Bab 7 – Laporan Pertama

684 Kata
Pagi itu, Arini duduk di teras rumah dengan secangkir teh hangat. Jemarinya tak henti bergetar, matanya sering melirik layar ponsel. Sudah dua hari sejak ia meminta bantuan Bayu, dan pagi ini, janji laporan pertama akan datang. Pukul sepuluh tepat, ponselnya bergetar. Pesan singkat masuk: "Bu Arini, saya sudah punya beberapa catatan. Bisa kita ketemu siang ini?" Arini menelan ludah, hatinya berdebar. Ia segera membalas: "Bisa. Saya tunggu di kafe biasa jam dua." Kafe itu tidak terlalu ramai. Arini memilih meja di sudut, menunggu dengan napas tertahan. Tak lama kemudian, Bayu muncul membawa sebuah map cokelat. Dina menyusul, duduk di samping Arini, menggenggam tangannya erat. “Baik, Bu Arini,” Bayu membuka percakapan dengan suara tenang. “Selama dua hari ini saya memantau aktivitas Pak Reza. Dan… saya harus jujur, yang saya temukan cukup berat.” Arini meneguk ludah. “Ceritakan saja, Pak.” Bayu membuka mapnya, menampilkan beberapa foto. Dalam foto pertama, Reza tampak berjalan di sebuah pusat perbelanjaan. Tangannya menggenggam erat tangan seorang perempuan. Arini menahan napas. Perempuan itu jelas Nadya. Foto berikutnya memperlihatkan mereka berdua duduk di restoran, saling tersenyum, bahkan Nadya menyuapi Reza sepotong makanan. Arini menutup mulutnya, tubuhnya bergetar hebat. Air mata langsung membasahi pipi. Dina merangkulnya cepat, mencoba menenangkannya. “Ini baru sebagian, Bu,” lanjut Bayu hati-hati. “Kemarin malam, saya ikuti mereka. Mereka masuk ke sebuah hotel di pusat kota. Mereka menginap di sana. Saya punya rekamannya.” Arini langsung menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan. Sakitnya menusuk sampai ke tulang. Ia tidak hanya ditinggalkan, tapi juga dikhianati di depan matanya sendiri. Dina menggenggam bahunya erat. “Rin… kamu harus kuat. Ini memang pahit, tapi sekarang kamu punya kebenaran.” Arini mengangguk kecil, meski suaranya parau. “Tolong simpan semua ini, Pak Bayu. Saya belum siap melihat lebih jauh. Tapi saya butuh bukti.” Bayu menutup map itu pelan. “Tenang, Bu. Saya akan lanjutkan pemantauan beberapa hari ke depan. Semua akan saya dokumentasikan. Kalau Ibu butuh kapan pun, saya siap.” Sepulangnya, Arini duduk di kamar, menatap kosong ke arah foto pernikahannya yang terpajang. Ingatannya melayang pada hari ketika Reza berjanji di hadapan penghulu, berikrar setia, berjanji tak akan pernah meninggalkan. Janji itu… hanya kata-kata. Air matanya jatuh lagi. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Di sela tangisnya, ada rasa marah. Marah karena dikhianati. Marah karena diperdaya. Baiklah, Reza. Kalau ini jalan yang kamu pilih, aku tidak akan terus jadi korban diam-diam. Malamnya, Arini duduk di meja makan, menyiapkan hidangan. Reza pulang lebih awal dari biasanya. Wajahnya tampak cerah, seolah ia baru saja pulang dari tempat yang membuatnya bahagia. “Wah, masakannya enak banget kelihatannya,” ujarnya sambil tersenyum. Arini menatapnya lama. Senyum itu—senyum yang dulu selalu membuatnya jatuh cinta—kini terasa asing. Ada rasa pahit yang menyesak di d**a. Ia tersenyum samar, pura-pura tak tahu apa-apa. “Mas, capek ya kerjaannya?” “Lumayan,” jawab Reza singkat. Arini menunduk, menyembunyikan tatapan matanya yang berkaca-kaca. Kerja apa, Mas? Kerja hati-hati agar aku tidak tahu perselingkuhanmu? Beberapa hari berlalu. Setiap malam, Reza selalu punya alasan untuk pulang larut. Dan setiap malam pula, Arini pura-pura tidur lebih dulu, meski hatinya terjaga penuh luka. Sementara itu, laporan dari Bayu terus berdatangan. Foto-foto, catatan, bahkan percakapan yang berhasil direkam diam-diam. Semuanya menunjuk pada satu hal: Reza benar-benar menjalin hubungan dengan Nadya. Arini menumpuk semua bukti itu di sebuah kotak kecil di lemari. Ia tahu, suatu saat nanti, kotak itu akan jadi senjata. Pada suatu malam, saat Reza sedang mandi, ponselnya yang lain berdering. Arini menoleh, melihat nama di layar: Nadya. Jantungnya berdetak kencang. Ia meraih ponsel itu dengan tangan gemetar, lalu mengangkat pelan. “Sayang… aku kangen banget. Kamu udah di hotel belum?” suara Nadya terdengar manja dari seberang. Arini menutup mulutnya rapat, agar isak tangisnya tak terdengar. “Reza… aku nggak sabar. Kapan sih kamu bisa ninggalin dia?” lanjut Nadya. Arini memutus sambungan telepon dengan tangan gemetar, lalu meletakkan ponsel itu kembali ke meja. Beberapa detik kemudian, Reza keluar dari kamar mandi, tanpa curiga sedikit pun. Arini menatapnya lama. Senyum pahit mengembang di wajahnya. Ternyata kamu benar-benar milik perempuan lain, Mas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN