Clara berbaring di atas ranjang, tubuhnya menyelimuti sebagian selimut tipis, namun pikirannya tak kunjung tenang. Lampu kamar sudah diredupkan, udara dari pendingin ruangan mengalir pelan, menciptakan suasana yang seharusnya nyaman untuk beristirahat. Namun benaknya masih dikuasai oleh perasaan tak menentu yang sejak makan malam tadi makin membebani.
Di sampingnya, Vernon sudah merebahkan diri lebih dulu, sibuk dengan ponselnya. Ia tertawa kecil membaca sesuatu, entah pesan dari rekan kerja atau berita lucu yang dibacanya. Clara hanya memandangi suaminya itu dalam diam, menimbang dalam hati apakah ia sebaiknya mengatakan sesuatu atau tidak.
Tapi akhirnya, ia memutuskan untuk bicara.
“Mas,” panggil Clara pelan.
Vernon menoleh dengan senyum kecil. “Hm?”
Clara menggigit bibir bawahnya sejenak, lalu memberanikan diri, suaranya lembut dan penuh kehati-hatian, “Mas Steven... kira-kira, sampai kapan tinggal di sini?”
Vernon spontan menghentikan tawanya. Pandangannya yang semula hangat berubah datar. Ponselnya diletakkan di meja samping tempat tidur. Ia duduk tegak, lalu menatap istrinya yang masih setengah menyandar di bantal.
“Apa maksud kamu tanya begitu, Clara?” suaranya tetap tenang, tapi ada nada dingin yang tak bisa disembunyikan.
Clara menunduk. “Nggak apa-apa, aku cuma tanya. Soalnya… aku pikir Mas Steven pasti punya rencana kembali ke Prancis atau mungkin tinggal di apartemennya sendiri.”
Vernon menghela napas panjang. Matanya menatap Clara dalam-dalam, lalu ia menyandarkan punggung ke kepala ranjang sambil menyilangkan tangan.
“Kenapa kamu seperti nggak nyaman Mas Steven di sini?” tanyanya, nada bicaranya mulai berubah.
Clara buru-buru menggeleng. “Bukan gitu, Mas. Aku cuma…”
“Cuma apa?” potong Vernon. “Clara, itu kakakku. Dia udah lima tahun nggak bareng kita. Wajar kan kalau sekarang dia tinggal beberapa waktu di sini? Rumah ini juga rumahnya.”
Clara kembali terdiam. Ia menunduk semakin dalam, menatap ujung selimut yang ia genggam erat. Ia tidak bisa menjelaskan lebih jauh. Tidak mungkin ia berkata bahwa kehadiran Steven justru membuatnya makin gelisah, makin sulit bernapas. Tidak mungkin ia mengaku bahwa tatapan Steven... ucapannya... membuatnya terguncang dan merasa bersalah setiap kali ia melihat wajah Vernon.
“Kalau memang kamu nggak suka ada dia di sini, bilang aja langsung ke Steven,” ujar Vernon lagi. Kali ini suaranya terdengar agak keras. “Aku nggak mau rumah ini jadi tempat kamu menyimpan ganjalan. Tapi juga jangan seolah-olah aku harus ngusir kakakku dari rumah keluarganya sendiri.”
Clara masih diam. Hatinya sakit, tapi ia mengerti. Ia tidak bisa memaksa Vernon memahami perasaannya yang bahkan tak bisa ia jelaskan dengan benar. Ia juga tak bisa memaksa Vernon menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi—sesuatu yang tak bisa diungkapkan begitu saja.
“Maaf, Mas,” ucapnya pelan. “Aku nggak bermaksud menyinggung…”
Vernon tidak menjawab. Ia hanya menghela napas lagi, lalu membaringkan tubuhnya dan menarik selimut hingga ke d**a. “Terserah Steven mau sampai kapan tinggal di sini. Aku nggak akan nanya. Dan kamu juga nggak perlu pikirin itu lagi.”
Clara menatap punggung suaminya yang kini membelakangi dirinya. Dadanya sesak. Ia ingin menangis, tapi air matanya seolah tertahan di sudut mata. Ia membenamkan wajah ke bantal, menggigit bibirnya agar tidak mengeluarkan suara tangis yang mungkin akan membuat Vernon makin marah.
Lalu matanya terbuka perlahan.
Bayangan Steven melintas kembali di benaknya.
Tatapan itu.
Senyum licik yang tersembunyi di balik wajah lembutnya.
Kata-katanya di dapur: “Bukan sekarang.”
Clara memejamkan mata rapat-rapat. Ia tahu, malam-malam selanjutnya akan makin sulit. Bukan hanya karena Steven tinggal di rumah ini... tapi karena di dalam dirinya, ia harus terus berperang dengan suara-suara yang menggoda, rasa bersalah yang menekan, dan ketakutan bahwa suatu saat... semuanya akan terbongkar.
***
Pagi datang lagi, menyapu langit Jakarta dengan warna keemasan yang menguar dari balik jendela besar rumah Vernon. Di dapur, aroma wangi bawang putih yang ditumis perlahan mulai menyebar ke seluruh rumah, menyatu dengan bau roti panggang yang baru keluar dari pemanggang. Clara berdiri di depan kompor, memakai apron berwarna biru langit dengan rambut yang dikuncir rendah, terlihat tenang meski hatinya masih dihantui percakapan semalam bersama Vernon.
Ia memotong tomat dengan hati-hati, sesekali mengecek telur yang sedang digoreng di atas teflon. Semua gerak-geriknya tampak rapi dan terlatih, namun jika diperhatikan lebih dekat, bahunya sedikit tegang dan matanya tampak lelah. Ia tahu Steven masih di rumah ini, dan hanya menunggu waktu kapan lelaki itu muncul lagi—dengan tatapan yang membuatnya tidak nyaman, dengan kata-kata yang selalu menggoyahkan pikirannya.
Dan benar saja.
Langkah kaki berat terdengar dari arah ruang tengah. Clara membeku sejenak, lalu mencoba fokus kembali pada telur yang mulai mengering. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.
Steven.
Pria itu berjalan santai ke arah dapur, mengenakan kaus putih dan celana rumah, wajahnya seperti biasa: tenang, rapi, dan terlalu percaya diri. Saat memasuki dapur, ia berhenti sejenak dan menatap punggung Clara yang sedang membungkuk di hadapan kompor. Rambut panjang Clara bergoyang pelan saat ia bergerak. Kulit lehernya yang halus tampak berkeringat karena uap masakan. Bagi Steven, itu bukan pemandangan biasa.
Itu adalah lukisan hidup yang menggoda syaraf-syaraf kendalinya.
“Pagi,” sapa Steven pelan, suaranya rendah namun cukup jelas untuk membuat Clara tersentak sedikit.
Clara menoleh cepat, mencoba tersenyum. “Pagi, Mas.”
Steven melangkah masuk ke dapur dan berdiri dekat rak kopi. Ia membuka lemari dan mengambil gelas dengan perlahan, seolah memang benar-benar berniat membuat kopi pagi itu. Tapi kebenarannya? Ia hanya ingin ada di sini. Dekat dengan Clara. Menyerap aroma tubuh wanita itu yang bercampur dengan wangi bawang dan kopi. Menatap setiap gerakan kecil yang membuatnya makin tergila-gila.
“Kamu masak apa pagi ini?” tanyanya sambil menuang bubuk kopi ke gelas bening.
“Telur, sosis, dan salad. Simple aja,” jawab Clara tanpa menoleh lagi, mencoba sibuk dengan piring-piring di meja.
Steven mendekat sedikit, cukup dekat hingga Clara bisa merasakan kehangatan tubuhnya di belakang. “Wangi sekali. Kamu selalu masak sendiri tiap pagi?”
“Iya… dari awal nikah sama Vernon, aku selalu bangun duluan,” jawabnya pelan.
Steven menyeruput kopinya perlahan, meski kopi itu nyaris tak disentuh. Tatapannya hanya tertuju pada Clara yang sedang menata potongan tomat dan selada. Ia memperhatikan cara jemari wanita itu menyusun potongan buah ke piring, cara Clara mengelap meja dengan cepat, bahkan detak gelisah di lehernya yang tampak bergerak pelan-pelan.
“Clara,” ucap Steven mendekat sedikit. “Kamu kelihatan lelah.”
Clara berhenti sejenak. Ia menunduk dan mengangguk kecil. “Cuma kurang tidur.”
Steven menyandarkan tubuhnya ke meja dapur, menatapnya tanpa berkedip. “Apa karena aku masih di sini?”
Clara terdiam. Ia mengangkat tatapan, hanya sebentar. “Bukan. Aku hanya... perlu waktu beradaptasi.”
“Adaptasi apa?” Steven tersenyum miring. “Sama aku?”
Clara menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan diri. Ia tahu harus segera menyudahi percakapan ini.
“Mas, sarapan sudah siap. Aku mau bangunin Vernon dulu.”
Ia melepas apron cepat-cepat dan berbalik hendak pergi, namun Steven lebih cepat menghalangi jalan di pintu dapur, berdiri diam dengan cangkir kopi di tangan.
“Mau aku yang bangunin Vernon?” tanyanya pelan.
Clara menahan napas, lalu menggeleng.
“Biar aku saja,” katanya.
Steven tak bergeser.
Tatapan mata mereka bertemu. Sekejap. Tapi itu cukup untuk mengirimkan gelombang panas yang menyiksa Clara. Ia buru-buru menunduk dan menyelinap lewat celah kecil di samping Steven. Tubuh mereka bersentuhan sedikit, membuat kulit Clara seperti disengat api. Ia melangkah cepat ke arah tangga, menghindar, menjauh.
Begitu Clara menghilang, Steven berdiri di ambang pintu dapur dengan senyum tipis.
Ia tahu.
Perasaan Clara mungkin belum jelas. Tapi tubuhnya sudah memberi reaksi.
Dan itu hanya soal waktu.
Waktu sebelum semuanya menjadi miliknya.