Entah kenapa, hari kemarin rasanya berjalan begitu cepat jika Daffa dan Adit tidak datang ke rumah. Aku bahkan bisa bangun lebih pagi dari biasanya, sarapan, lalu mempersiapkan semua hal yang harus kubawa saat interview tahap dua nanti.
Setelah selesai, aku segera keluar kamar dan berlari menuju mobil Raka. Bau cologne standar pria-pria kantoran pun langsung menyapa indra penciumanku. AC dingin, musik tahun 2000-an terdengar mengalun pelan.
Aku taruh map yang berisi CV cetak, portofolio tulisan blog, satu contoh copy iklan tugas kampus, dan flashdisk, di jok belakang. Sementara Raka mulai menyetir tanpa banyak mengobrol setelah memastikan aku duduk di sampingnya dan mengenakan sabuk pengaman.
Setelah lima belas menit perjalanan berlalu, dia tiba-tiba berbicara.
“Lu kalau masuk Arkana Digital Grup, jangan baperan ya. Kerjanya mesti cepet. Dan kalau lelet pasti diomelin sama kepala tim. Tim gue juga banyak lembur.”
“Gue di Content & Community, Kak. Beda divisi kan, sama lo?”
Raka mengangguk. “Beda lantai juga. Tapi kalau ada event internal, ya bareng.”
Aku menatap jendela. Event internal. Bersama-sama seluruh staf, yang artinya ada Daffa juga di sana. Bagaimana kondisi jantungku nanti?
***
Gedung Arkana Digital Grup lumayan modern. Kaca biru, lobby tinggi, tanaman indoor, semua ada di mana-mana. Gedungnya juga sangat besar bagiku yang memiliki kaki pendek. Bahkan, mungkin aku akan sering kewalahan mengejar lift—yang akan menutup—nantinya.
Raka pamit untuk ke meja resepsionis, dan memberi tahu resepsionis kalau aku adalah salah satu dari kandidat interview tahap dua hari ini. Dan dia kembali menghampiriku hanya untuk memberitahuku bahwa dia ada meeting pagi.
“Lu tunggu di lounge kiri. Nanti Daffa jemput,” katanya.
Maaf? Daffa jemput?
Aku duduk. Nahan senyum. Nahan panik. Nahan semua.
Raka yang sempat sedikit curiga langsung mengangkat jari telunjukknya, dan menyentil keningku pelan. “Jangan pernah berpikir buat deketin Daffa, apapun alasannya! Inget kata-kata gue ini!”
Aku merengut. “Apaan sih lo! Gak jelas banget. Siapa juga yang mau deketin temen lo itu.”
Sambil berjalan, Raka tetap menatapku dengan tatapan penuh kecurigaan, sampai akhirnya berbalik menatap ke depan dan berlari mengejar lift yang pintunya hampir menutup.
Tidak lama setelah Raka pergi, Daffa pun muncul. Dengan kemeja biru muda, ID card tergantung, dan senyuman manis dengan lesung pipi yang selalu berhasil membuatku terpana.
Jantungku bahkan sempat berhenti berdetak dalam sepersekian detik saat pria tampan itu sedikit berlari ke arahku.
“Hei,” katanya sambil mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. “Udah siap?” tanyanya lagi.
Meskipun gemetaran, aku tetap menerima uluran tangannya, dan berdiri di sampingnya. “Enggak. Aku gugup banget ini.”
Dia tertawa. “Pantesan tangannya dingin banget.”
Aku terkekeh pelan sambil melepaskan genggaman tangannya. Khawatir tanganku semakin dingin karena sentuhan darinyaq.
Pria itu tiba-tiba merogoh saku kemejanya, lalu memberikan dua bungkus permen kopi padaku. “Kamu butuh gula biar tenang.”
Aku tersenyum. Canggung. “Makasih, Kak Daffa.”
“Ayo kita pergi,” ajaknya.
Aku pun mengangguk, dan berjalan beriringan dengan harapan waktu akan berhenti sejenak supaya aku bisa lebih lama berduaan dengan Daffa.
‘Nay, lo bener-bener udah gila!’ teriakku dalam hati.
***
Interview user ternyata dilakukan secara langsung oleh dua orang. Bu Mita—Head of Community, dan Pak Reza—Content Lead. Dan Daffa... dia duduk di samping Bu Mita sebagai referral observer.
Mereka bertanya tentang hal-hal praktis. Bagaimana aku membangun engagement komunitas kampus, contoh caption IG yang bisa viral tanpa clickbait murahan, respon terhadap komentar nyinyir, dan ide konten interaktif.
Dengan bangganya aku tunjukan kampanye #KomtingCurhat yang dulu aku jalankan di kelompok kelas. Di sana, semua mahasiswa bisa kirim keluhan secara anonim, aku tulis ulang jadi posting lucu + solusi dosen. Dan ternyata mereka suka.
“Suara tulisan kamu ringan, dekat, gampang dicerna, tapi nggak berlebihan. Tulisan kamu juga menarik, dan bisa buat siapapun yang membacanya merasakan apa yang kamu tulis,” kata Bu Mita.
Aku tersenyum malu-malu. “Itu pujian terbaik minggu ini.”
Daffa malah tertawa pelan. Tapi dari sudut matanya aku bisa menangkap sorot mata bangga saat dia melihat ke arahku. Dan jujur saja... itu justru membuatku lebih gugup daripada semua pertanyaan user.
***
“Sebelum pulang, kita makan siang dulu, ya, di kantin? Sekalian nunggu Raka selesai meeting,” ajak Daffa, tepat setelah kami berjalan beberapa langkah menjauh dari ruang interview tahap dua.
Aku melirik jam di tangan kiriku. “Boleh deh.”
Kami berdua pun berjalan bersama dalam diam menuji kantin Arkana Digital Grup yang berada di lantai satu. Sesekali Daffa memang mengajakku berbicara, dan menceritakan beberapa kegiatan di timnya. Namun pikiranku saat ini jelas sedang tidak ada pada tempatnya.
Pikiranku penuh tentang Daffa. Mataku bahkan sibuk merekam setiap gerakan dan senyum manis pria itu. Sementara telingaku, sibu merek suaranya.
Sampai aku tidak sadar, sekarang kami sudah tiba di tempat yang dituju.
Kantin perusahaan ini lumayan ramai. Ada beberapa stand makanan tersaji di sana. Pojok kopi, mie instan, salad bar, juga makanan lain yang jelas sangat menggugah selera wanita hobby makan sepertiku.
“Kamu kalo masuk sini, pasti betah. Banyak banget bahan buat konten,” kata Daffa.
“Memangnya aku bakal diterima di perusahaan ini, Kak?” tanyaku sambil mengangkat alis.
Daffa senyum tipis. “Feeling aku sih iya. Apalagi kamu cukup kompeten di bidang ini.”
Kami duduk. Makan. Ngobrol. Dan akhirnya aku lupa diri. Sampai ada dua karyawan wanita di meja sebelah bisik-bisik sambil melirik ke arah kami.
Aku memang tidak mendengar dengan jelas, tapi kupetik tiga kata yang berhasil tertangkap oleh telingaku: adik Raka, chemistry, dan Daffa tampan.
Bagus. Gosip di kantor ternyata kecepatannya setara kecepatan fiber optic. Dan mungkin ini bisa menguntungkanku saat benar-benar mulai bekerja nanti.
Sampai akhirnya Raka muncul setelah satu jam kami berdua makan dan mengobrol. Dia melihat kami duduk bersama bahkan sejak pertama masuk ke kantin. Tatapannya dua detik ke aku, dua detik ke Daffa, lalu ke nampan makanan kami yang kebetulan sama-sama pesan ayam rica untuk makan siang hari ini.
Dan saat tatapan kami beradu, aku bisa merasakan firewall protektifnya naik berkali-kali lipat.
“Udah selesai interviewnya?” tanya Raka to the point.
“Udah,” jawabku.
“Gimana?”
“Cukup bagus,” sela Daffa.
