“Kamu suka Daffa, ya?”
Pertanyaan itu jatuh seperti bola bowling di tengah kamarku yang sunyi. Berat. Dan keras. Dan bikin napas tertahan.
Aku seketika membeku. Laptop di pangkuanku bahkan masih menampilkan lowongan kerja yang entah sudah ke berapa kali aku lihat dan aku scroll hari ini, tapi kini semua hurufnya kabur karena degup jantungku mulai tak beraturan. Seperti sedang tertangkap basah sedang melakukan sesuatu.
“Lo ngomong apa sih, Kak?” Aku berusaha tertawa, tapi hasilnya malah mirip suara tenggorokan yang kehabisan air.
Raka berdiri bersandar di pintu kamarku yang terbuka, tangan bersedekap, alis terangkat, menatap sambil menelisik setiap garis wajahku.
“Gue cuma nanya kok. Kenapa reaksi lu begitu?”
Aku menggeleng cepat. “Enggak. Gila aja. Masa gue suka sama temen lo.”
“Justru itu masalahnya.” Suara Raka jadi datar. Serius.
Aku menelan ludah. Kenapa malam ini rasanya panas sekali?
Raka menatapku lama, sebelum akhirnya berkata,
“Kalau lu sampai beneran suka sama Daffa... Gue bakal larang dia ke rumah ini lagi. Dan jangan harap bisa ketemu dia lagi.”
Lalu pintu tertutup.
Dan aku baru menyadari, dadaku benar-benar sesak.
Bukan karena dituduh. Tapi karena... mungkin, Raka benar.
Mungkin aku memang jatuh cinta sama Daffa. Dan itu artinya... aku dalam masalah besar.
***