Steven berdiri di depan kaca kantor tempat ia tadi menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dengan klien lama dari Prancis. Tapi pikirannya tak sepenuhnya tertuju pada pekerjaan. Kotak bekal di atas mejanya masih utuh—ia hanya menyentuh sedikit isi makanannya. Bukan karena tak enak, tapi karena pikirannya sudah dipenuhi strategi lain, rencana-rencana gelap yang semakin hari semakin tertata rapi di kepalanya.
Ia menghela napas, lalu menyandarkan tubuh ke sofa empuk di ruang tunggu kecil. Tangannya menggenggam ponsel, namun layar ponsel hanya berfungsi sebagai topeng agar orang-orang mengira dia sedang sibuk. Sebenarnya, ia sedang berpikir keras—berpikir tentang Clara.
Tentang rumah tangga adiknya.
Tentang bagaimana cara ia bisa menyusup dan meruntuhkannya dari dalam.
Sudah beberapa hari ia menginap di rumah Vernon dan Clara, dan selama itu pula ia mengamati. Menghitung. Menggali. Tapi sialnya, sejauh ini, rumah tangga mereka tampak… sempurna. Terlalu sempurna bahkan.
Clara adalah istri yang sabar, perhatian, dan penuh kelembutan. Vernon pun tampak seperti suami ideal—pulang tepat waktu, selalu menanyakan kabar Clara, tak pernah terdengar meninggikan suara, bahkan saat Clara tak sengaja menumpahkan kopi pagi hari.
Steven mengepalkan tangan di atas pahanya. Kesempurnaan itu justru membuatnya geram.
Tidak mungkin tidak ada celah.
Tidak mungkin dua manusia bisa sebegitu mulusnya hidup bersama tanpa celah, tanpa retakan kecil yang bisa ia bidik lalu lebarkan. Ia hanya perlu satu—satu celah yang cukup lemah untuk ia eksploitasi. Tapi sampai detik ini, semua masih rapat. Terlalu rapat.
Setibanya di rumah sore harinya, ia disambut Clara yang sedang menata bunga di vas meja ruang tamu. Clara mengenakan dress sederhana, rambut dikuncir tinggi, wajahnya tampak tenang. Ketika menoleh dan menyadari Steven datang, senyum itu hadir di wajahnya—senyum sopan khas seorang istri terhadap iparnya.
“Mas udah pulang?”
Steven hanya mengangguk. “Kamu sendirian?”
“Vernon masih di kantor. Tadi katanya ada meeting tambahan.”
Ah, akhirnya. Satu hal kecil, mungkin.
“Dia sering pulang telat?” tanya Steven santai sambil melepas jasnya dan menggantung di sandaran kursi.
“Kadang. Tapi biasanya kasih kabar dulu.”
Steven menaruh tas kerjanya lalu duduk. Ia menatap bunga-bunga yang sedang dirangkai Clara.
“Kamu nggak pernah curiga? Siapa tahu dia nggak betul-betul di kantor,” Steven menembak, walau dengan nada selintas.
Clara tersenyum kecil. “Mas Steven bercanda?”
Steven mengangkat bahu. “Nggak juga. Aku cuma tanya.”
Clara tertawa ringan, tapi Steven tahu, tawa itu sekadar membela diri. “Mas tahu sendiri kan, Vernon bukan tipe seperti itu. Dia bahkan bawa pulang pekerjaan ke rumah kalau perlu.”
“Bukan berarti dia sempurna,” gumam Steven sambil membuka kancing atas kemejanya. “Kadang, kesetiaan itu cuma ilusi. Kita percaya karena kita mau percaya.”
Clara tidak menanggapi. Ia menyelesaikan rangkaian bunga, lalu bangkit dan berkata pelan, “Saya ke dapur dulu ya, Mas.”
Steven menatap punggung Clara yang menjauh. Sekali lagi, gagal. Wanita itu terlalu percaya pada Vernon.
Malamnya, saat makan malam bersama, Steven kembali mencoba menyerang. Vernon baru pulang sekitar pukul delapan malam, dan Clara menyambutnya dengan senyum hangat. Mereka makan bersama di ruang makan seperti biasa.
Steven sengaja membuka obrolan dengan nada santai.
“Ver, kamu nggak capek kerja terus? Bahkan malam begini masih pulang telat.”
Vernon mengunyah pelan, lalu menatap Steven. “Capek, Mas. Tapi ya mau gimana. Tanggung jawab.”
Steven menoleh ke arah Clara. “Clara nggak pernah ngeluh ditinggal terus?”
Clara hanya tersenyum sambil menyendok sayur. “Enggak, Mas. Aku ngerti Mas Vernon kerja keras buat masa depan kami juga.”
Vernon menoleh ke Clara dan menepuk punggung tangan istrinya pelan. “Makasih, ya, Sayang.”
Steven menatap keduanya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa... iri. Iri yang bukan sekadar rasa dengki biasa, tapi hasrat jahat yang bercampur dengan obsesi. Rumah tangga itu—yang seharusnya milik Vernon—seharusnya bisa ia hancurkan, kalau saja ada celah. Tapi saat ini, tidak ada.
Tapi ia belum menyerah.
Setelah makan malam, Steven duduk di ruang tengah dengan laptop di pangkuannya, pura-pura bekerja. Tapi diam-diam ia mengarahkan pandangannya ke Clara yang sedang mencuci piring di dapur. Ia mengamati gerakan pelan wanita itu, bagaimana cara tubuhnya bergerak, bagaimana rambutnya yang lembap menempel di tengkuk. Bahkan ketika Clara sekadar berdiri di balik meja dapur, bagi Steven, itu adalah pemicu hasrat yang tak bisa ia kendalikan.
Ia tidak peduli betapa rumah tangga itu tampak utuh.
Ia tidak peduli betapa Clara berusaha menjaga batas.
Karena yang ia tahu: semua bangunan yang tampak sempurna... pasti menyembunyikan retakan.
Dan ia akan terus mencari, menunggu, menyusup seperti ular di bawah rerimbunan dedaunan.
Diam-diam.
Hingga satu kesalahan itu muncul.
Dan saat itu terjadi… rumah tangga Vernon akan runtuh, dan Clara akan jatuh. Tepat ke pelukannya.
***
Malam itu bulan menggantung redup di langit, tertutup sebagian awan tipis yang membuat cahayanya remang, samar. Udara sejuk menyelimuti rumah besar milik Vernon dan Clara. Di dalam kamar, lampu sudah dimatikan, dan Vernon tampak lelap dalam tidurnya, nyaris tak bergerak. Napasnya terdengar lembut dan teratur, sesekali disertai dengkuran pelan. Namun di sisi ranjang, Clara tidak tidur.
Matanya terus terbuka. Pikirannya tidak bisa diam.
Ia bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tak membangunkan suaminya. Langkahnya ringan, pelan-pelan menuju pintu kamar. Begitu keluar, Clara menarik cardigan tipisnya dari sandaran kursi dekat meja rias, lalu berjalan menyusuri lorong sunyi rumah mereka, menuju halaman belakang.
Steven yang baru selesai mandi dan hendak menuju dapur untuk mengambil air minum, sempat tertegun ketika melihat sosok Clara dari lantai atas. Wanita itu melangkah diam-diam ke arah taman belakang. Lampu taman otomatis menyala saat sensor gerak menangkap langkahnya. Cahaya kuning hangat menyinari punggung Clara, menimbulkan siluet anggun yang langsung membetot perhatian Steven.
Ia memperhatikan dalam diam, dari balik pegangan tangga.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena takut, tapi karena penasaran. Apa yang dilakukan Clara malam-malam begini? Kenapa ia keluar rumah, menyelinap seolah Vernon tidak tahu? Apa ada sesuatu yang disembunyikannya?
Steven menunggu beberapa saat, lalu perlahan menuruni tangga. Langkahnya senyap. Ia tidak ingin Clara sadar bahwa ia mengikutinya. Dari balik tirai jendela ruang makan yang menghadap ke taman, ia mengintip.
Clara duduk di bangku kayu panjang yang biasa digunakan Vernon untuk bersantai di pagi hari. Ia menunduk, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan. Pandangannya kosong menatap rerumputan yang tampak gelap di bawah sinar malam. Angin meniup pelan ujung rambutnya yang tergerai. Cardigan tipis di tubuhnya tak mampu menutupi kegelisahan yang jelas terlihat dari cara bahunya sedikit bergetar.
Steven menyipitkan mata. Ia memutar otaknya, mencoba menebak. Apakah Clara bertengkar dengan Vernon? Tapi sepanjang hari tadi, mereka terlihat baik-baik saja. Apakah wanita itu menyimpan sesuatu yang tak dikatakan?
Clara mengambil napas panjang. Ia memejamkan mata sesaat, lalu membuka perlahan. Bibirnya bergerak, tapi tidak bersuara. Steven tidak bisa mendengar apa-apa, tapi ia tahu Clara sedang berbicara kepada dirinya sendiri. Seolah melampiaskan unek-unek yang tidak bisa ia sampaikan pada siapa pun.
Beberapa menit berlalu.
Clara masih di situ, dan Steven tidak tahan hanya mengamati dari jauh. Ia membuka pintu belakang perlahan, suara engsel pintu yang berdecit membuat Clara refleks menoleh.
“Mas Steven?” tanya Clara pelan, kaget sekaligus panik. Ia segera berdiri.
Steven tersenyum lembut. “Maaf, aku nggak bermaksud mengejutkan kamu.”
Clara mengangguk gugup. “Saya cuma… keluar sebentar. Nggak bisa tidur.”
“Aku juga nggak bisa tidur,” jawab Steven mendekat. “Lihat kamu di taman, jadi ikut keluar. Kamu sering begini?”
Clara menggeleng. “Enggak. Cuma… akhir-akhir ini, pikiran saya agak penuh.”
Steven berdiri beberapa langkah dari Clara. Ia tak ingin terlalu dekat. Setidaknya untuk saat ini.
“Kamu kelihatan lelah beberapa hari ini,” katanya. “Apa ada yang mengganggu?”
Clara tersenyum tipis. “Enggak, Mas. Hanya... pikiran-pikiran kecil yang kadang datang tanpa alasan.”
Steven menatap langit, lalu ke arah pohon kamboja yang tumbuh tak jauh dari bangku taman.
“Kamu tahu, Clara… aku sering begadang waktu di Prancis. Duduk seperti ini, diam, dan mikir hal-hal yang aneh. Hidup, masa lalu, masa depan. Kadang nggak ada jawabannya, tapi entah kenapa tetap aja pengen dipikirin.”
Clara mendengar, namun tidak menanggapi. Ia merasa tidak nyaman sendirian di taman malam-malam begini bersama kakak iparnya. Namun ia juga tahu, kalau ia buru-buru pergi, Steven mungkin akan curiga atau bahkan menyinggungnya.
“Kalau kamu butuh teman bicara, aku ada di sini,” ucap Steven lembut.
Clara menunduk. “Terima kasih, Mas. Tapi saya baik-baik saja.”
Steven mengangguk. Tapi dalam hati, ia tidak percaya.
Wanita itu menyimpan sesuatu.
Ia bisa melihatnya dari mata Clara—ada kabut yang tak bisa disembunyikan, ada luka yang entah dari mana datangnya. Mungkin bukan luka besar, tapi cukup untuk dijadikan titik lemah.
“Udah malam. Kamu harus istirahat,” kata Steven akhirnya. “Kalau nggak, besok kamu makin capek.”
Clara mengangguk pelan, lalu melangkah menjauh. Ia tak berkata apa-apa lagi, hanya menunduk dan masuk kembali ke dalam rumah. Steven menatap punggungnya sampai menghilang di balik pintu.
Lalu ia kembali duduk di bangku taman. Menghirup udara dalam-dalam.
Akhirnya.
Celah itu muncul.
Ia belum tahu pasti bentuknya, tapi ia yakin—Clara menyimpan sesuatu. Kegelisahan. Rasa bersalah. Atau keraguan. Apapun itu, Steven akan menemukannya. Ia akan menggalinya perlahan, dengan kesabaran dan ketekunan.
Karena ketika wanita mulai termenung di malam hari, sendirian, itu berarti ada bagian dari hatinya yang rapuh. Dan di situlah Steven akan masuk, sedikit demi sedikit, sampai Clara tak lagi bisa menolak kehadirannya.
Dan malam ini, permainan baru saja dimulai.