Bab 1. Anak Pengangguran dan Cowok yang berhasil bikin Terlalu Nyaman

884 Kata
Kalau ditanya apa pencapaian terbesarku sebulan terakhir, jawabannya Cuma satu: Nggak gila meskipun hampir tiap malam harus dengerin suara temen-temen Raka nyanyi di ruang tamu. Tapi, ada satu suara yang berhasil bikin aku terdiam. Yaitu suara Daffa. Bukan karena suaranya jelek. Justru masalahnya... suaranya terlalu enak. Lembut, agak serak, dan entah kenapa kayak ada racunnya. Racun yang masuk ke telinga, turun ke d**a, dan bikin aku lupa caranya napas. “Hari ini kamu ngelamar kerja lagi, Nay?” suara Mama dari dapur menyadarkanku dari lamunan panjang. Aku mengalihkan fokusku dari layar ponsel yang saat ini sedang menunjukkan foto Daffa yang sedang ku-stalking di sosial medianya. “Iya, Ma. Tadi udah apply tiga. Yang satu malah harus bikin video perkenalan. Kayak mau audisi pencarian bakat aja.” Mama tertawa kecil. “Nggak apa-apa, dicoba aja dulu. Siapa tahu rezekinya di situ.” Rezeki kerjaan. Bukan rezeki jodoh. Tapi ya, Daffa bukan jodohku juga. Mana mungkin. “Nanti aja deh. Nunggu Kak Raka pulang buat nanya-nanya.” Aku melirik jam di ponsel, sudah menunjukkan pukul lima sore. Dan tepat setelah itu suara pagar rumah terbuka terdengar. Disusul suara motor dan tawa-tawa cowok-cowok yang terlalu berisik untuk ukuran hari kerja. “Raka pulang, Ma!” seru Kakakku dari luar, dia mulai masuk ke dalam rumah. Dan seperti biasa, di belakangnya menyusul Adit, dan—tentu saja—Daffa. Si cowok ganteng dan kharismatik yang seketika membuat aku salah tingkah. Si pemilik gitar kesayangan. Si pemilik lesung pipi menyebalkan. Si pemilik senyum yang bikin aku mendadak jadi cewek bodoh di drama-drama Korea. Aku langsung pura-pura fokus ke laptop, meskipun tadi sempat ketiduran di depan spreadsheet lowongan kerja yang belum sempat aku isi, dan sibuk stalking sosial media Daffa. Sumpah. Aku benci jadi cewek yang kayak gini. Tapi siapa juga yang nyuruh Daffa datang ke rumah pakai kemeja lengan digulung dan rambut masih basah bekas hujan gerimis? Aura dia malah makin nambah terang benderang. Seterang lampu stadion sepak bola. “Eh Nayla. Lagi apa? Serius banget,” suara Daffa terdengar dari ruang tengah. Aku menengadah sambil tersenyum. Senyuman yang benar-benar dibuat semanis mungkin. “Lagi nyari loker, nih, Kak Daffa.” “Udah... Nanti aja. Mending gabung sama kita. Gitaran, nyanyi bareng. Udah lama gak denger suara kamu.” MATI. AKU. MATI. Kenapa dia ingat? Kenapa dia ngajak aku? Kenapa... dia manis banget? “Ayo, Nay. Kamu yang pilih lagu,” seru Adit. “Mau nyanyi apa?” tanya Daffa sambil angkat gitarnya. “Biasa dia nyanyinya nyanyi lagu-lagu galau. Cocok sama statusnya sekarang: pengangguran terhormat,” sahut Raka. Semua ketawa. Kecuali aku. Karena Cuma satu hal yang lebih menyakitkan daripada status “nganggur”. Yaitu: Naksir lelaki yang seharusnya tidak boleh disukai. Aku segera menggeleng. “Maaf, ya, Kakak-kakak semua. Aku harus ke kamar. Dini mau nelepon katanya.” Raka segera mengibaskan tangan untuk mengusirku. Sementara Daffa dan Adit mengangguk sambil tersenyum. “Oke.” Tanpa banyak basa-basi, aku segera membawa semua barang bawaanku, dan berlari kecil masuk ke dalam kamar. Yang ada dalam pikiranku saat ini hanya 1: menyembunyikan rona merah di wajahku supaya tidak ada yang menyadarinya. *** Jam kini sudah menunjukkan pukul 8 malam. Aku sudah mulai bosan hanya diam di kamar. Aku pun memberanikan diri untuk keluar kamar juga. Niatnya ambil camilan. Alasan klasik. Padahal aslinya ingin melihat Daffa dari dekat. Sebentar aja. Setengah detik juga cukup. Karena aku yakin, pintu kamar Raka pasti tidak ditutup. Tapi tentu saja semesta tidak membiarkan semuanya berjalan sederhana. Daffa sedang berdiri pas di depan kulkas sedang mengambil air mineral dingin. Hanya sendiri. Dan sekarang... Hanya kami berdua. “Permisi,” gumamku pelan. “Mau ambil apa, Nay?” tanyanya. “Mau nyari yang dingin-dingin,” jawabku beralasan. Tangannya segera menarik pintu kulkas dan... dia ngeluarin teh botol. “Masih suka ini, kan?” katanya sambil nyodorin minuman ke arahku. Aku menatap botol itu seperti baru melihat harta karun. Padahal aku cukup terkejut dengan sikap Daffa padaku. Sejak kapan dia tahu? Sejak kapan dia ingat hal sederhana ini? “Eh… iya. Makasih,” jawabku cepat-cepat. Mata kami sempat bertemu. Cuma sebentar. Tapi cukup untuk membuat aku ingin berlari balik ke kamar saat itu juga, menangis, lalu nulis puisi di notes HP. Bukam karena apa. Tapi... Karena aku yakin saat ini kedua pipiku sudah merah merona, dan Daffa melihatnya. Daffa kembali mengambil gitarnya lagi, tapi sebelum dia balik ke kamar Raka, dia berbalik dan menatapku. “Kalau nanti kamu udah kerja... Kamu gak boleh nolak lagi buat kumpul bareng sama kita.” Aku menatapnya heran. “Dari mana Kak Daffa tahu aku ngelamar di perusahaan tempat kalian kerja?” Dia tersenyum. Santai banget. “Dari Raka. Dia cerita. Aku juga yang bantu masukin CV kamu ke HR.” OKE. TUSUK AJA SEKALIAN, DAFFA. TUSUK HATI AKU SAMPAI AKU BENAR-BENAR JATUH KEPELUKANMU. Sungguh, aku tidak tahu harus senang, panik, atau malu. Tapi yang jelas, sekarang aku tahu satu hal pasti: Dia tahu. Dia bantu aku. Dan dia—kenapa dia segitunya? Daffa jalan ke kamar Raka dan mulai main gitar lagi. Tapi sebelum, benar-benar mulai memetik gitar, dia kembali menatap aku dari kejauhan dan berkata: “Oh ya. Good luck ya, Nay. Aku tunggu di kantor.” Gitar pun berbunyi. Suaranya mengalun. Dan aku berdiri di depan kulkas, masih memegang teh botol dingin, dengan hati yang sekarang mendidih. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN