Bab 4. Orientasi Hari Pertama dan Tatapan yang Terlalu Lama

1529 Kata
Aku sudah bersiap sejak subuh. Baju sudah disetrika dari malam sebelumnya, bahkan sepatu putih sudah dicuci dan dikeringkan dengan hair dryer karena hujan mendadak kemarin sore. Tote bagku juga sudah kubereskan dua kali—isinya hanya notes, pulpen, dan botol minum, tapi tetap saja aku periksa terus. Takut ada yang tertinggal. Hari ini adalah hari pertama orientasi di Arkana Digital Group. Hari pertama aku menjadi karyawan, meskipun statusnya masih probation. Dan lebih dari itu—hari pertama aku resmi harus bertemu Daffa dan Raka sebagai rekan kerja. Mama mengantarku sampai ke teras, seperti melepas anak TK yang mau pergi untuk mengikuti lomba mewarnai. “Ingat, senyum, jangan terlalu gugup, dan jangan ngomong sambil ngunyah!” katanya sambil merapikan kerah kemejaku. Aku tertawa kecil. “Itu pas zaman SD, Ma. Sekarang aku udah gede.” “Justru itu. Makin gede makin gampang gugup!” “Iya, Ma. Pokoknya doain supaya hari ini semuanya lancar.” Mobil Raka sudah menunggu di depan. Dan di dalamnya, tentu saja, ada Daffa. Aku membuka pintu belakang, dan langsung mencium aroma parfum pria mahal yang familiar. Parfum yang selalu membuatku terbayang-bayang wajah Daffa. “Pagi, Nay,” sapa Daffa dari kursi depan, sambil menoleh sedikit. “Pagi, Kak Daffa,” jawabku, berusaha terdengar tenang. Raka hanya melirikku dari kaca spion. “Udah sarapan belum?” “Udah dong. Kan Mama masak nasi goreng spesial pagi-pagi banget.” “Kok gue gak lihat lu makan?” tanya Raka sambil mengerutkan kening. “Gue makan sebelum Kakak keluar kamar.” Raka menatap penuh selidik. “Lu gak bohong, kan?” Aku menggeleng. “Enggak. Tanya aja sama Mama.” Daffa menatap Raka. “Memangnya kenapa?” “Semalam maag dia kambuh gegara sok-sok-an gak mau makan malem. Alasan diet, padahal penyakitan.” Daffa melirik ke belakang. “Sekarang gimana? Masih gak nyaman lambungnya atau udah mendingan?” Aku mengangguk. “Udah kok. Semuanya aman.” Perjalanan ke kantor pun berlangsung cukup tenang. Raka menyetir dengan konsentrasi tinggi, Daffa sesekali bersenandung pelan mengikuti lagu dari radio mobil. Aku sendiri sibuk memeluk tas di pangkuan, berusaha menenangkan degup jantung yang anehnya lebih cepat dari biasa. Sampai di kantor, kami naik lift bersama. Aku berdiri di antara dua cowok yang paling mungkin bikin hidupku runyam kalau aku salah bersikap. “Lo deg-degan?” tanya Raka pelan saat lift hampir sampai lantai tujuh. Aku meliriknya. “Banget. Tapi pura-pura biasa aja.” Raka mengangguk. “Pura-puranya bagus kok, gak kelihatan kalau lagi pura-pura,” balasnya dengan datar. Sial! Raka benar-benar sedang dalam mode menyebalkan hari ini. "Syukurlah," jawabku. Pintu lift terbuka, Raka mengedikkan dagu menyuruhku keluar dari lift. Sementara Daffa tersenyum tipis sambil bersandar ke dinding lift. "Ruangannya di ujung lorong sana. Lu ke sana aja sendiri. Gue harus siapin materi mentor dulu," kata Raka. Aku menghela napas lega. Setidaknya, untuk beberapa saat aku bebas dari Raka. "Oke." *** Setibanya di lantai tujuh, meja-meja sudah mulai terisi. Banyak wajah baru juga. Ada yang saling menyapa, ada yang terlihat kaku, dan ada juga yang sibuk mematut diri di kaca kecil. “Nayla?” seseorang memanggilku. Pasti dia sudah melihat nametagku lebih dulu. Aku menoleh. Seorang perempuan berhijab dengan name tag bertuliskan ‘Tara’ melambaikan tangan. “Kamu batch baru juga, kan?” “Iya. Kamu juga?” “Iya! Gabung yuk, biar nggak keliatan sendirian.” Kami duduk bersebelahan, dan Tara langsung memulai obrolan panjang soal dia resign dari start-up sebelumnya, tentang motornya yang mogok dua kali minggu ini, dan betapa dia bersumpah nggak mau naik ojek online lagi. Sampai akhirnya, orientasi dimulai tepat pada pukul sembilan. Ada sesi perkenalan, pengenalan struktur organisasi oleh Bu Sari dan Pak Kevin, dan sesi ice breaking yang sedikit terlalu ramai untuk pagi hari. Tapi semua masih bisa kuikuti dengan cukup tenang. Sampai akhirnya mentor internal kami muncul. Raka dan Daffa. Mereka kini berdiri di depan ruangan dengan sangat serius. Raka tampil rapi dan tegas seperti biasa. Sedangkan Daffa dengan kemeja flanel dan gaya santainya. Sesekali Daffa melirik ke arahku, hingga tatapan kami bertabrakan. Dan untuk kesekian kalinya... dia memberiku senyuman tipis yang berhasil membuatku lupa caranya bernapas. “Selamat datang di Arkana Digital Group semuanya,” kata Raka, menatap seluruh ruangan. “Perkenalkan, nama saya Raka Pradipta Hadian dari bagian Product Ops, dan ini rekan saya—“ “Daffa Aldiansyah, sebagai Senior Content Strategist,” lanjut Daffa memperkenalkan diri. Raka menarih sebuah buku yang dibawanya di atas meja, kemudian maju beberapa langkah ke depan. “Saya gak akan bilang proses bekerja di sini akan gampang. Tapi, semua tahu... kita di sini bareng-bareng, jadi selama kalian semua mau belajar, kita akan bantu,” lanjut Raka. Daffa mengangguk dan menyambung, “Jangan pernah takut salah. Takutlah kalau nggak pernah mencoba. Kita semua yang ada di sini pun memulai dari nol. Termasuk saya yang dulu hampir ditolak karena typo di CV.” Beberapa orang tertawa. Aku ikut tersenyum. Karena entah kenapa, gaya Daffa yang selalu terlihat santai itu... bikin gugup. Tara yang duduk di sampingku pun menyikut. “Pak Daffa... Ganteng, ya? Pak Raka juga sama. Aku jadi bingung mau ngejar yang mana?” Aku membulatkan mata. ‘Apa??? Mengejar Daffa??? Jangan harap lo bisa melakukan itu sebelum melangkahi mayat gue, ya, Tara!!!’ aku berteriak dalam hati, namun tersenyum tipis sebagai tanggapan ke Tara. “Ya... bener.” Kami pun sampai di sesi selanjutnya dengan pembagian kelompok untuk tugas mini campaign fiktif. Aku sekelompok dengan Tara, dan dua orang lain yang baru kukenal bernama Iqbal dan Livia. Entah karena takdir memang sangat senang mempermainkan hidupku. Sampai-sampai... Daffalah ternyata yang akan menjadi observer kelompok kami. Pembahasan perkelompok pun dimulai. Semua begitu serius mencatat apa yang dijelaskan oleh mentor kami, dan menuliskan poin-poin penting yang disebutkan. Aku pun mulai menyusun data-data yang diperlukan untuk tugas kelompok kami, dan sesekali juga Daffa memberitahuku apa yang harus dilakukan setelahnya. “Kita ketemu lagi besok buat presentasi, ya,” kata Daffa setelah briefing kelompok. “Diskusi bisa di mulai malam ini, atau kalau mau pakai ruang Discord kantor juga bisa. Biar nanti saya yang fasilitasi.” “Malam ini