Raka tidak tersenyum. Wajahnya bahkan datar dan sangat serius. Tidak seperti Raka yang biasanya. “Nanti kabarin hasilnya. Gue anter Nayla balik dulu. Ada rapat lanjutan nanti jam dua.”
Aku dan Daffa saling melirik tanpa sadar. Oke. Barometriku bilang: Raka mode siaga kuning.
***
Setelah sampai di rumah, dan Raka sudah kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaan, aku segera berganti pakaian. Dan tepat saat hendak mwngikat rambutku, satu notifikasi email masuk terdengar.
Itu email ketiga dari Arkana Digital Grup. Dan melihat itu tanganku mendadak gemetaran.
Subject: Conditional Offer – Junior Content & Community
Start (tentatif): 1 September
Aku nutup mulut dengan tangan, lalu melompat di kasur. Membeku. Lalu kembali melompat lagi.
Aku diterima. DITERIMA.
Aku segera mengambil tangkap layar. Mengirimnya ke Dini lebih dulu, lalu ke Mama. Raka otomatis tahu karena Mama langsung meneleponnya untuk memberi kabar
Sedangkan Daffa? Dia tiba-tiba meneleponku melalui DM i********:.
“Selamat ya, Nay!” suaranya cerah, hampir bersemangat seperti dia sudah menanti-nanti hal ini dari lama. “Aku bilang juga apa? Feeling aku memang gak pernah salah.”
Aku masih terengah. “Iya… makasih, Kak Daffa. I mean… makasih banget udah… ya… itu…”
“Aku Cuma merekomendasikan doang kok. Selebihnya memang karena kemampuan kamu yang luar biasa. Kamu yang bikin mereka yakin buat nerima kamu kerja di sini.”
Dan kalimat itu… sumpah, itu benar-benar berhasil membuat aku semakin jatuh cinta sama Daffa.
‘Please, Kak Daffa, bisa nggak sih lo jangan terlalu baik kaya gini? Jiwa gue makin gak sehat kalau terus-terusan begini,’ gerutuku dalam hati.
Aku berdeham pelan, kemudian berkata lagi, “pokoknya makasih banyak, Kak Daffa, atas bantuannya.”
“Iya, Nay, sama-sama. Oh, ya, nanti bakal ada orientasi untuk seluruh karyawan baru. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa bilang sama Raka atau sama aku. Oke?”
Aku mengerutkan kening sejenak sebelum akhirnya menjawab, “oke.”
Setelah berbincang sebentar, Daffa pun berpamitan untuk melanjutkan pekerjaan dan memutuskan panggilan kami.
Aku pun kembali membuka Email dari laptop, dan mencari kebenaran dari apa yang baru saja Daffa katakan.
Dan benar saja. Saat aku mengecek badan Email, di sana juga tertulis akan ada program orientasi karyawan baru selama dua minggu. Semua new hire harus ikut bootcamp internal gabungan lintas divisi.
Aku menggulir sampai ke bawah. Dan di sana aku melihatnya.
Mentor internal batch ini: Raka Pradipta Hadian (Product Ops) & Daffa Aldiansyah (Senior Content Strategist)
Aku menatap layar. Lama. Sangat lama.
Mentor batch. Artinya dua orang yang paling tidak boleh tahu aku sedang jatuh cinta… akan ada di hadapanku setiap hari selama dua minggu dan memperhatikan setiap gerak-gerikku.
Ini gila. Ini benar-benar gila!!!
Aku segera menutup wajah dengan bantal dan berteriak sekencang mungkin. Sampai akhirnya ponselku kembali bergetar, dan notifikasi pesan masuk mengambang di layar.
Aku melirik sejenak, dan membacanya.
[Raka]
Raka: Selamat ya.
Me: Makasih, Kak.
Raka: Gue mau bilang sesuatu sama lu sebagai peringatan pertama.
Aku menahan napas saat membaca pesan dari Raka. Peringatan apa maksudnya?
Me: Apa?
Raka: Mulai dari sekarang… batasi intensitas lu sama Daffa, oke? Kurangi interaksi kalian.. apalagi nanti di kantor.
Skak mat!!
***