Kalau ada penghargaan untuk “orang yang paling gugup join voice chat Discord kantor”, aku mungkin sudah menang tiga kali berturut-turut. Bahkan mungkin layak dapat piala khusus berbentuk headset yang ujungnya terbakar karena terlalu sering overthinking.
Jam baru menunjukkan pukul 19:58, tapi aku sudah duduk di depan laptop sejak magrib. Headset terpasang, notes terbuka, bolpoin standby meski tahu semua catatan nanti akan aku ketik di Google Docs. Teh botol dingin berdiri manis di sebelah mouse. Padahal ini cuma diskusi online, bukan sidang skripsi yang menentukan kelulusan. Tapi sensasinya bahkan melebihi itu.
Satu notifikasi pesan masuk berbunyi. Aku segera membacanya.
[Tara]
Tara: Nay, join sekarang, ya. Yang lain udah pada masuk.
Tara: Ini linknya, ya.
Aku menarik napas panjang. Tarik… buang… tarik lagi… lalu klik link Discord yang baru saja Tara kirimkan.
Tiba-tiba, monitor menampilkan empat avatar kecil yang melayang-layang di sisi kiri layar:
Tara dengan foto kucing gemuknya.
Iqbal dengan foto dirinya berkacamata hitam ala agen rahasia yang terlalu percaya diri.
Livia dengan filter bunga di pipi yang entah kenapa membuat dia mirip idol K-pop.
Dan tentu saja… Daffa. Foto profilnya hanya gitar hitam dan secangkir kopi, tapi tetap saja berhasil membuat jantungku naik level ke mode lari maraton.
Bahkan... lebih cepat.
“Eh, Nayla udah masuk!” suara Tara langsung terdengar nyaring, seperti speaker yang volumenya lupa diturunkan. Telingaku sampai berdenging mendengar teriakannya.
“Selamat datang, Nay,” sapa Iqbal santai.
Aku tersenyum tipis walau aku tahu tidak ada yang bisa melihat hal itu. “Halo semua,” balasku menyapa.
Lalu…
“Halo, Nayla.”
Itu.
Ya... itu suaranya.
Suara Daffa yang begitu ngebass dengan tidak tahu malunya masuk lewat headsetku. Dan entah kenapa, aku merasa itu terlalu dekat, seolah dia duduk di kursi sebelah.
Aku langsung refleks duduk tegak di kursi. Padahal percuma saja melakukan hal itu.
“Udah siap brainstorming?” tanyanya dengan nada santai.
“Siap banget,” jawabku terlalu cepat. Dan seperti biasa, lima detik kemudian aku menyesal, karena nadaku terdengar seperti seorang fans garis keras yang akhirnya bertemu idolanya di meet and greet.
Daffa terdengar terkekeh pelan, sementara tertawa mendengar semangat ’45 dariku.
“Sepertinya Cuma Nayla yang bersemangat malam ini,” kata Livia akhirnya.
“Mungkin karena otak gue masih dingin, efek baru selesai mandi, Li,” balasku ngasal.
Iqbal menyahut. “Ah... Aku juga jadi semangat nih setelah Nayla bergabung.”
Tara cekikikan. “Iqbal kentara banget lagi modusin Naylanya.”
“Iya bener. Tadi di kantor aja nanya-nanya mulu soal Nayla ke gue.” Livia menyahuti.
“Hanya ingin mengenal lebih jauh aja. Sebagai partner satu tim, kan, kita harus saling mengenal supaya semuanya berjalan lancar,” balas Iqbal.
Aku seketika diam mendengar obrolan mereka. Sebelum akhirnya Daffa memotong dengan suaranya yang datar dan terkesan dingin. “Waktu ngobrolnya udah habis, sekarang kita mulai brainstorming-nya.”
Semua langsung diam. Termasuk Iqbal dan Tara. Tidak ada lagi yang berani berbicara. Apalagi aku yang masih cukup terkejut dengan pembahasan tadi.
“Kita akan melanjutkan pembahasan ide yang sebelumnya kita bicarakan,” kata Daffa memulai.
Iqbal langsung mengambil alih, memaparkan ide campaign “Self-Healing Challenge”—program online di mana peserta diminta membagikan kegiatan self-care mereka selama seminggu penuh.
Livia menyahuti, “gue pikir kita juga bisa bikin template di i********: Story. Ada checklist kegiatan harian kayak journaling, minum air putih cukup, atau jalan kaki 15 menit. Lucu kalau ada filternya juga.”
“Kita juga bisa kombinasikan sama konsep self-healing atau finding purpose. Biar nggak Cuma hiburan, tapi juga nyentuh sisi emosional,” tambah Livia.
Aku berusaha fokus mengetik ide-ide itu di Google Docs. Tapi setiap kali Daffa buka suara untuk menambahkan masukan… sumpah, rasanya konsentrasiku saling tarik-tarikan, antara perasaan dan pekerjaan.
Benar-benar sangat tidak nyaman.
“Kalau Nayla yang tulis copy-nya, saya rasa tone-nya bakal lebih nyampe ke target audiens,” kata Daffa tiba-tiba.
Tanganku berhenti di atas keyboard. “Eh... kenapa memangnya?” tanyaku, berusaha terdengar biasa.
“Soalnya aku udah baca tulisan kamu,” jawabnya. “Ringan, tapi kena. Kayak… ngobrol sama temen. Nggak semua orang bisa bikin pembaca merasa diajak ngobrol meskipun hanya lewat tulisan.”
Oke. Jantungku sudah makin tidak kondusif. Aku butuh tombol darurat ‘Mute Daffa’ supaya fokus ini tidak semakin goyah.
Aku langsung mute mic setelah pura-pura batuk. Padahal aslinya butuh waktu lima detik buat jantungku kembali ke mode normal.
'Kak Daffa... kalau kamu terus-terusan begini, kayanya aku bakal kena serangan jantung.'
***
Satu jam pun sudah berlalu. Diskusi pun cukup produktif.
“Oke, jadi... Nayla yang nyusun draft copy. Livia urus desain. Aku riset data pendukung. Dan Tara jadi koordinator biar semua nggak berantakan,” kata Iqbal.
“Kalau ada yang mau sparring ide, langsung chat saya aja, ya. Via w******p. Saya lebih sering online di sana daripada Discord. Nomor saya bisa kalian dapat di grup w******p Arkana Digital Group,” kata Daffa sebelum keluar dari Discord.
“Oke, Pak Daffa,” jawab kami hampir bersamaan.
Begitu meeting selesai, dan room Discord di tutup, tiba-tiba sebuah notifikasi masuk pada layar. Aku segera membukanya.
[+62896-xxxx-xxx]
+62896-xxxx-xxx: Nay, jangan sungkan buat chat aku, ya. Aku siap kapanpun kamu butuh bantuan.
Me: Maaf, ini siapa?
+62896-xxxx-xxx: Daffa.
Mataku refleks membulat sempurna, karena ini adalah pertama kalinya dia mengirim personal chat melalui w******p. Bukan DM i********: seperti biasanya.
‘Kak Daffa... lo bener-bener paling pinter bikin gue baper stadium akhir plus komplikasi,’ gumamku dalam hati.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 22:31 pada jam digital di atas meja belajarku, dan aku masih sibuk rebahan sambil menonton drama korea. Tidak ada rasa kantuk sedikit pun. Yang ada justru aku semakin fokus pada tontonanku karena sedang ada di puncak konflik. Sampai akhirnya notifikasi pesan masuk w******p muncul di layar. Dari… Daffa. Dan sialnya, hal itu justru berhasil membuat fokusku teralihkan.
[Kak Daffa]
Kak Daffa: Lagi apa, Nay?
Me: Lagi nonton Drakor sambil rebahan nih, Kak.
Me: Kak Daffa lagi apa?
Kak Daffa: Besok presentasi kan? Jangan begadang.
Me: Enggak kok, Kak. Rencananya selesai episode ini aku langsung tidur.
Kak Daffa: Gimana lambung kamu sekarang?
Me: Udah enakan, Kak.
Kak Daffa: Udah minum obat lagi?
Me: Udah dong. Kak Daffa tau sendiri, gimana cerewetnya Mama kalau soal minum obat.
Kak Daffa: Wkwkwkwk. Tante Rani memang paling terbaik kalau soal perhatian ke anak-anaknya.
Me: Dibaca... Bawel.
Kak Daffa: Bukan bawel, Nay. Itu tandanya sayang. Aku juga pasti begitu kalau udah sayang sama seseorang.
Me: Duh... beruntung banget kayanya cewek yang dapet perhatian lebih dari Kak Daffa.
Kak Daffa: Iya dong. Termasuk kamu.
Membaca itu aku seketika membeku. Apa-apaan kalimat terakhir itu?!
Siapa yang memberinya izin untuk melempar kata-kata manis di tengah malam begini? Apa dia tidak sadar bahwa hal itu bisa membuat detak jantung meningkat tiga kali lipat?
Sial!!! Daffa benar-benar seperti penyakit untuk wanita sepertiku.
Me: (Mengirim Emoticon Ketawa Malu)
Daffa: Good night, Nay.
Me: Good night, Kak Daffa.
Dan, ironisnya, setelah mendapat pesan seperti itu, aku justru tidak bisa tidur sampai jam empat pagi, memikirkan apa maksud dari kata ‘Termasuk kamu’ yang dikirim oleh Daffa.
***
Paginya... Lingkaran hitam di area sekitar mata terpampang nyata. Bahkan, mataku yang biasa segar, kini begitu sayu. Sudah kusiasati dengan make up yang sedikit tebal pada bagian area mata. Tapi sayangnya... Itu tetap tidak bisa menutupi.
Aku pun pasrah, dan sengaja datang ke kantor lebih awal supaya bisa mengkondisikan mataku sebentar. Raka belum sampai di sana, karena tadi saat aku pergi, dia masih sibuk berbicara di telepon dengan clientnya.
Tapi Daffa... Si tampan itu justru sudah ada di pantry, duduk santai sambil minum kopi dan memainkan ponsel di tangan.
Aku ragu sebentar di depan pintu pantry, menimbang mau masuk atau pura-pura kembali lagi. Tapi suara kursi yang bergeser membuat pilihanku terlambat.
“Nayla?”
Aku menoleh. Daffa sudah berdiri setengah, matanya langsung menyapu wajahku dari atas ke bawah. “Kamu sakit? Maag kamu kambuh lagi?”
Aku menggeleng cepat. “Enggak, Kak. Aku baik-baik aja kok.”
Dia terlihat tidak percaya, bahkan alisnya berkerut tipis. Ia mendekat setengah langkah, menatapku lekat-lekat, “yakin? Muka kamu pucet banget, Nay.”
Aku nyengir kecil, mencoba santai sambil mengambil cangkir di rak dan memasukkan gula beserta teh celupnya. “Cuma kurang tidur aja, Kak. Aku baik-baik aja kok. Beneran.”
“Kurang tidur?” Nada suaranya campuran heran dan terkejut. “Jadi... Semalam kamu lanjut begadang?”
Aku terkekeh kecil. Serba salah. “Iya, Kak. Kebablasan nonton drakor semalem.”
Aku terpaksa berbohong. Karena tidak mungkin aku mengatakan hal yang sebenarnya, bahwa aku tidak bisa tidur karena memikirkan chat dia semalam.
“Ya Tuhan... Nayla. Gimana kalau kamu sakit? Maag kamu aja masih belum sembuh total.”
“Aku baik-baik aja kok, Kak. Kak Daffa gak usah khawatirin aku.”
Dia mendesah keras, tapi tatapannya nggak main-main. “Kalau soal kesehatan badan... Aku gak bisa kalau gak khawatir, Nay.”
Glek. Aku buru-buru menunduk, pura-pura sibuk mengaduk air teh. “Kak Daffa ini… suka bikin orang salah paham aja.”
“Kalau salah pahamnya bisa bikin kamu jaga diri, aku nggak keberatan,” jawabnya, masih dengan nada khawatir. Entah alasannya apa. Yang jelas, saat ini aku jadi salah tingkah karena sikapnya.
Aku melirik sekilas. “Kak Daffa perhatian gini ke semua orang, atau cuma ke… sebagian orang aja?” tanyaku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Sebagian,” jawabnya cepat.
“Sebagian? Kaya ke siapa aja?” Aku mencoba terdengar biasa, padahal jantungku sudah tidak karuan.
Dia mengangkat alis, menatapku lekat-lekat. “Kayak kamu.”
Deg.
Aku tertawa kecil, mencoba memecah ketegangan. “Kak Daffa ini... Bisa banget bikin cewek salting.”
Dia ikut tersenyum meskipun sangat tipis, tapi nadanya serius waktu bicara lagi. “Kalau sebelum presentasi nanti kamu butuh apa-apa—vitamin, air hangat, bahkan alasan buat kabur sebentar karena ngantuk berat—bilang ke aku.”
Aku mengangguk pelan. “Siap, Kak Daffa.”
“Tapi kamu harus janji satu hal.”
“Apa?”
“Tidur yang cukup malam ini.”
Aku pura-pura berpikir. “Kayanya... Aku gak bisa janji kalau itu.”
Daffa menatapku lebih lama, lalu menghela napas. “Bener kata Raka, sulit banget nyuruh kamu nurut.”
Aku tersenyum tipis sambil berjalan keluar pantry. “Coba lebih sering nyuruhnya, mungkin aku bisa nurut.”
Aku bisa merasakan tatapannya mengikutiku sampai pintu pantry tertutup di belakangku. Dan jujur… itu cukup untuk bikin aku salah langkah sekali.
***