diskusi online aja, ya,” usul Tara. “Biar semua bisa nyiapin ide dulu.” “Sip,” kata Iqbal. “Saya ingin usul supaya kita angkat isu yang memang deket banget sama anak muda, mungkin kayak quarter life crisis atau self-healing.” Livia mengangguk. “Setuju. Kontennya juga bisa dibikin relatable dan interaktif.” Aku mencatat cepat. “Nanti aku buatin draft skemanya ya, buat kita bahas pas Discord.” Daffa menyimak sambil mengangguk. “Saya bantu mantau dari jauh. Kalau ada yang butuh sparring ide, tinggal mention ke saya langsung.” Semua mengangguk setuju. “Apa ada tambahan lain?” tanya Daffa lagi. Semua saling natap, sebelum akhirnya menggelengkan kepala. “Nggak ada, udah cukup,” kataku. Setelah sesi ditutup, aku pun segera membereskan semua peralatanku dan mampir ke pantry untuk mengambil air. Dan seperti biasa, lagi-lagi semesta sedang bercanda pada hidupku sejak ultimatum Raka semalam Ya... Daffa ada di sana. Sendirian. Dengan gelas kopi di tangan. “Capek, ya?” tanyanya, menoleh padaku. Aku mengangguk sampil senyum tipis. “Sedikit. Nggak nyangka aja bakal langsung dikasih tugas kelompok.” “Kalau aku terlalu padat kasih arahan atau tugas buat kalian, kamu kasih tahu aku ya? Supaya nanti bisa aku sesuaikan sama kapasitas kalian yang memang belum terbiasa bekerja di perusahaan ini.” Aku mengangguk. “Siap, Kak Daffa.” “Gimana lambung kamu? Kambuh lagi gak?” Sambil mengambil segelas air mineral, aku menggeleng. “Enggak kok. Udah baikan. Cuma sedikit pusing aja sama materi tadi. Maklum, baru adaptasi. Tapi... ya, sejauh ini seru.” Dia menoleh lagi. Kali ini lebih lama. “Kamu tahu nggak? Aku seneng loh kamu ada di sini.” Aku membeku sejenak. Sumpah, aku bener-bener lupa caranya bernapas. “Eh... iya? Makasih.” Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Kepalaku benar-benar kosong karena Daffa. “Serius. Aku seneng karena kamu punya cara mikir yang beda dari lainnya. Aku inget banget waktu kamu bantuin file presentasi Raka, padahal kamu sendiri nggak ngerti sistemnya gimana, tapi kamu tetep benerin alurnya. Itu nggak semua orang bisa.” Aku tertawa kecil. Berusaha kembali sadar pada kenyataan. “Itu karena aku takut dimarahin Kak Raka. Kak Daffa tahu sendiri, dia macam singa galak kalau sama aku.” Daffa terkekeh. “Sekarang kamu bahkan punya dua mentor galak. Siap?” Aku mengangkat gelas minumku. “Siap mental. Tapi jangan salahin kalau aku tiba-tiba ngilang pas ada deadline.” “Deal,” katanya sambil tertawa. “Tapi sayangnya... Kamu nggak akan bisa ngilang dari aku, Nay.” Belum sempat aku membalas perkataan Daffa yang tiba-tiba itu, suara Raka terdengar dari pintu pantry. “Nay, udah? Ayo pulang.” Aku menoleh cepat. “Iya, Kak.” Daffa hanya mengangguk ke arahku. “Sampai besok, Nayla. Jangan lupa diskusinya.” Aku mengikuti Raka keluar dari pantry. Dia diam sejenak sebelum akhirnya bertanya pelan. “Ngobrol apa tadi sama Daffa?” Aku meliriknya. “Tugas kelompok. Nggak aneh-aneh kok, santai aja.” Raka tidak menanggapi. Tapi aku tahu, dia sedang merekam setiap gerak-gerikku dan Daffa. Ya... Hari pertama selesai. Dan aku belum bisa memutuskan mana yang lebih melelahkan: orientasi kerja... atau orientasi perasaan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN