Chapter 05

638 Kata
Steven turun dari kamarnya saat jam makan malam hampir tiba. Suasana rumah mulai dipenuhi aroma masakan yang menggoda. Dari balik tangga, langkahnya teratur dan tenang, namun sorot matanya tajam mengamati ruangan di bawah. Saat ia mendekati ruang makan, matanya langsung tertuju pada sosok Clara yang tengah meletakkan piring di atas meja. Wanita itu terlihat cantik seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Gerak-geriknya tampak gugup. Clara tampak lebih diam, lebih kaku, dan tak berani menatap ke arahnya walau hanya sekilas. Bahkan saat ia tanpa sengaja melewati dekat Steven, Clara hanya membungkuk singkat tanpa kata, lalu segera kembali ke dapur dengan alasan mengambil sendok. Steven memperhatikan itu semua dengan pandangan dingin yang penuh perhitungan. Dalam hatinya, ia menyeringai. Wanita itu terpengaruh. Clara terpengaruh oleh ucapannya pagi tadi. Reaksi Clara yang canggung, langkah yang terburu-buru, dan tatapan yang menghindar adalah bukti jelas bahwa dinding pertahanan wanita itu mulai retak. Steven tahu, saat ini belum waktunya. Tapi cepat atau lambat, Clara akan berada dalam genggamannya. Bukan hari ini. Tapi nanti. Ia menarik kursi dan duduk dengan santai. Vernon sudah duduk lebih dulu, menyapanya dengan senyum lebar. “Mas, kamu turun juga akhirnya. Kita nungguin.” Steven membalas senyuman itu. “Tentu saja. Mana bisa aku lewatkan makan malam buatan Clara.” Clara kembali dari dapur, membawa mangkuk sayur dan meletakkannya di atas meja. Tatapannya sekilas mengenai Steven, tapi dengan cepat ia berpaling. “Silakan makan,” ucapnya pelan sambil duduk di sebelah Vernon. Steven mengambil sendoknya dan mulai mencicipi makanan. Rasa ayam bakar madu yang meresap sempurna ke dalam daging membuatnya mengangguk pelan. Ia menoleh ke arah Clara. “Sejujurnya, aku nggak ingat kapan terakhir makan masakan seenak ini,” katanya dengan nada ringan. “Ayam bakarnya empuk. Saus madunya pas banget. Kamu punya tangan emas, Clara.” Clara membalas dengan senyum kecil. “Terima kasih, Mas.” “Tiap hari dimasakin gini, kamu makin manja ya, Ver,” lanjut Steven sambil melirik adiknya. Vernon tertawa. “Makanya Mas cepat nyusul, cari istri. Biar bisa makan enak juga.” “Hmm…” Steven hanya terkekeh pelan, matanya kembali melirik ke arah Clara, lalu menunduk sambil menyendok nasi. “Mungkin suatu saat aku akan dapat yang seperti Clara…” Clara terdiam. Tangannya yang sedang memotong tahu sedikit berhenti, tapi ia tak berkata apapun. Senyumnya perlahan menghilang, hanya menyisakan ekspresi datar yang berusaha ia jaga agar tetap wajar. Vernon tak menyadari ketegangan halus yang mengambang di udara. Ia terlalu sibuk menikmati makan malam dan membicarakan agenda pekerjaannya besok. Steven? Ia justru menikmati semuanya. Setiap detik yang dilalui bersama mereka di meja makan, ia gunakan untuk membaca Clara. Setiap tarikan napas wanita itu, setiap helaan napas panjang, setiap lirikan gugup yang berusaha ditutupi—semuanya adalah isyarat bahwa permainan ini sudah dimulai. Dan ia siap memainkan perannya dengan sabar. Setelah makan malam, Vernon bangkit lebih dulu menuju ruang keluarga. Clara berdiri dan mulai membereskan piring. Saat Steven ikut berdiri dan membawa dua gelas ke dapur, Clara terkejut. Ia tidak menyangka Steven akan mengikutinya. “Kamu nggak perlu bantu, Mas,” ucap Clara pelan, menunduk. “Tapi aku mau bantu,” jawab Steven sambil meletakkan gelas di meja dapur. Ia berdiri agak dekat, cukup dekat hingga Clara bisa mencium aroma parfumnya yang maskulin. Clara melangkah mundur sedikit. Steven menatapnya. “Tenang saja, Clara. Aku nggak akan melakukan apa-apa. Bukan sekarang.” Clara menoleh cepat, tatapannya membeku. “Mas… tolong jangan ulangi hal itu lagi.” Steven tersenyum samar. “Aku nggak ulangi. Aku cuma bilang… bukan sekarang.” Ia kemudian membalikkan badan dan keluar dari dapur, meninggalkan Clara yang berdiri terpaku dengan tangan gemetar. Nafasnya tercekat. Jantungnya berdetak begitu cepat. Tangannya menggenggam sisi meja dapur, mencoba menenangkan diri. Tapi dalam hatinya, ia sadar. Ia sedang berada di tengah badai yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Dan badai itu... bernama Steven Gutomo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN