Chapter 04

540 Kata
Clara termenung di balkon kamarnya. Udara sore menyentuh kulitnya yang lembut dengan hembusan angin perlahan, namun tidak mampu menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia berdiri sambil memeluk dirinya sendiri, menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. Matanya kosong, pikirannya penuh. Ingatannya kembali pada kejadian pagi tadi di taman belakang. Steven. Kakak iparnya. Lelaki itu—baru pulang dari Prancis setelah lima tahun menghilang dari lingkaran keluarga—datang membawa aura misterius dan karisma yang begitu kuat. Clara tidak menyangka Steven akan mengucapkan kalimat seperti itu. Kalimat yang hingga saat ini masih terngiang dalam kepalanya. "Aku tahu kamu istri adikku. Aku tahu aku seharusnya nggak bicara seperti ini. Tapi... susah buat aku pura-pura nggak lihat kamu." Clara menggigit bibir bawahnya. Jantungnya berdetak tak karuan. Bukan hanya karena takut, tapi karena bingung. Ia tak tahu harus bagaimana bersikap. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa Steven akan memiliki ketertarikan padanya. Bahkan sejak awal, ia mengira Steven adalah tipe lelaki yang dingin dan tak peduli pada urusan hati. Namun kini... Clara menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggung pada dinding, masih berdiri di balkon. Matanya menatap pot tanaman di sudut pagar balkon, lalu tertuju ke taman di bawah sana—tempat Steven mengucapkan kata-kata yang mengguncang pertahanannya. "Apa yang harus aku lakukan...?" gumamnya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar. Ia bukan wanita yang mudah goyah. Sejak menikah dengan Vernon, ia berusaha menjadi istri yang baik. Setia. Penuh pengertian. Namun kini, semuanya terasa lebih rumit. Steven bukan sembarang pria. Ia tampan, cerdas, dewasa, dan ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Clara sulit untuk berpaling. Namun tetap saja... Steven adalah kakak iparnya. Clara meremas jemarinya sendiri. Ia harus bersikap biasa. Ia harus pura-pura tak terjadi apa-apa. Ia tidak boleh memperlihatkan kegugupan atau kebingungan di hadapan Vernon ataupun Steven. Apapun yang terjadi, ia harus menjaga rumah tangganya. Ketika pintu kamar terdengar diketuk pelan, Clara sontak menoleh. Suaranya terdengar lembut dari luar. "Sayang? Kamu di dalam?" Itu suara Vernon. Clara menelan ludah, buru-buru menghapus air matanya yang tidak ia sadari menetes. Ia menarik napas dalam-dalam, memastikan bahwa wajahnya tenang sebelum menjawab. "Iya, Mas. Di balkon." Pintu dibuka perlahan, Vernon masuk sambil membawa dua gelas jus jeruk. "Kamu nggak apa-apa? Dari tadi aku nggak lihat kamu di bawah." Clara mengangguk dan tersenyum kecil. "Aku cuma butuh udara segar." Vernon menyerahkan satu gelas jus. "Udah terlalu capek ngurus rumah, ya?" Clara tertawa pelan. "Nggak juga." Mereka duduk berdampingan di sofa kecil di balkon. Vernon mulai bercerita tentang proyek kantornya, tentang rapat yang melelahkan, dan tentang makan siang dengan klien yang menjengkelkan. Clara mendengarkan dengan setengah hati, mencoba fokus. Ia terus mengangguk, tersenyum, sesekali tertawa. Ia berusaha menjadi Clara yang seperti biasa. Namun dalam hatinya... Pikiran tentang Steven tidak juga pergi. Ia sadar benar bahwa semakin ia berusaha melupakan, semakin bayangan pria itu merasuk ke pikirannya. Ia membayangkan kembali tatapan mata Steven yang begitu dalam, suara rendahnya yang penuh intensitas, dan kalimat itu... kalimat yang terlalu jujur untuk diabaikan. Malam menjelang. Setelah Vernon tertidur, Clara kembali ke balkon. Ia berdiri sendirian, menatap bintang-bintang yang mulai berpendar di langit Jakarta. Hatinya masih berat. Ia tahu, semua ini belum selesai. Dan dalam diam, ia berjanji pada dirinya sendiri. Apapun yang terjadi... Clara harus kuat. Ia tidak boleh tergelincir. Karena jika ia jatuh... Segalanya akan hancur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN