dia mendekat setengah langkah, suaranya merendah. “Serius, Nay. Kalau pusing atau ngerasa lemes, bilang. Aku ada vitamin di laci.” “Kalau aku minta alasan buat pulang lebih cepat, boleh?” pancingku. “Boleh,” jawabnya tanpa ragu. “Dengan syarat: kamu benar-benar pulang, bukan sibuk nonton sampai jam dua pagi.” Aku menahan senyum. “Siapa yang ngadu soal ini ke Kak Daffa?” “Lingkar mata kamu,” katanya enteng. “Tadi pagi dia lebih jujur dari kamu.” Aku nyaris kehabisan kata. “Terima kasih… untuk jaketnya juga.” “Pakai aja dulu, Nay. Kembaliinnya bisa nanti,” ucapnya santai. Aku menggeleng. “Nanti Kak Raka curiga kalau aku pulang bawa jaket cowok.” Daffa menoleh sebentar ke arah lorong, memastikan sepi. “Kalau Raka nanya, bilang aja kamu pinjam ke Adit.” “Wah, jadi Kak Daffa ngajarin bohong nih?” godaku. “Bukan bohong,” ia mengoreksi, bibirnya terangkat. “Manajemen informasi.” Aku tertawa. “Kedengerannya lebih licin.” “Yang penting hati-hati,” balasnya. “Sama kerjaan… sama perasaan.” Kalimat terakhir itu jatuh pelan tapi rapih mengenai sasaran. Dadaku seperti ikut mengangguk. Aku merapikan tote bag. “Kalau gitu, aku pulang duluan, ya, Kak. Mau istirahat.” “Good,” katanya. “Kirim aku draf copy pertama malam ini… maksimal jam sembilan. Habis itu, off. Deal?” “Deal,” jawabku. “Dan terima kasih… sekali lagi.” Daffa memasukkan tangan ke saku, menatapku sejenak—tatapan yang tidak lama, tapi cukup untuk membuat aku lupa menekan tombol lift. “Aku bakal mastiin kamu gak ingkar janji.” “Sampai besok, Kak Daffa.” “Sampai bertemu nanti, Nayla.” Aku melangkah pergi. Di belakangku, kudengar laci meja terbuka, sesuatu berderit ringan, lalu pesan w******p masuk ke ponselku. [Kak Daffa] Kak Daffa: Air hangat ya, Nay. Bukan kopi atau teh. Aku serius. Aku tersenyum sendiri di depan elevator. Baiklah, Pak Ahli Lambung. Kali ini aku akan menuruti perintahmu. *** Malamnya, seperti biasa, rumah kembali ramai. Aku baru selesai mencuci piring saat mendengar suara motor di depan begitu ribut. “Nay, temen-temen kakakmu datang kayanya,” kata Mama dari ruang tamu. Dan benar saja, Daffa masuk sambil membawa sebungkus martabak, diikuti Adit yang menenteng minuman dingin. “Malam, Tante,” sapa Daffa dengan ramah. “Malam, anak-anak. Nenteng apaan tuh kalian?” Daffa mengangkat kantung plastik putih yang dibawanya. “Aku bawa martabak manis sama martabak asin nih, Tan, biar adil,” katanya sambil tersenyum. “Aku bawa minuman soda sama kopinya, Tan,” tambah Adit menyahuti. “Wah, lengkap banget,” sahut Mama. “Raka ada di kamarnya. Masuk aja gih.” Aku hanya mengangguk kecil untuk menyapa, mencoba terlihat biasa. Tapi saat Daffa lewat di dekatku menuju kamar Raka, dia berbisik, “Besok… jangan sampai aku harus bawa jaket lagi, ya. Aku tunggu tugas kamu malam ini juga.” Dan... Selesai. Lagi-lagi jantungku berdetak cepat dengan tidak aman. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN