Chapter 07

594 Kata
Pagi itu matahari sudah naik cukup tinggi ketika Steven muncul di ruang makan dengan pakaian yang berbeda dari biasanya. Jas abu-abu muda membalut tubuh tegapnya, dasi berwarna biru tua terikat rapi di kerah kemeja putih bersih. Ia terlihat profesional, seperti eksekutif muda yang hendak menghadiri rapat penting. Vernon belum tampak turun, sementara Clara masih berada di dapur, merapikan sisa sarapan yang tadi baru selesai mereka nikmati. Langkah Steven mantap masuk ke dapur. Clara yang sedang membasuh piring tertegun sejenak ketika mendengar suara langkah itu. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Getaran tubuhnya sudah cukup menjadi penanda. “Clara,” sapa Steven lembut namun mantap. Clara menoleh pelan. “Iya, Mas?” “Aku hari ini mau ke kantor temen. Ada urusan bisnis yang perlu aku tangani.” Clara mengangguk pelan, kembali fokus mencuci piring, berharap pembicaraan selesai di situ. Tapi tidak. “Aku kepikiran,” lanjut Steven sambil menyandarkan diri di meja, memperhatikan gerakan Clara yang sangat berusaha tak menatapnya, “Apa kamu bisa bantu siapkan bekal untuk aku?” Clara berhenti menggosok piring. Ia terdiam sejenak. “Bekal, Mas?” tanyanya pelan, tanpa menoleh. “Iya. Aku suka masakan kamu. Daripada jajan di luar, aku pikir... lebih enak bawa bekal dari rumah.” Clara menunduk, wajahnya menegang. Ia tidak ingin menyiapkan bekal untuk lelaki itu. Bukan karena malas atau tak ingin bersikap baik, tapi karena ia tahu—ini bukan sekadar permintaan biasa. Ada makna lain yang tersembunyi di balik tatapan Steven, di balik nada suaranya yang terlalu lembut untuk ukuran seorang kakak ipar. “Kalau kamu nggak keberatan, tentu saja,” tambah Steven, suaranya seperti menyiratkan tantangan. Clara ingin sekali menjawab bahwa ia keberatan. Tapi ia tahu, menolak akan menimbulkan masalah dengan Vernon, apalagi setelah semalam suaminya begitu tersinggung hanya karena ia bertanya soal kepergian Steven dari rumah. Dengan berat hati, Clara mengangguk kecil. “Baik, Mas.” Steven tersenyum. Kemenangan kecil yang ia nikmati dalam diam. “Aku tunggu di ruang tamu, ya,” katanya sebelum berbalik pergi, meninggalkan Clara yang berdiri menatap cucian piring tanpa bergerak. Setengah jam kemudian, Clara menata nasi, tumis sayur, dan ayam kecap ke dalam kotak bekal berlapis stainless. Ia menambahkan irisan buah dan sebotol kecil infused water—semuanya dengan tangan yang terasa dingin. Hatinya enggan. Tapi tubuhnya tetap bekerja. Karena begitulah cara dia menjaga wajah keluarga, menjaga keutuhan rumah tangga, meski dalam dadanya perasaan tidak nyaman semakin tumbuh liar. Saat ia keluar membawa kotak bekal itu, Steven sudah duduk santai di sofa ruang tamu, memainkan ponsel. “Ini, Mas,” katanya singkat, menyerahkan bekal itu tanpa berani menatap langsung ke matanya. Steven menerimanya, menyentuh jari Clara secara sengaja. Sentuhan itu terlalu lama untuk dianggap tak sengaja. “Terima kasih banyak, Clara,” ucapnya pelan. “Aku senang kamu mau menyiapkan ini untuk aku.” Clara menarik tangannya cepat-cepat. Ia menunduk. “Saya permisi.” Ia hendak berbalik ke dapur, namun Steven menambahkan kalimat lain, sengaja menyeretnya lebih dalam ke jurang rasa bersalah. “Kamu tahu, nggak semua orang bisa punya istri sebaik kamu, Clara.” Clara berhenti. Bahunya tegang. Tapi ia tidak menoleh. Ia hanya melangkah pergi, menahan air mata yang mulai menggenang karena campuran marah, takut, dan bingung yang menguasainya. Steven menatap punggung wanita itu yang menjauh. Bekal di tangannya terasa seperti lambang kepatuhan—sebuah langkah kecil yang membuatnya makin dekat dengan tujuan besarnya. Dan hari itu, saat ia meninggalkan rumah dengan membawa bekal dari tangan Clara, ia tahu: Clara boleh saja menghindar, boleh saja berpura-pura tak terganggu. Tapi perlahan... wanita itu sedang bergerak mendekat ke dalam perangkapnya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN