Sesuai janjinya, jam 9 malam, Dillan dan kedua temannya muncul, terlihat segar dengan rambut basah seakan habis mandi. Rosa mempersilahkan mereka untuk duduk di salah satu meja yang kosong dan mengambil pesanan mereka. Sementara menunggu makanan datang, pemuda itu menghampiriku yang masih duduk di depan meja front office. Setelah berbasa basi menanyakan keadaan losmen, Dillan mengulurkan tangannya ke arahku menunjukkan gelang yang ada di tangannya. Seketika kukenali anyaman benang berwarna merah yang pernah kubuatkan untuknya dan Riri ketika kami semua masih duduk di bangku SD. “Ya ampun Di, sudah dekil banget gelang ini? Kenapa masih kau pakai? Punya Riri saja sudah hilang entah kemana.” Jawabku setengah tertawa. “Tentu saja masih kusimpan. Satu satunya barang pemberian kakak.” Jawa