Arini menatap Nadya dari balik pintu yang hampir terbuka. Detik itu, seluruh tubuhnya tegang, tapi matanya penuh tekad. Ia tidak lagi melihat Nadya sebagai perempuan yang bisa membuatnya takut. Ia melihat ancaman nyata—dan ancaman itu harus dihentikan. “Arini… kau benar-benar datang,” suara Nadya terdengar lembut tapi menyayat hati. Senyum di wajahnya menusuk. “Aku sudah menunggu. Reza… lihat, dia datang untukmu.” Reza berdiri di tengah ruangan, tidak berani menatap siapa pun. Jantungnya berdebar kencang, rasanya seperti berada di ujung jurang. Ia ingin berbicara, ingin menenangkan semuanya, tapi kata-kata seakan tersumbat di tenggorokannya. Arini melangkah masuk, hujan dan rasa sakit hatinya masih menempel di wajah basahnya. “Nadya, ini cukup,” suaranya tegas, tetapi lembut di tengah a

