Pagi itu, Reza terbangun dengan kepala berat. Tidurnya semalaman tidak tenang, setiap kali memejamkan mata ia seperti melihat bayangan Nadya yang marah dan Arini yang tersenyum misterius. Ia melangkah ke ruang makan, mendapati Arini sudah duduk dengan santai sambil membaca majalah. Sarapan sudah tersaji rapi di meja: roti panggang, telur mata sapi, dan secangkir kopi hitam. “Pagi, Mas,” sapa Arini, tanpa menoleh. Reza hanya bergumam pendek. Ia duduk, mencoba menghirup kopi. Tangannya bergetar, hampir saja menumpahkan minuman itu. Arini menutup majalahnya perlahan. “Ada yang salah? Kelihatan sekali kau gelisah.” Reza buru-buru menggeleng. “Tidak. Hanya… kurang tidur.” “Hmm.” Arini tersenyum tipis, kembali membuka majalahnya. Reza tahu senyum itu penuh makna. Senyum yang membuatnya me

